Cari Blog Ini

Jumat, 25 April 2014

Rencana Penutupan Dolly: Antologi Curahan Hati



Mengapa setiap manusia
Menghina kehidupannya
Mencari nafkah hidupnya
Sebagai seorang pramuria

(Kisah Seorang Pramuria, The Mercy’s)


Penggalan lirik tersebut mungkin cukup untuk menyadarkan kita semua, sekaligus menunjukkan betapa ironisnya menjadi seorang pramuria. Menjadi pramuria, apakah itu pekerjaan yang diharapkan oleh pelakunya? Tentu saja siapapun takkan mau menjual kehormatan juga harga dirinya demi meraup keuntungan dengan melakoni pekerjaan tersebut. Sayang, di negara yang katanya gemah ripah loh jinawi ini ternyata jauh panggang dari api. Tuntutan ekonomi telah nyata-nyata memaksa masyarakatnya untuk melakukan apa saja, melakoni pekerjaan apa saja demi sesuap nasi.

Dolly, siapapun pasti tak asing dengan nama itu. Lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara yang konon telah berdiri sejak jaman kolonial dan mulai dikenal oleh masyarakat sejak tahun 1966 tersebut hingga kini menjadi lahan untuk mencari nafkah bagi ribuan orang, mulai dari PSK,Mucikari,PKL,Tukang becak,pemilik warkop,pemilik parkir,dan lain sebagainya. APBD Surabaya tentu mendapat pemasukan yang besar pula. Lokalisasi yang terletak di Jalan Putat, Surabaya itu telah dikenal namanya di berbagai tempat.

Bertahun-tahun sudah usia lokalisasi Dolly di Surabaya dan menjelma menjadi lokalisasi yang melegenda bahkan di seluruh Indonesia. Setelah bertahun-tahun pemerintah membiarkan lokalisasi itu berdiri tegak, maka pada pemerintahan Walikota Tri Rismaharini, digulirkanlah wacana untuk menutup lokalisasi Dolly. Sebagai kompensasi, para PSK dan Mucikari akan diberi dana sebesar lima juta rupiah plus pelatihan ketrampilan selama tiga hari. Tentu keputusan pemerintah itu mengundang reaksi pro-kontra dari masyarakat. Kontan, protes paling keras dilakukan oleh seluruh elemen di lokalisasi Dolly, mengingat, lokalisasi itu telah menghidupi mereka, sekaligus menghidupi denyut nadi perekonomian Surabaya selama berpuluh-puluh tahun.

Dua orang PSK dari Dolly, mereka memperkenalkan nama samaran mereka, yakni Ida dan Titin, menyatakan bahwa mereka menolak keras usulan ditutupnya lokalisasi Dolly. Alasannya, kompensasi yang diberikan pemerintah masih belum cukup untuk dapat menunjang kehidupannya kelak jika Dolly sudah ditutup. “Pemerintah menjanjikan para PSK dan Mucikari disini akan mendapatkan dana kompensasi sebesar lima juta rupiah. Mereka pikir, apa duit segitu cukup untuk biaya hidup kami setelah lokalisasi ini ditutup? Saya punya keluarga yang butuh makan, butuh kiriman uang setiap bulannya. Anak saya juga masih sekolah. Hutang saya juga banyak. Saya bisa menghidupi keluarga dari pekerjaan ini. Jika ditanya, apakah saya mau menjadi PSK? Sebenarnya saya tidak mau, tapi keadaanlah yang memaksa saya,” ujar Ida. 

Senada, Titin juga mengatakan bahwa selama ini, lokalisasi Dolly selalu mengikuti ketentuan pemerintah. “Dulu pemerintah meminta dilakukan pemeriksaan kesehatan rutin selama dua minggu sekali, kami selalu aktif. Pemerintah memberi penyuluhan, kami selalu hadir. Jika sekarang pemerintah mengusulkan akan menutup lokalisasi tempat saya mencari nafkah selama ini, dengan sangat menyesal saya akan menolak,” ujar perempuan yang mengaku berasal dari Kediri dan telah memiliki enam orang anak yang masih bersekolah itu.
Bagaimana dengan pelatihan ketrampilan yang diberikan pemerintah? Ida dan Titin berkata bahwa mereka mengikuti pelatihan ketrampilan yang diberikan oleh pemerintah. Ketrampilan merajut, tata rias, tata boga, membuat handycraft dan lain-lain itu selalu tak pernah absen mereka ikuti. “Tapi pelatihannya cuma berlangsung selama tiga hari. Apa yang didapatkan peserta hanyalah tekhnik dasar. Mana ada pelatihan yang hanya dilakukan selama tiga hari dapat membuat kita bisa terampil dan mandiri? Nol besar,” ujar Ida yang juga diamini oleh Titin.

Pernahkah Ibu Walikota turun langsung untuk mensosialisasikan penutupan lokalisasi Dolly di hadapan seluruh stakeholder lokalisasi? Kedua perempuan itu mengaku bahwa Tri Rismaharini pernah melakukan beberapa kali penyuluhan, namun hanya kepada PSK dan mucikari saja. Saat itu, Ida mengaku bahwa ia sempat mendebat Ibu Walikota dan membuat pejabat nomor satu di Surabaya itu diam seribu bahasa. “Saya bilang kepada Ibu Walikota bahwa beliau hanya melihat pada permukaan saja. Beliau tidak pernah mengerti kondisi di dalam lokalisasi itu seperti apa. Lalu saya bilang kepada Bu Walikota, bahwasanya kami setuju lokalisasi ditutup, asalkan tiap-tiap kami diberi kompensasi sebesar lima puluh juta rupiah untuk modal usaha. Jika hanya diberi lima juta rupiah dan pelatihan selama tiga hari, itu sama saja omong kosong,” ujarnya. Menurut penuturan Ida, Bu Risma saat itu terlihat bingung dan tidak bisa berkata-kata.

Alasan Tri Rismaharini untuk menutup Dolly adalah ketakutan adanya trafficking dan potensi timbulnya berbagai permasalahan kesehatan, juga karena adanya penindasan yang dilakukan mucikari terhadap PSK. Setelah dikonfirmasi kepada Ida dan Titin, mereka menolak alasan-alasan walikota itu. “Pemerintah sudah melarang adanya PSK baru di lokalisasi ini. Itu kami patuhi. Sekarang juga bisa dicek langsung. Pemerintah takut akan masalah kesehatan, padahal, kami selalu rutin mengikuti tes kesehatan dan cek darah yang dianjurkan pemerintah selama dua minggu sekali. Tentang penindasan? Penindasan macam apa? Memang kami mempunyai hutang kepada mucikari dan kami membayarnya melalui pekerjaan kami ini. Mucikari tidak pernah memeras kami untuk segera membayar hutang dan sebagainya. Bila kami bekerja dan hutang berhasil dilunasi, kami boleh bertindak sesuka kami kok. Mau tetap bekerja sebagai PSK ya tidak apa-apa, mau keluar dari pekerjaan dan pulang ke kampung halaman juga tidak mengapa. Kami tidak merasakan penindasan,” ujarnya.

“Satu-satunya perasaan tertekan yang setiap kali kami alami hanyalah sebuah keterpaksaan untuk melakoni pekerjaan PSK seperti ini. Tapi Tuhan tahu, ini tuntutan ekonomi, bila tidak seperti ini, anak kami mau dikasih makan apa? Saya yakin Tuhanpun tahu, bilamana kami sudah cukup memiliki tabungan, ekonomi kami membaik, kamipun akan berhenti dari pekerjaan seperti ini,” tambah Ida.


Jeritan yang Tak Pernah Didengar 
          
“Ibu saya adalah seseorang yang umurnya lebih dari enam puluh tahun dan sampai sekarang beliau menghidupi anak-anaknya dari pekerjaan sebagai buruh cuci dan ngemong bayi di lokalisasi ini,” ujar Yoyok, salah seorang pegawai sebuah wisma di Dolly. Menurutnya, jika lokalisasi ditutup, maka bukan hanya PSK dan Mucikari semata yang dirugikan, melainkan ada ribuan orang yang akan kehilangan penghidupan, termasuk Ibunya.

Yoyok menuturkan bahwa setiap hari, ibunya menjadi buruh cuci dan merawat bayi atau anak-anak dari para PSK yang dititipkan kepadanya. “Setiap hari, menjelang PSK bekerja, para PSK itu banyak yang menitipkan anak-anaknya pada Ibu saya. Dari pekerjaan itu, ibu saya bisa mendapat penghasilan sebesar satu setengah juta sebulan,” tambahnya. Bertahun-tahun sudah Ibunya melakoni pekerjaan semacam itu. Yoyok sendiri selepas lulus sekolah juga bekerja sebagai pegawai di sebuah wisma di Dolly dan iapun bisa menghidupi keluarganya dari pekerjaannya itu.

Selain Yoyok, ketua RW di lokalisasi yang juga sempat diwawancarai menyebutkan bahwa selain buruh-buruh kecil, pedagang kaki lima juga akan terkena dampak penutupan dolly. “Di setiap wisma terdapat rombong-rombong kecil pedagang rokok. Mereka mengandalkan pemasukan sehari-hari dari berjualan rokok di tiap wisma itu. Jika ditutup, mereka mau makan apa? Itu masih PKL; belum buruh cuci, buruh masak, buruh ngemong bayi, buruh kebersihan, tukang becak, pemilik warung sampai tukang parkir. Pemerintah hanya berpikir satu sisi saja, padahal selain PSK dan pemilik wisma, bahkan pasar yang ada di belakang kawasan ini juga akan terkena dampaknya. Dengan kata lain, akan banyak sekali yang dirugikan dengan usulan penutupan itu,” ungkapnya.

Seorang mucikari yang juga sempat diwawancarai juga mengungkapkan kekecewaannya. “Kurang apa kami menuruti pemerintah? Kami juga menjamin bahwa tidak ada PSK baru di lokalisasi ini sesuai anjuran pemerintah. Kontrol kesehatan juga selalu diikuti oleh para PSK. Pemakaian kondom juga merupakan sesuatu yang wajib. Bila pemerintah mau menutup tempat ini, tolong dipastikan bahwa pemerintah juga punya solusi yang jitu. Bukan hanya sekedar menutup, tapi perhatikan pula nasib orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari lokalisasi ini. Bila disebut penindasan, dari cara seperti apa kami para mucikari ini menindas PSK? Bila PSK kami beri hutang dan kemudian ia tidak mau membayarnya dengan cara, misalnya kabur, kami bisa apa? Banyak kejadian seperti itu. Bila kami mencari para PSK yang kabur karena belum membayar hutang dan memaksanya untuk melunasinya, mereka bisa melapor ke polisi dengan tuduhan pemerasan, penindasan, pelanggaran HAM dan ujung-ujungnya kami juga yang kena. Dari sisi manapun kami ini sudah tidak bisa berbuat banyak. Bila sampai ditutup, kami mau dikemanakan?” ujarnya.
Itulah jeritan-jeritan yang telah berhasil dikumpulkan. Apakah akan didengar? Entah kapan kita akan mengetahui jawaban dari pertanyaan itu.


Secuil Harapan Untuk Penguasa

Dapat dipastikan, seluruh elemen lokalisasi Dolly dan sekitarnya menolak usulan penutupan yang digagas oleh pemerintah Surabaya yang menurut rencana akan disahkan pada tanggal 19 Juli 2014. Entah apa yang akan terjadi dalam waktu dekat ini, kita semua tidak mengetahuinya; yang jelas, komunikasi antara pemerintah dan seluruh stakeholder lokalisasi sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Bukan sekedar marah ataupun pasrah, tentu seluruh elemen lokalisasi memiliki secuil harapan pada pemerintah. Bila para PSK mengharapkan solusi yang pasti seperti pembiayaan kebutuhan hidup, pelunasan hutang serta pekerjaan tetap yang dapat menjaga dapur rumahnya tetap ngebul. Para PSK-pun memastikan bahwa bila lokalisasi benar-benar ditutup dan solusi yang diberikan tidak sepadan, maka mereka akan mencari tempat lain untuk menjajakan diri demi kebutuhan ekonomi, sekalipun dengan cara sembunyi-sembunyi.

Maka sama halnya pula dengan harapan para elemen masyarakat sekitar, mulai dari mucikari, PKL, buruh cuci, buruh ngemong bayi, buruh memasak, tukang parkir, pemilik warung dan sebagainya. Mereka kompak menyatakan bahwa pemerintah haruslah memiliki solusi yang benar-benar jitu yang bisa menjamin kehidupan mereka setelah penutupan dilakukan. 

“Jika Bu Risma menutup lokalisasi dengan tidak memberikan solusi yang pasti, maka ia hanya akan menjadi germo intelektual yang akan membiarkan prostitusi tumbuh subur di berbagai tempat di Surabaya. Hal itu akan lebih mengotori wajah kota ini,” ujar Yoyok.

Lilik Sulistyowati, yang juga akrab dipanggil Vera, sebagai ketua yayasan Abdi Asih yang menampung dan membina para PSK serta pengidap HIV/AIDS turut angkat bicara. Ia mengatakan bahwa yayasan Abdi Asih butuh waktu selama berbulan-bulan untuk memberi bekal bagi para mantan PSK yang ingin hidup mandiri tanpa berkecimpung di dunia prostitusi dengan pelatihan ketrampilan seperti menjahit, tata rias, tata busana dan sebagainya. “Jadi tidak mungkin hanya dengan pelatihan selama tiga hari oleh pemerintah dapat membuat para PSK ataupun mucikarinya bisa membuat usaha sendiri setelah penutupan dilakukan. Keterampilan itu butuh waktu yang tidak cukup hanya tiga hari. PSK yang berhasil dibina oleh yayasan Abdi Asih saja butuh waktu berbulan-bulan untuk memiliki bekal pengetahuan yang cukup dan bisa mandiri,” ungkap perempuan yang memasuki usia enampuluh tahun itu, yang juga sangat menyesalkan bahwa pemerintah kurang melibatkan LSM-LSM terkait serta seluruh elemen dalam upaya penutupan lokalisasi.

Lebih lanjut, para narasumber juga mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah giat melakukan komunikasi yang betul-betul ideal, bukan hanya sekedar pengarahan dan penyeruan penutupan semata. “Pernah kami diundang oleh salah satu instansi pemerintah, namun sesampainya disana, kami seperti mendengarkan radio, setelah siarannya selesai, kami pulang ke rumah masing-masing. Undangan saat itu katanya sosialisasi, diskusi, nyatanya, cuma koar-koar soal penutupan tanpa ada sesi tanya jawab dan semacamnya. Kamipun kecewa,” ujar ketua RW.

Untuk itu, para narasumber mengatakan bahwa mereka memiliki harapan kepada pemerintah untuk memperpanjang waktu penutupan. Mereka menyatakan bahwa mereka setuju lokalisasi ditutup dengan syarat pemerintah memberikan solusi yang tepat, seperti memberi kompensasi yang layak kepada semua pihak, juga memberikan pelatihan kepada semua elemen lokalisasi yang tidak hanya berlangsung tiga hari, melainkan dalam hitungan tahun. “Kami butuh pelatihan untuk kemandirian itu dalam hitungan tahun, entah satu tahun atau dua tahun atau berapa; setelah kami bisa mandiri dan pemerintah bisa memastikan bahwa kami bisa hidup layak tanpa terjun dalam dunia prostitusi, maka kami akan menyetujui usulan penutupan ini,” ungkap seseorang dari para narasumber tersebut.

Bagaimana bila pemerintah tetap bersikeras untuk menutup lokalisasi dalam tenggat waktu yang telah ditentukan? Para narasumber yang juga mewakili berbagai elemen lokalisasi itu serentak menjawab,
“Kami akan melawan dengan cara apapun,”

Menyusul jawaban-jawaban lain yang terlontar dari para narasumber:

“Karena usulan tersebut dapat membuat keluarga kami kehilangan sandang-pangan, maka apalagi yang akan kami perbuat selain melawan?”

“Jangan bertanya soal kesatuan pendapat kami sebagai masyarakat yang hidup dalam kawasan lokalisasi ini. Pemerintahlah yang berupaya menindas kami. Lebih baik melawan sekalipun kami sadar bahwa kami harus melawan penjajah yang berasal dari bangsa kami sendiri”

Sekali lagi, dengarkan
inilah ironi
dari sebuah negri yang katanya gemah ripah loh jinawi


* Tulisan ini adalah hasil penelitian lapangan dari tugas mata kuliah Gender & Seksualitas, Program Pascasarjana Kajian Budaya, Universitas Airlangga.

* Kontributor: Yuni Kuswidarti, Muhammad Zamroni, Nuke Ladyna

* Foto diambil dari berbagai sumber di google. 

1 komentar: