Cari Blog Ini

Rabu, 13 Maret 2013

Komunitas ASA : Komunitas Advokasi & Sadar Autisme









Nama Komunitas        : ASA (Advokasi & Sadar Autisme) Surabaya
Alamat Komunitas      : Jl. Prapen Indah Blok C no.16
Berdiri Sejak               : 08 Maret 2012
Ketua                          : Okky Mia Oktaviani
Anggota                      : 30 orang


ASA, Komunitas yang Menuntut Perlindungan Hukum Bagi Para Autisme

Biasanya, kata ‘autisme’ dipakai ketika menyebut lawan bicara yang terlalu asyik bergelut dengan satu hal, misalnya berlama-lama dengan handphone. “Autis kau!” Pasti kita sering mengalami maupun mendapati olok-olokan semacam itu bukan? Namun ketika ditanya, mengertikah kita tentang apa arti dari autisme?

“Dibalik autisme ada pengorbanan, air mata, kesabaran dan perjuangan yang tak terbatas. Maka jangan gunakan kata ‘autisme’ sebagai bahan olok-olokan,” keluh Okky Mia Oktaviani, seorang Ibu rumah tangga yang memiliki dua buah hati pengidap autisme. Menurutnya, banyak permasalahan-permasalahan seputar autisme yang dirasanya miris, terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Oky menerangkan bahwa orangtua yang memiliki anak pengidap autisme adalah orangtua yang sabar, penuh perjuangan dan kehebatannya tidak tertandingi dengan orangtua manapun di dunia ini. Oky sendiri merasakan semua itu dan menyaksikan permasalahan-permasalahan sehari-hari yang menimpa para autisme menyangkut kriminal maupun perlakuan diskriminatif dari orang-orang di sekitarnya, ironisnya, para autisme belum tersentuh perlindungan hukum. “Alasan itulah yang membuat saya berinisiatif untuk membuat komunitas ASA,” tambah Oky.

Apa itu ASA? Dibentuk pada tanggal 08 Maret 2012 oleh sekumpulan orangtua yang memiliki buah hati pengidap autisme, juga dari kalangan umum pemerhati autisme dari berbagai latar belakang. “ASA singkatan dari Advokasi dan Sadar Autisme. Visi misi kami antara lain ingin membantu pemenuhan hak hidup, tumbuh kembang dan partisipasi para autisme dalam segala segi kehidupan. Selain itu untuk memberi perlindungan atas perilaku spesial mereka dalam masa tumbuh kembang dan menjamin masa depannya,”  ujar Asteria. R. Soroinsong, anggota ASA.

Menurut ASA, apa itu autisme dan bagaimana ciri para autisme? “Autisme adalah gangguan perfasis otak yang muncul ketika anak berada dalam kandungan. Biasanya autisme memiliki gangguan perilaku yang termanifestasi pada perilaku verbal yang sifatnya obsesif,” ujar Vika Wisnu, anggota ASA yang juga memilliki buah hati pengidap autisme.

Panjang lebar ASA memaparkan ciri khas para autisme, diantaranya para autisme memiliki obsesi terhadap satu hal tertentu. “Misalnya senang pada sebuah benda, maka ia akan sangat terobsesi dengan benda itu. Selain itu para autisme juga tidak mudah bersosialisasi dengan masyarakat, apalagi ketika lingkungan masyarakat itu tidak mendukung,” ujar Luluk Daiyatul Firdausi, anggota ASA. Menurutnya, autisme tidak dapat disembuhkan, namun bila diberi perhatian dan perlakuan spesial, maka autisme bisa mengembangkan kemampuannya, bahkan, dalam hal tertentu kecerdasannya dapat melebihi orang normal.

“Sayangnya perlindungan hukum untuk mereka masih belum ada. Atas dasar itulah ASA terbentuk. Sudah banyak kasus baik kriminalitas maupun perlakuan diskriminatif terhadap para autisme,” ujar Dwi Ananda Amalia, mahasiswi Stikosa yang juga anggota ASA. Apalagi, menurutnya Dwi pula, ketidaktahuan masyarakat tentang apa itu autisme membuat keberadaan para autisme tersisih dari masyarakat.

Hukum di Indonesia sendiri belum mampu memfasilitasi keberadaan para autisme. Dalam hukum kita, para autisme mau tidak mau mengikuti hukum selayaknya warga negara biasa, tanpa perlakuan khusus, padahal, autisme adalah sebuah kecenderungan yang tidak memungkinkan hukum untuk dapat menjamahnya. “Sebelum 18 tahun para autisme masih dilindungi oleh UU Perlindungan Anak. Setelah 18 tahun, bila mereka terkait kasus hukum, maka dengan kecenderungan autismenya itu mereka akan dianggap gila dan dimasukkan rumah sakit jiwa. Disana mereka dipaksa minum obat-obat penenang yang berbahaya,” ujar Tanti, anggota ASA. Para anggota ASA pun berani menjamin bahwa para autisme tak pernah secara sengaja melakukan tindak kriminal. “Saya berani jamin, isi hati dan pikiran para autisme itu tak pernah buruk. Mereka melakukan suatu hal hanya didasari oleh kecenderungan perilaku obsesifnya,” tambah Okky.

Contoh kasus, beberapa bulan lalu terjadi kasus seorang anak pengidap autis yang memiliki obsesi pada api. “Semakin melihat nyala api yang besar, maka ia akan senang. Makanya ia berusaha menciptakan api dan membakar isi rumah demi obsesinya itu,” terang Lisa Harwiyanti, anggota ASA. Diterangkannya, kasus itu terjadi di sebuah kota kecil di pedesaan terpencil di Jawa Timur. Ketidaktahuan masyarakat akan autisme membuat anak itu dipasung. “Autisme bukan gila dan tidak perlu dipasung. Mereka hanya membutuhkan perlakuan special dan orangtua serta lingkungan bila memberikan pembinaan yang baik, maka sifat obsesifnya itu perlahan-lahan bisa dikurangi,” tamba Cici Esti Nalurani, anggota ASA.

Ada lagi contoh kasus yang menyangkut para autisme. Diceritakan, terdapat seorang anak autisme yang terobsesi pada kostum tim basket. Saat masuk ke distro olahraga, ia memakai kaos basket yang disukainya dan ditunjukkan pada ibunya yang sedang menunggu diluar. Karena anak itu keluar toko dengan menggunakan kaos basket, iapun dituduh mencuri. “Alhasil, ia diproses oleh security pusat perbelanjaan itu. Sampai orangtua, guru dan kepala sekolahnya turun langsung untuk memberi pemahaman kepada security-security itu tentang autisme. Sayangnya pihak toko tetap tak mau menerima dan orangtuanyapun terpaksa membayar sejumlah uang sebagai denda. “ ungkap Asteria.

Dalam perkembangannya, ASA memiliki banyak kegiatan untuk memberi penyuluhan kepada masyarakat serta mengajak peran serta pemerintah untuk memperhatikan para autisme, dengan cara memberi fasilitas perlindungan hukum, pendidikan juga kepastian tentang masa depan mereka. Selain itu ASA ingin mengajak orangtua untuk mendatakan buah hatinya yang mengidap autisme, karena untuk pengajuan perlindungan hukum, haruslah disertakan dengan data yang kongkrit.

Untuk penyuluhan sendiri, ASA telah melakukannya dengan terjun langsung ke dalam masyarakat, institusi pendidikan maupun bekerjasama dengan berbagai pihak demi terwujudnya tujuan mereka. Hingga saat ini, komunitas yang beranggotakan sekitar 40 orang dari berbagai latar belakang, baik ibu rumah tangga, psikolog, mahasiswa, hingga praktisi hukum itu terus berjuang menuntut peran pemerintah menyangkut keberadaan para autisme sekaligus memberi pengertian dan mengedukasi masyarakat tentang autisme serta bagaimana menciptakan lingkungan yang nyaman bagi para autisme.


Tokoh Dunia dari Kalangan Autisme

Pembinaan untuk para autisme harus dilakukan sejak dini oleh keluarga. Perlakuan terhadap para autismepun juga berbeda daripada orang normal. Diantaranya, haruslah dibutuhkan kesabaran yang ekstra karena para autisme terkadang susah untuk bisa fokus berkomunikasi bila tidak menyangkut sebuah hal yang menjadi obsesinya. Juga, terapi kesehatan dengan membawa anak autis kepada therapis juga perlu untuk dilakukan. Dalam hal makanan, para autisme harus menghindari makan-makanan seperti tepung terigu maupun kasein (zat yang terkandung dalam gula pasir). “Bila ingin membuat goreng-gorengan, pakai saja tepung beras. Untuk rasa manis, pakailah gula rendah kalori,” ungkap Oky.

Lantas bila pembinaan keluarga dapat dilakukan? Bisa sembuhkah pengidap autisme? “Autisme tidak bisa disembuhkan, namun mereka bisa diarahkan ke hal-hal yang positif maupun mengalihkan obsesinya kepada hal-hal yang baik,” ungkap Ady Bachtiar, anggota ASA. Jika berhasil, maka pengidap autisme bisa jadi seorang jenius di bidangnya. Mau tahu siapa saja tokoh dunia yang berasal dari kalangan autis?

Albert Einstein, ilmuwan fisika penemu teori relativitas adalah salah satu contoh pengidap autisme dimana ia sangat terobsesi dengan hal-hal yang berkaitan dengan angka-angka. Begitu terobsesinya hingga ia mendalami obsesinya itu dan berhasil menjadi tokoh penting dunia.  Dalam bidang kesenian, kita tentu pernah mendengar Michaelangelo, perupa asal Italia yang terobsesi akan seni rupa, juga Stephen Whiltshire, seorang pelukis landscape yang memiliki kemampuan ‘photographic memory’, dimana ketika ia akan melukis lanskap, ia hanya melihat pemandangan dari atap gedung selama beberapa detik, kemudian secara ajaib ia mampu melukis detail tata ruang lanskap dalam kanvas maupun bidang-bidang media melukisnya.

“Jadi autisme itu ada banyak kecenderungan. Ada yang High Function seperti Einstein, Michaelangelo, Whiltshire dan sebagainya, adapula yang biasa-biasa saja, juga ada yang kurang. Namun untuk mengidentifikasi anak yang mengidap autis, pertama kali yang dilihat adalah tatapan matanya. Bila anak itu memberi tatapan mata pada lawan bicara hanya beberapa detik, atau bahkan tidak ingin menatap sama sekali alias tidak fokus, maka bisa jadi anak itu mengidap autisme. Tapi autisme bukan bencana bagi para orangtua. Mereka hanya butuh perlakuan khusus untuk mengembangkan kemampuannya, bahkan bukan tidak mungkin seorang autis menjadi seorang intelektual yang jenius di bidangnya,” pungkas Vika.

Komentar

 
Luluk Daiyatul Firdausi
“ASA, sesuai namanya, semoga bisa memberikan asa atau harapan bagi para autisme dalam hal perlindungan, khususnya perlindungan hukum, serta mengedukasi masyarakat tentang autisme dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi mereka”






 


Cici Esti Nalurani
“Autis ini bukan penyakit menular. Autisme hanya perlu dimengerti. Semoga dengan adanya ASA, masyarakat akan semakin terbantu untuk memahami dan mengerti apa dan bagaimana autisme itu”

 
 
 
 
 
 
 
 
Dwi Ananda Amalia
“Anak-anak autis adalah bagian dari kehidupan kita. Mereka pantas untuk mendapatkan perlakuan serta hak yang sama seperti manusia lainnya. Semoga masyarakat di Indonesia semakin menyadari dan menerima kehadiran mereka di tengah-tengah kita”




 

Vika Wisnu
“Autisme adalah isu besar. Perlu perhatian berbagai pihak, bukan hanya urusan orangtua dan terapis. Semoga ASA bisa berkontribusi pada penyadaran tentang autisme untuk lingkungan yang lebih ramah terhadap mereka”





 


Asteria. R. Soroinsong
“Semoga ASA Surabaya semakin progressif dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi dan advokasi tentang autisme”






 


Okky Mia Oktaviani
“Jangan jadikan kata ‘Autis’ sebagai bahan olokan, karena dibalik kata tersebut ada pengorbanan, air mata, perjuangan, doa dan kesabaran yang tak terbatas. Mereka-mereka yang tidak memiliki keluarga autis justru harus memberikan apresiasi untuk para autisme”



Selasa, 12 Maret 2013

Kisah Sesepuh Penggiat Batik Sidoarjo

Hj. Musyafa'ah sedang membatik ditemani cucunya



Nama                          : Hj. Musyafa’ah
Tempat Tanggal Lahir  : Surabaya, 1931
Nama Suami                : (alm) Hj. Saleh Imam

  
Resep Sehat Ala Pebatik Senior Hj. Musyafa’ah: Beraktifitas, Bersabar, Bersyukur

Seperti hari-hari biasanya, siang itu Hj. Musyafaah terlihat sibuk menata kain-kain batik produksinya. Sesekali ia terlihat tekun mengamati motif batik kreasi para karyawan dimana sebelum melewati proses finishing, karya batik haruslah disetorkan terlebih dahulu kepada Hj. Musyafa’ah untuk diteliti kesempurnaannya.

“Ini perlu ditambah lagi motifnya; bagian atas jangan terlalu banyak bidang kosongnya. Tambahkan sedikit lagi saja,” ujar Hj. Musyafa’ah kepada salah satu karyawannya. Untuk soal membatik, Hj. Musyafa’ah terbilang perfeksionis. “Produksi batik disini harus benar-benar berkualitas baik dan artistik,” tambahnya kepada saya.

Di usianya yang menginjak 82 tahun ia terlihat masih bersemangat, dan daya ingatnyapun masih tajam. Bahkan, sesekali ia terjun langsung untuk membuat batik sekaligus mengawasi sistem kerja para karyawannya. “Memang karena faktor usia, saya sudah tidak seaktif dulu lagi. Jadinya saya memfokuskan diri untuk bekerja di rumah. Bila sempat keluar rumahpun hanya sesekali saja, mengantar produk. Itupun saya lakukan untuk mengisi waktu luang,” ungkapnya.

Dikenal sejak tahun 1953, hingga kini namanya dikenal banyak orang. Ketika mendengar nama Hj. Musyafa’ah, pikiran mereka tertuju pada satu-satunya pebatik senior yang tersisa di Sidoarjo. Memang, meskipun kini usahanya diturunkan dan dipimpin langsung oleh cucu ketiganya, Rinaldi Kurnia, namun Hj. Musyafa’ah tidak ingin terlena dengan romansa hari tua: sekedar beristirahat, menikmati waktu yang ada sembari menimang cucu/cicit, melainkan ia lebih memilih untuk tetap beraktivitas. “Pokoknya sebisa mungkin setiap hari saya harus beraktivitas. Itulah yang menyebabkan saya tetap segar bugar,” ujar Nenek tujuh cucu itu.

Rupanya beraktivitas dalam mengisi waktu luang merupakan salah satu resep sehat ala Hj. Musyafa’ah. Bahkan paparnya, sesekali ia menyempatkan diri untuk mengantar produk batiknya ke distributornya di daerah Pabean, Surabaya dengan menaiki bis kota. “Anak-anak dan cucu-cucu saya sebenarnya banyak yang melarang saya untuk berpergian. Namun saya tetap bersikeras, saya masih kuat. Usia tidak menghalangi saya untuk beraktivitas. Sebab jika tidak beraktivitas, badan rasanya tidak nyaman. Beraktivitas rutin seperti keseharian saya juga merupakan suatu bentuk olahraga lho,” paparnya.

Selain beraktivitas, resep sehat lainnya ala Hj. Musyafa’ah adalah bersabar. Pengalaman yang didapatnya sejak bertahun-tahun lalu dalam menghadapi pelanggan dengan berbagai karakter, termasuk permasalahan sehari-hari yang pernah dilalui pada akhirnya menempa dirinya untuk dapat selalu sabar dalam menjalani kehidupan. “Kesabaran itu juga termasuk pola hidup sehat. Dengan kesabaran, orang tidak akan terlalu banyak beban pikiran. Seperti yang kita tahu, beban pikiran adakalanya menyebabkan stress dan mengganggu kesehatan. Dengan kesabaran, seseorang akan senantiasa terjaga hati dan perasaannya, sekaligus kesehatan tubuhnya juga akan terjaga,” papar Ibu enam anak itu.

Cara hidup sabar, menurut Hj. Musyafa’ah, dapat diwujudkan dalam banyak hal dalam kehidupan sehari-hari, contohnya dalam mengatasi segala persoalan. “Pengendalian emosi. Jangan mudah merasa tersinggung dan berperasaan yang tidak-tidak. Tidak usah ambil pusing bila sedang ada masalah. Rejeki, jodoh itu sudah ada yang mengatur,” ujarnya.

Bagaimana dengan pola makan? Ditanya mengenai pola makan, Hj. Musyafa’ah mengakui bila ia memiliki cara untuk mengatur pola makan. “Untuk usia seperti saya, pola makan harus teratur. Banyak-banyak makan sayuran dan kurangi makan-makanan berlemak. Jikapun ingin makan daging dan makanan berlemak lainnya, sesekali saja tidak apa-apa, asal jangan sering-sering,” ujar istri dari (alm) Hj. Saleh Imam itu.

Resep sukses lainnya, Hj. Musyafa’ah mengaku bahwa ia memiliki satu kunci utama dalam mengatur pola hidup sehat, yakni beribadah, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah ketentuan dari Tuhan, kita ini begitu kecil dan haruslah selalu ingat kepadaNYA, Yang Maha Pencipta,” terang perempuan kelahiran tahun 1931 itu.

Dalam usianya yang menginjak 82 tahun, ia aktif mengikuti pengajian dan tidak pernah lupa menunaikan ibadah setiap harinya. “Beribadah itu membuat seseorang sehat secara fisik dan rohani. Itu kunci sehat paling utama. Percuma bila kita pantang ini-pantang itu, minum jamu sini-situ, kalau tidak ingat Tuhan ya hasilnya nol besar. Wong yang ngasih kesehatan itu Gusti Pangeran kok,” ungkapnya.

Diwawancarai di kediamannya  di Jl. Jetis, Sidoarjo yang tersohor sebagai kampung batik Sidoarjo itu tampaknya membuat Hj Musyafa’ah semakin bersemangat. Ia seperti merunut kembali masa lalunya, saat-saat dimana ia menjadi pengusaha batik yang pada akhirnya sekarang, atas kerja kerasnya itu ia tinggal menikmati kesuksesan. Namun tidak sedikitpun ia terlena. Luar biasa bukan?


Satu-satunya Pebatik Senior di Kampung Batik Sidoarjo

Hj. Musyafa’ah berkisah panjang lebar mengenai masa mudanya kepada saya. Ingatannya masih tajam, bahkan untuk mengingat detail kisah-kisahnya ia masih mampu. Dikisahkannya, pada tahun 1953 ia memiliki inisiatif untuk memproduksi kerajinan batik. “Ide itu berasal dari mertua saya. Mereka melihat hasil karya batik saya, mereka tertarik dan berujar, Musyafa’ah, kamu sebaiknya buka usaha jualan batik saja, karyamu bagus sekaligus bisa membantu perekonomian keluargamu toh,” papar Musyafa’ah. Berdasarkan dorongan dari mertuanya itu Musyafa’ah tertarik untuk membuka usaha batik.

Maka untuk membantu suaminya yang saat itu bekerja sebagai anggota TNI, Musyafa’ah membuka usaha batik. Ia memulainya dengan produksi kecil-kecilan, sekaligus belajar dengan cara survey ke tempat-tempat penjual batik lainnya untuk mendalami motif batik dan kemudian mengembangkannya. “Beruntung kampung Jetis yang saya tempati adalah kampung batik. Jadi saya bisa menimba ilmu dari senior-senior saya pada dekade 1953,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, bahwa budaya kampung batik di lingkungannya sangat harmonis. Tidak ada nuansa persaingan diantara para pedagang karena mereka semua terkait satu sama lain dengan filosofi gotong-royong dan guyub rukun serta dalam hal bisnis, mereka berpedoman pada keyakinan agama bahwa rejeki, jodoh dan sebagainya sudah ada yang mengatur. “Itulah semangat yang menempa kepribadian saya hingga saat ini,” ujar buyut 4 cicit itu.

Musyafa’ah mengungkapkan bahwa usahanya mengalami kemajuan pesat, terlebih pada dekade 1970-1980an. Pada tahun itu secara bertahap ia berhasil membeli sepetak-dua petak tanah untuk mengembangkan lahan usahanya. Walhasil, kerja kerasnya itu ia manfaatkan untuk meningkatkan ekonomi keluarganya, bahkan ia mampu membelikan rumah sekaligus menguliahkan anak-anaknya satu persatu.

Hingga saat ini Musyafa’ah tercatat sebagai satu-satunya pebatik senior asal Sidoarjo, sebab pebatik seangkatannya rata-rata telah meninggal dunia. Usahanya di bidang pelestarian batik Sidoarjo itu dihargai oleh pemerintah dengan memberikan berbagai piagam dan bantuan. Salah satunya dari Bupati Sidoarjo, juga terpilih sebagai pemenang anugerah citra kartini sidoarjo, sebagai pengusaha senior yang masih aktif berkarya, bahkan mendapat penghargaan dari UNESCO sebagai pelestari batik Sidoarjo.

Apa bedanya motif batik Sidoarjo dengan motif batik dari kota lain? “Dalam batik Sidoarjo terdapat banyak motif khas seperti ‘Sekar Jagad’, ‘Kembang Bayem’, ‘Kembang Pring’, “Mahkota’, ‘Rawan’ dan lain-lain. Salah satu ciri khasnya adalah terdapat gambar hewan, yakni burung dalam motif batik khas Sidoarjo,” ujar Ibu yang keenam anaknya bergelar sarjana itu.

Saat ini usaha batik milik Hj. Musyafa’ah telah diwariskan langsung oleh cucu ketiganya, Rinaldi Kurnia. Kepada cucunya itu ia memberikan pembinaan intensif dan pelatihan manajemen seperti yang pernah dilakukannya pada masa muda. Alhasil, dengan pembinaan yang ia berikan, usaha batiknya makin mentereng. Beragam kembangan motif berhasil diciptakan oleh cucunya itu, bahkan menyesuaikan dengan konsep modern art yang dipadu dengan nuansa ornamentik yang memiliki karakter deformasi dan stilasi, khas motif batik. Bicara mengenai batik Sidoarjo, orang tidak pernah alpa untuk menyebutkan nama usaha binaan Hj. Musyafa’ah, yakni ‘Batik Masfiroh’

Senin, 04 Maret 2013

Ekskul Kulintang SD St Carolus Lestarikan Musik Tradisional dengan Prestasi Nasional



Nama Ekskul   : Kulintang
Sekolah           : SDK St Carolus Surabaya
Jenis                : Musik Tradisional
Berdiri Sejak    : 2008
Pembina          : Sugiyono
Prestasi           :

2011
-          Juara Nasional Lomba Kulintang tingkat SD
-          Juara I Lomba Kulintang tingkat SD se-Jawa Timur
-          Juara I Festival Kulintang Diknas tingkat SD se-kota Surabaya

2012
-          Juara III festival musik tradisional tingkat SD se-Jawa Timur
-          Juara II festival kulintang tingkat SD se-Jatim
 

Membangkitkan minat siswa dengan mengusung konsep ‘have fun’


Puluhan siswa berlari-lari kecil dengan mendorong perlengkapan alat musik yang tersimpan di atas sebuah meja beroda. Antusiasme anak-anak itu terlihat di tengah panasnya matahari yang sedikit menyengat. Alat-alat itu ditata berjajar di selasar lorong lantai dua sekolah mereka. Keteduhan sedikit melegakan upaya siswa yang telah bekerja keras membawa perangkat musik yang rencananya mereka mainkan di siang itu.

“Ini sudah saya siapkan notasinya. Ayo ambil posisi dan segera mainkan dengan baik dan benar; yang kompak lho ya!” ucap Sugiyono, Pembina ekstra kurikuler setelah menyiapkan papan tulis besar bertuliskan notasi musik yang diletakkan di hadapan siswa.

Dengan segera para siswa membuka perlengkapan alat musik yang semula diselimuti oleh kain merah. Tampak, perlengkapan musik yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara dipukul. Kulintang namanya. Siang itu para siswa SDK St Carolus Surabaya menyelenggarakan kegiatan ekstra kurikuler kulintang, dibawah bimbingan pembinanya yang cukup lihai.

‘Mars Yayasan Tarakanita’ adalah lagu pertama yang mereka bawakan dengan simfoni kulintang yang rancak. Satu-persatu siswa peserta ekstra kurikuler kulintang membawakannya dengan penuh semangat. Harmoni yang muncul meresap di dalam hati para pemain kulintang. Para guru dan beberapa siswa yang ikut menontonpun hanyut dalam alunan nada.

“Mars Tarakanita adalah lagu wajib yang dibawakan setiap ada even sekolah,” ujar Diana Cindrawati, peserta ekstra kurikuler kulintang. Perlu diketahui, mars itu diciptakan khusus untuk yayasan Tarakanita, yakni sebuah yayasan yang menaungi beberapa sekolah Katolik di Surabaya, diantaranya SDK-SMAK St Yosef, juga sekolah SDK St Carolus.

Sistem pengajaran yang diberikan Sugiyono dalam membina ekskul itu cukup unik. Para siswa diajarkan untuk mengetahui dan memahami dasar alat musik kulintang, kemudian diberi pengetahuan dasar menyangkut notasi dan teknik memainkannya. Konsep ‘have fun’ cukup meningkatkan antusiasme siswa. “Mereka diberi pemahaman tentang lagu daerah, kemudian memainkannya dengan alat musik kulintang,” ujar Sugiyono.

Sejak pertama kali berdiri pada tahun 2008, ekskul ini banyak menghasilkan aransemen musik daerah dengan alat musik kulintang. “Kini koleksi aransemen lagu daerah kami sudah sangat banyak. Perlahan-lahan kami mulai mengaransemen lagu modern,” tambah Sugiyono. Eksplorasi itulah yang semakin membangkitkan minat siswa dalam mendalami alat musik kulintang.

Cara pengajaran yang unik, dukungan sekolah dan orangtua siswa sangat menunjang para siswa untuk dapat berprestasi di luar sekolah. Selama berdiri sejak 2008, puluhan prestasi tingkat lokal dan provinsi telah banyak mereka raih, bahkan pada 2011 mereka meraih prestasi tingkat nasional dan mengharumkan nama sekolah, kota Surabaya sekaligus provinsi Jawa Timur.

Bagaimana membangkitkan semangat anak didik untuk bisa mendalami musik tradisional ditengah gempuran arus budaya modern? Ponti Selly, salah satu siswa peserta ekstra kurikuler kulintang menyebutkan bahwa ia semakin tertarik untuk mendalami musik tradisional karena termotivasi oleh kata-kata pembinanya. “Kata Pembina, membangun bangsa haruslah terlebih dulu membangun budayanya. Jadi, budaya harus dilestarikan agar bisa terus eksis dan tidak punah,” paparnya.

Semangat menjaga kebudayaan Indonesia, utamanya musik tradisional kulintang sangat tertanam di hati para peserta ekstra kurikuler kulintang di SDK St. Carolus. “Musik modern biarkan saja tetap ada, yang penting kita tetap setia menjaga budaya musik kulintang. Itu malah menambah kreativitas kami. Buktinya, kami bisa lho mengaransemen musik masa kini versi kulintang,” ceplos Violin Leonard, siswa peserta ekstra kurikuler kulintang.

Untuk membuktikannya, mereka membawakan sebuah lagu berjudul ‘Simfoni yang Indah’ kepada Surabaya Post yang berkesempatan meliput ekskul mereka. Tampak, lagu yang pernah popular dibawakan oleh Chrisye itu mengalun dengan indah, dalam nuansa kulintang yang mendayu-dayu. “Lagu inilah yang dulu mengantar kakak-kakak kami meraih juara nasional festival kulintang,” ujar Abraham Natanael, peserta ekskul kulintang.

Selain ‘Simfoni yang indah’, dibawakan pula lagu daerah berjudul ‘manuk dadali’ yang juga berbuah juara nasional. Memang peserta lomba kulintang tingkat nasional telah banyak yang lulus sekolah, namun, pembinaan kreativitas mereka tetap terjaga hingga saat ini. Terbukti, selepas juara pada tahun 2011, mereka tetap melanjutkan tradisi juaranya di tahun 2012, dan hingga saat ini mereka menyiapkan diri untuk mengikuti lomba-lomba yang terjadwal di tahun 2013.


Step by Step, dari Lokal hingga Menasional

Ekskul kulintang aktif  latihan setiap kamis pagi Pukul 10.00. Intensitas berlatih mereka tak hanya berhenti pada jadwal rutin, namun secara inisiatif para siswa meneruskan latihan mereka ketika ada waktu senggang, di luar jam pelajaran sekolah. Intensitas latihan dan kepercayaan diri yang cukup tinggi membuat mereka memberanikan diri mengikuti festival-festival kulintang yang diadakan di kota Surabaya.

Lomba pertama mereka adalah festival angklung dan kulintang yang diadakan oleh manajemen Grand City, Surabaya. Lomba itu mengikutsertakan ratusan siswa yang mewakili puluhan sekolah di Jawa Timur. Tak dinyana, puluhan sekolah itu berhasil disingkirkan dari perebutan gelar oleh para siswa SDK St Carolus. Pada kesempatan itu mereka berhasil meraih juara I tingkat Jawa Timur.

“Setelah lomba Grand City, siswa-siswi kami pada 2011 mengikuti perlombaan kedua yang diselenggarakan oleh Diknas, yang menentukan eksistensi siswa-siswi kami di tingkat nasional,” ungkap Yanto, wakil kepala sekolah SDK St Carolus.

Perlombaan kedua itu diraih dengan hasil memuaskan oleh para siswa peserta ekstra kurikuler kulintang SDK St Carolus. Mereka mendapatkan juara I dan berhak mewakili kota Surabaya dalam perlombaan tingkat Jawa Timur, yang diselenggarakan di Taman Budaya, Surabaya.

Tradisi Juara masih diteruskan. Mereka berhasil meraih juara I festival kulintang tingkat Jawa Timur dan mewakili provinsinya di tingkat nasional. “Faktor antusiasme, kemauan dan kreativitas siswa sangat menunjang dalam prestasi yang mengantarkan mereka dalam kejuaraan tingkat nasional,” ujar Emy, kepala sekolah SDK St Carolus.

Akhirnya perlombaan kulintang tingkat nasionalpun tiba. Ketika itu Surabaya menjadi tuan rumah perlombaan. SDK St Carolus tampil di hadapan dewan juri yang diisi oleh musisi-musisi nasional, penggiat musik daerah yang sangat sangat tinggi jam terbangnya. “Penilaian mereka didasarkan teknik, aransemen, sekaligus pembawaannya, menyangkut kostum dan sebagainya. Waktu itu SDK St Carolus tampil dengan menggunakankostum lagu daerah,” tutur Sugiyono.

Puncaknya, SDK St Carolus dapat mengharumkan tuan rumah, kota Surabaya sekaligus Provinsi Jawa Timur dalam perlombaan skala nasional tersebut. Mereka mendapat juara I dan sudah barang tentu melegakan, mengingat kerja keras dan persiapan latihan mereka selama berbulan-bulan.

“Kemarin, saat ini, dan nanti, kami tetap setia menekuni ekstra kurikuler kulintang dan tetap berusaha untuk meraih juara di setiap perlombaan,” pungkas Sugiyono, sesuai dengan filosofi membangun sebuah bangsa harus diawali dengan membangun budayanya. Jika semua individu memiliki kepedulian terhadap budaya bangsa, seperti halnya SDK St Carolus yang memiliki kepedulian terhadap eksistensi musik tradisional, maka Indonesia bukan tidak mungkin akan terpandang di mata dunia.



 Komentar

 
Sugiyono, pembina ekskul kulintang


“Belajar kulintang sebenarnya sangat mudah. Asalkan siswa memiliki keinginan, fokus dan mau berproses bersama-sama. Selain itu siswa juga dituntut memiliki kreativitas dalam olah nada dan olah rasa.


 
Theresa D.D, peserta ekskul kulintang
“Kulintang itu asyik, bisa melestarikan musik Indonesia dengan cara berlatih dan belajar kulintang dengan giat”
 



Diana Cindrawati, peserta ekskul kulintang
“Kulintang itu bisa membangkitkan semangat saya untuk menimba ilmu di bidang musik tradisi”

 



Abraham Natanael Pattinasarani, peserta ekskul kulintang
“Saya senang bisa bermain musik lewat kulintang. Selain itu saya ingin menjadi juara seperti kakak-kakak saya yang dulu pernah juara”

 



Violin Leonard, peserta ekskul kulintang
“Belajar kulintang itu mengasyikkan. Bisa berkumpul dan berlatih bersama teman-teman”
 




Ponti Selly, peserta ekskul kulintang
“Bisa ikut lomba-lomba adalah salah satu keinginan saya. Makanya saya ikut ekstra kurikuler kulintang untuk bisa mewujudkannya”