Jumat, 07 Desember 2012

Brangerous Art Community



Brangerous 
Ruang Ekspresi Seni Kaum Perempuan


Perempuan kerap dijadikan sasaran kekerasan, pelecehan, bahkan trafficking yang dilakukan oleh banyak oknum di negri ini. Bias genderpun masih tampak nyata dalam kenyataan masyarakat. Munculnya Organisasi perempuan serta adanya peran serta masyarakat yang peduli setidaknya dapat mengingatkan masyarakat serta pemerintah tentang pentingnya perlindungan terhadap kaum perempuan.

Macam-macam bentuk kriminalitas yang mengancam perempuan, semisal pelecehan seksual serta eksploitasi seks, trafficking serta ketidaksetaraan gender mengundang perhatian dari sejumlah seniman wanita, di antaranya bernama Maria, Dinar, Jajaq, Igna, Tantru dan (alm) Sapta, alumnus jurusan Desain Produk, Institut Teknologi 10 November (ITS), Surabaya untuk membuat sebuah gerakan kesenian sebagai upaya untuk mengeskplorasi ragam permasalahan yang menyangkut kaum perempuan dan menyelipkan pesan kepada masyarakat bahwasanya perempuan perlu perlindungan, perempuan mampu bekerja dan berkarya seni sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.

‘Brangerous’, itulah nama komunitas yang mewadahi gerakan kesenian yang digagas oleh para seniman wanita, yang didirikan pada tahun 2008. “Brangerous didirikan agar masyarakat dapat tahu bahwa kami kaum wanita juga mampu berkarya seni. Komunitas ini sekaligus sebagai wadah bagi seniman wanita untuk berekspresi dan bereksistensi lewat karyanya,” ujar Iis Yunus, anggota Brangerous.

Visi dan misi Brangerous adalah mendukung perempuan yang melakukan aktivitas berkesenian, melakukan aktivitas pameran seni lintas genre dan memberikan kesempatan bagi para perempuan untuk mengutarakan pandangan, pendapat, mimpi, obsesi, imajinasi, kritik dan saran untuk permasalahan-permasalahan perempuan maupun permasalahan dunia lewat karya seni. “Melalui karya seni Brangerous ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwasanya kaum perempuan patut dihargai, patut dilindungi dan dihormati,” ujar Abigail Niendy, anggota Brangerous.

Mengapa memilih nama ‘Brangerous’? Mereka menjelaskan bahwa ‘bra’ identik dengan perempuan, sedangkan ‘dangerous’ dalam bahasa Inggris berarti berbahaya. “Eits, tapi bra bukan sekedar bra yang dipakai kaum perempuan, namun bra juga memiliki kepanjangan, yakni Brain Release Art. Karya-karya kami berasal dari ide, pemikiran serta kedekatan sesama wanita dalam hati,” ujar Citra Ratih Prameswari, anggota Brangerous.

Dijelaskan pula bahwa seni adalah media kebebasan menyuarakan pendapat dan tidak ada aturan yang mengikat. “Hal itulah yang melandasi kami untuk membuat komunitas yang bergerak di bidang seni, selain karena memang kami cinta terhadap seni itu sendiri,” tandas Adrea Kristatiani, anggota Brangerous. Brangerous sebagai komunitas seniman wanita juga menjalin kerjasama sosial dan memperluas jaringan. Tujuannya, agar mereka lebih peka terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat, khususnya yang menimpa kaum perempuan.

Brangerous sejak tahun 2008 memiliki banyak kegiatan pameran seni yang memasukkan segala unsur kesenian, mulai dari seni rupa, prosa, puisi, video art, komik, ilustrasi, film dokumenter dan lain-lain. “Kami memasukkan segala bentuk kesenian dalam aktivitas pameran kami. Brangerous bebas, tidak memiliki kecenderungan terhadap seni tertentu. Siapapun kaum perempuan yang memiliki karya seni dalam bentuk apapun, kami terima dengan tangan terbuka,” ujar Iis Yunus, anggota Brangerous.

Contohnya pada Oktober 2012 mereka menyelenggarakan pameran seni yang merupakan bentuk kepedulian mereka terhadap kesadaran untuk melakukan pencegahan Breast Cancer. Mereka memaparkan bahwa pameran tersebut sebagai bentuk luapan kasih sayang mereka untuk kaum perempuan di seluruh dunia serta penghargaan yang mereka berikan tentang perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk mencapai keinginan menjadi manusia seutuhnya dengan harapan dapat dipandang sebagai objek dengan segala eksistensinya. “Atas nama perempuan, pameran Oktober kemarin diselenggarakan juga untuk memperingati bulan Oktober sebagai bulan kesadaran kanker payudara sedunia, International Breast Cancer Awareness dengan satu pesan yang sama, yakni perlindungan terbaik adalah pendeteksian dini,” ujar Abigail Niendy.

Dalam eksistensinya, Brangerous kerap bekerjasama dengan pihak-pihak lain, utamanya menyangkut pihak yang bergerak di bidang pemberdayaan atau perlindungan perempuan. Sebut saja Koalisi Perempuan Indonesia, tokoh perempuan, Ester Kuntjara maupun lembaga Reach to Recovery Surabaya, sebuah lembaga yang menangani permasalahan kanker payudara. “Seringkali kami didukung oleh banyak pihak dalam setiap pameran seni yang kami selenggarakan. Disana kami kerap membuka suatu ruang diskusi yang membahas tentang permasalahan-permasalahan perempuan dan anak-anak, misalnya eksploitasi seksual, trafficking maupun ketidaksetaraan gender,” ujar Shelly Bertha Idelia, anggota Brangerous.

Ketika ditemui, komunitas Brangerous tampak membawa serta karya-karya milik masing-masing anggotanya. Terdapat puluhan karya yang sebagian besar mengeksplorasi bra sebagai media berekspresi. Contohnya karya Maria Cecilia yang berjudul Breast Cancer Awareness Coin Purse (Bra dan alat jahit). Tampak disitu sebentuk karya dompet yang dibuat dari kedua ujung bra yang dikaitkan dan dijahit serta sebagai pemanis, dikaitkan pula pernak-pernik kain untuk menambah nuansa artistiknya. Menurut Maria, karyanya itu dibuat sebagai bentuk penghargaan terhadap kaum perempuan, utamanya yang peduli terhadap kanker payudara. “Tujuannya agar para wanita dapat menyimpan koin sisa belanjaannya. Meski uang koin bernilai kecil, namun dapat bermanfaat bagi wanita lain yang membutuhkan. Melalui hal kecil itu para wanita dapat memberikan dukungan kepada para survival kanker payudara,” ujarnya.

Adapula karya Luri Renaningtyas yang berjudul ‘Sex Sells’, dimana dalam karya itu Luri mengeksplorasi uang kertas sebesar 100 ribu rupiah yang saling ditempelkan dikaitkan hingga membentuk sebuah bra. Ketika ditanya maknanya, Luri mengatakan bahwa karyanya itu menarasikan perempuan yang selalu jadi komoditi. “Perempuan kerap menjadi komoditi ekonomi, seakan-akan perempuan adalah sosok yang punya kekuatan magis bagi kebutuhan kapital yang menjadikannya sesuatu yang menjual,” terangnya.

Komunitas Brangerous sejak tahun 2008 telah melakukan pameran seni. Di antaranya Go,Go Girl (2008), Brativity (2009), Merah Putih Harimu, The Way I Dress Up, Dream / Obsession (2010), What We Love about Friend (2011) dan yang terakhir, di tahun 2012 adalah pameran ABRAcadaBRA yang mengulas tentang Breast Cancer. Sampai saat ini mereka memiliki banyak anggota, namun yang aktif berkarya sekitar 30-40 orang. Di dalam Brangerous, tidak ada susunan ketua, bendahara, sekretaris dan semacamnya. “Kami bergerak bersama-sama, mempunyai visi dan misi secara bersama-sama. Tidak ada ketua dan semacamnya karena kami satu hati dalam melakukan segalanya. Semua sama rata,” ujar Icha, anggota Brangerous.

Mereka mengatakan bahwa mereka akan tetap konsisten dalam mengulas permasalahan-permasalahan wanita dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa perempuan juga bisa berkarya seni dan berekspresi. Sebagai media eksplorasi, di lain kesempatan mereka akan menggunakan media lain selain bra. “Kami juga punya rencana untuk mengeksplorasi media lain selain bra. Apa itu? nantikan saja pameran-pameran kami selanjutnya. Kami akan terus berkarya, kalau perlu sampai titik darah penghabisan,” pungkas Iis Yunus dengan menggebu-gebu

* Tulisan saya ini pernah dimuat di Surabaya Post edisi 09 Desember 2012

John Tondowidjojo: Professor Sepuh yang Produktif Berkarya


Romo Tondo dan Piagam Lukisannya


BIODATA


Nama                                       : Prof. Dr. K.R.M.T.  John Tondowidjojo. CM
Tempat Tanggal Lahir             : Ngawi, 27 September 1934
Alamat                                     : Paroki Kristus Raja, Jl. Residen Sudirman, Surabaya

Riwayat Pendidikan :

-          Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Surabaya
-          Studi Teologia, Collegio Sale- Bignole, Negroni, Genova, Italia
-          Komunikasi intercultural ‘Ethnologia’, Pontificia Universitas Urbaniana, Roma, Italia

Spesialisasi :

-          Musik untuk ‘Komposisi dan Dirigent’ di Centro della Cultura, Venezia, Italia
-          ‘Communication, Art and Media’ di Trinity and All Saints College, Leeds University, Inggris
-          Intensive Job Training di bidang ‘Publishing’, di National Communication Centre, Dublin-Irlandia
-          Intensive Job Training di bidang ‘Visual Communication’, Selly Oak Colleges, Burmingham, Inggris
-          Intensive Job Training bidang ‘Radio, Televisi dan Film’, National Communication Centre, Hatch End, London, Inggris
-          Intensive Job Training bidang ‘Community Paper Journalism’ pada Communication Foundation for Asia , Manila, Filipina
-          Post-graduate study bidang ‘Interpersonal Communication and Public Relations’, Niagara University, Amerika Serikat
-          Post-Graduate study bidang ‘Human Resources Management’, World Trade Centre (WTC), Manhattan, Amerika Serikat
-          Sejak tahun 1965 menjadi wartawan freelance di berbagai media cetak

Lembaga :

-          Anggota UNDA / OCIC Indonesia (televisi, radio dan film)
-          Population Institute of the United Nations, U.S.A
-          IPRA (International Public Relation Association), Geneva
-          International Journalist (UCIP) Geneva, Swiss dengan status Ambassador
-          Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS)
-          Center for Business Ethics, U.S.A
-          AMIC (Asian Media Information and Communication Center), Singapore
-          Pontificial Council for Culture, Vatican
-          IFDO (International Federation for Training and Development Organization), U.S.A
-          ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia)
-          ASTD (American Society for Training and Development), U.S.A


Karier :

-          Imam Katolik sejak 1963
-          Pembina Sanggar Bina Tama, Surabaya




Professor Sepuh yang Produktif Berkarya


Alunan merdu lagu pujian gereja Katolik siang itu menemani pertemuan saya dengan Prof. Tondowidjojo, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Romo Tondo di Paroki Kristus Raja, Surabaya. Di usianya yang menginjak 77 tahun, Romo Tondo masih giat beraktivitas, baik menulis, membina yayasan dan mengajar di berbagai universitas. Professor ahli komunikasi Ethnologia itu melontarkan gagasan-gagasan yang ingin diraihnya sekaligus bercerita tentang masa lalunya dimana ia pernah memiliki pengalaman menjadi wartawan lepas.

Sekalipun usianya telah sepuh, Romo Tondo masih tajam dalam mengemukakan gagasan dan ide-idenya. Tampak, tubuhnya masih fit dan segar-bugar. Saya yang penasaran kemudian menyinggung mengenai resep sehatnya. Romo Tondo lalu mengungkapkan bahwa ia terbiasa dengan kedisiplinan dalam menjalani rutinitas. “Disiplin diri dan disiplin waktu harus diterapkan dalam hidup. Misalnya tidur harus teratur, makan teratur dan sebagainya,” tandas kerabat dekat pahlawan nasional R.A Kartini itu. Ia juga mengungkapkan pola makan yang ia terapkan bahwa ia lebih mementingkan makanan sehat daripada makanan enak. “Makan makanan sehat lebih penting daripada makan makanan enak,” tambahnya.

Pola hidup sehatnya itu menunjang aktivitas mengajar, menulis, berkesenian dan memberi pelatihan komunikasi dan jurnalistik yang dijalaninya sejak 1965 hingga kini. Romo Tondo mengungkapkan pula bahwa di usianya yang sekarang, ia masih punya rencana untuk menerbitkan buku karya terbarunya, yakni ‘Dunia Wayang Purwa dan Pendidikan’. Buku itu akan diluncurkan kelak, tepat pada peringatan 10 tahun imamat, 31 Maret 2013. Ia menceritakan tentang pentingnya dunia pendidikan, utamanya untuk membentuk karakter siswa. “Dalam wayang purwa banyak keteladanan yang dapat dicontoh para siswa untuk membentuk karakter dirinya. Contohnya tokoh Abiyasa dalam pewayangan yang memberi keteladanan bagi sesama,” ujarnya. Romo Tondo juga mengungkapkan bahwa dunia pendidikan saat ini sangat kurang dalam hal pendidikan ‘Character Building’. “Sekolah saat ini memang banyak mencetak orang pintar, tapi bila pintar semata tanpa ditunjang karakter yang mumpuni, maka hasilnya percuma. Ironisnya, banyak guru tidak mampu mengajar dengan baik. Seharusnya guru selain mentransfer ilmu, mereka juga harus bisa membentuk karakter anak didiknya,” tandasnya.

Romo Tondo berbicara panjang lebar mengenai dunia pendidikan. Kepeduliannya terhadap dunia pendidikan membuatnya menggagas sanggar Bina Tama, yang terletak di kompleks Residen Sudirman, Surabaya. Sanggar Bina Tama menaungi anak-anak dari kalangan tak mampu agar mereka bisa bersekolah. “Sanggar ini memiliki proyek anak asuh dari kalangan keluarga miskin. Kami membantu mereka untuk bisa meraih masa depannya dimana kami membantu pendidikan mereka dari SD hingga perguruan tinggi,” ujarnya. Romo Tondo juga menjelaskan bahwa sanggar Bina Tama mendapat bantuan dana dari para dermawan yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Yayasan yang tiap tahunnya menerima 10 anak kurang mampu itu telah menghasilkan banyak anak didiknya yang berhasil meraih masa depannya. “Guru besar Unsud, Prof. Fransisca Suhartati dulunya adalah anak didik kami di sanggar Bina Tama,” ungkapnya dengan bangga.

Dalam sanggar Bina Tama yang dibinanya, Romo Tondo memaparkan bahwa ia menerapkan pendidikan karakter dan budi pekerti kepada anak didiknya. Ia juga menjelaskan bahwa dukungan orangtua sangat diperlukan dalam membentuk karakter anak didik. “Pendidikan di Indonesia terlalu difokuskan kearah iptek sehingga pendidikan pengembangan karakter dan budi pekerti menjadi kurang maksimal. Orangtua sebagai garda terdepan haruslah peduli terhadap pengembangan karakter anak,” ujar putra pasangan KRMT Tondowidjojo dan R.A Sutiretno Sosrobusono itu. Romo Tondo juga memaparkan bahwa pendidikan karakter dan budi pekerti sangat perlu, sebab bila tidak, anak akan menjadi tidak baik dan bangsa Indonesia akan kehilangan generasi penjaga karakter bangsa.

Dalam mengembangkan karakter anak didik, Romo Tondo telah melakukan sejumlah kegiatan yang menunjang karakter anak, utamanya penanaman kecintaan terhadap budaya Indonesia. Ia kerap mengadakan festival budaya nasional tiap tahun yang diikuti kalangan pelajar. Menurutnya, penanaman kecintaan terhadap budaya nasional dapat menunjang pengembangan karakter anak. “Budaya nasional harus benar-benar dijaga dan ditanamkan dalam jiwa setiap anak didik supaya karakter bangsa ini tidak lenyap oleh arus globalisasi,” ujarnya. Ia juga menyebutkan bahwa adanya pengaruh global membuat anak lebih tertarik pada arus baru budaya asing. Akibatnya, budaya bangsa semakin terpinggirkan, terlebih peran dunia pendidikan yang kurang memperhatikan pendidikan pengembangan karakter dan kecintaan budaya bangsa. “Padahal lewat budaya kita bisa membina nasionalisme. Pengaruh media massa dan orangtua yang ikut arus budaya asing yang masuk ke Indonesia membuat anak bisa kehilangan kecintaannya terhadap bangsanya sendiri,” paparnya. Ia juga menyebutkan bahwa kepeduliannya terhadap dunia pendidikan sejalan pula dengan dukungan gereja dalam dokumen Gravissimun Educationist, konsili Vatikan II, yang menyebutkan bahwa gereja mengingatkan dan menekankan orangtua untuk memberi pendidikan ‘Character Building’ pada anak. 

Romo Tondo juga mengisahkan bahwa aktifitas dan kegiatannya dalam menulis, berkesenian dan pendidikan membuatnya selalu bersemangat dalam menjalani hidup. “Puji Tuhan saya masih sangat sehat dan masih bisa beraktivitas dan berkarya, sebagai wujud sumbangsih saya bagi umat, masyarakat maupun bangsa dan negara,” pungkasnya.


Wartawan Freelance sekaligus Seniman Multitalenta

Selain menjadi imam, Romo Tondo adalah wartawan freelance yang tergabung dalam UCIP (Union Catholique International de la Press), forum wartawan internasional yang bertempat di Geneva, Swiss dengan status ambassador. Ia menjelaskan bahwa ia aktif sebagai wartawan freelance sejak tahun 1965 dan tulisannya banyak dimuat di berbagai media massa. 

Ditanya mengenai kegemarannya sebagai wartawan, Romo Tondo menyebutkan bahwa semua itu tak lepas dari kegemarannya menulis dan memperhatikan situasi. Ia juga menyebutkan bahwa wartawan sebagai pemerhati manusia, haruslah memiliki misi untuk membangun manusia supaya selaras, harmonis dan serasi dengan kehidupan. “Wartawan juga tidak boleh melanggar kode etik kewartawanan dan harus lebih memperhatikan etika jurnalistik. Wartawan yang baik adalah wartawan yang selalu giat mempelajari masyarakat dan manusia,” ungkap peraih Man of the year dari PBB di Amerika Serikat itu karena keaktifannya dalam kegiatan internasional dan keahliannya di bidang ilmu komunikasi.

Romo Tondo juga berkisah tentang kegiatannya berkeliling ke luar negri untuk mengikuti konferensi maupun memberikan pengajaran. Di luar negri, ia selalu menyempatkan diri untuk tampil di hadapan umum sembari memperkenalkan budaya Indonesia. “Saya memakai pakaian adat Indonesia dan meminta untuk tampil selama 10-15 menit dengan tujuan memperkenalkan budaya bangsa di luar negri,” ujarnya. Ia juga menceritakan tentang pengalamannya membawakan tarian nelayan ketika di luar negri dan membawakan tari senam pagi nasional di BBC, London, Inggris. 

Selain usahanya memperkenalkan budaya Indonesia ke luar negeri, Romo Tondo juga memperkenalkan musik Indonesia di luar negri. Pada 1960, ia mendalami pendidikan jurusan direksi dan komposisi di Centro della Cultura, Venezia, Italia. Ia mengungkapkan pula bahwa ia telah menciptakan 4 hymne. Ia aktif bermain musik hingga sekarang dan memiliki segudang pengalaman tampil di dalam maupun luar negri. “Saya pernah mengadakan demo permainan musik dan memimpin konser di dalam dan luar negri.

Melukis adalah keahliannya pula. Ia menunjukkan pada saya lukisan wayang yang ia kerjakan pada 1957 dan lukisannya itu telah diperkenalkannya ke luar negri. “Saya gemar melukis wayang. Lukisan saya pernah pula saya berikan pada acara ulang tahun guru besar saya di Italia, namanya professor Giachino dari Universitas Brignole Sale,” ujar professor yang juga anggota kependudukan nasional di PBB itu.

Aktivitas yang padat diimbangi pola hidup yang sehat membuat Romo Tondo selalu tampak segar bugar dan sehat walafiat. “Aktivitas yang padat harus diimbangi dengan pola hidup sehat agar kita tetap semangat,” pungkas imam Katolik yang total 90 bukunya dikoleksi oleh berbagai perpustakaan di Amerika Serikat dan Belanda itu.


* Tulisan saya ini pernah dimuat di Surabaya Post 09 Desember 2012 

Professor Josef Glinka, Pastur 40 cucu: Penolong Pasutri yang Sulit Memiliki Keturunan




BIODATA

Nama                           : Josef Glinka SVD., Msc., PhD., DSc.
Tempat / Tgl / Lahir      : Chrorzow, 07 Juni 1932
Alamat                         : Soverdi St Arnoldus, Jl. Polisi Istimewa 9, Surabaya
Nama Ayah                  : Konrad
Nama Ibu                     : Elisabeth
Nama Adik                  : Joachim, Michael

Riwayat Pendidikan  
-          Seminari Tinggi di Serikat Saverdi (SVD), Pieniezno, Polandia
-          Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia
-          Universitas Boleslaw Bierut, Wroclaw, Polandia
-          Universitas Jegiello, Krakow, Polandia
-          Universitas Johannes Guttenberg, Mainz, Jerman

Pengalaman                 :
-          1957-sekarang              : Rohaniawan Katolik
-          1962-1964                   : Chludowo, Polandia, Pengajar biologi dan ilmu tanah
-          1964-1964                   : Seminari Tinggi SVD, Polandia, dosen filsafat alam hidup
-          1966-1985                   : Dosen Seminari Tinggi Ledalero, Flores
-          1972-1975                   : Dosen tamu di Universitas Nusa Cendana, Flores
-          1972-1979                   : Guru besar Antropologi Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta
-          1983-1983                   : Dosen tamu di universitas Johannes Guttenberg, Mainz, Jerman
-          1985-sekarang             : Guru besar Antropologi Universitas Airlangga, Surabaya




Jauhi Makanan Berlemak dan Tetap Produktif Berkarya Tulis

Usianya sudah 80 tahun namun tetap bersemangat dan enerjik. Kerap kali pakar antropologi itu mengutarakan pikiran-pikiran tajam, dan ketika ditanya tentang masa mudanya, ia menceritakan kisah perjalanan hidupnya secara detail, nyaris tak ada satupun yang terlewatkan.

Ialah Josef Glinka, pastor yang juga guru besar Antropologi Universitas Airlangga itu mengutarakan resep sehatnya. “Selama ini saya hanya mengurangi makanan berlemak dan memperbanyak makan sayur dan buah-buahan. Selain itu tidak ada yang saya lakukan kecuali membaca dan menulis. Saya juga heran, mengapa saya bisa panjang umur,” ujarnya sambil tertawa. Dengan nada bercanda, romo Glinka mengutarakan bahwa ia sering bergaul dengan lingkungan anak-anak muda, makanya ia tetap awet muda dan panjang umur.

Membaca dan menulis adalah kegiatannya di waktu senggang. Setelah menarik diri dari aktifitas mengajarnya sejak 2010, kini setiap bulan ia aktif menulis di majalah Katolik. Ia juga akan menerbitkan buku yang ditulis bersama para pakar antropologi yang memuat dua penelitiannya. Penelitiannya yang pertama berjudul ‘Antropologi Nusa Tenggara Timur’, yang kedua berjudul ‘Variasi Manusia di Indonesia Dilihat dari Segi Lingkungan dan Genetika’. Selain itu, ia akan menerbitkan buku yang berjudul ‘100 tahun serikat SVD di Indonesia’ dalam bahasa Polandia, yang akan diterbitkan di Polandia. “Saya melakukan penelitian terhadap dokumentasi yang terkumpul sejak berdirinya Serikat Saverdi di Indonesia tahun 1913. Selain itu karena saya telah tinggal di Indonesia selama 47 tahun, maka pengamatan yang saya lakukan selama itu akan saya tulis pula,” ujar pria yang pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1965 itu.

Aktifitas menulis itu tak lepas dari latar belakang pendidikannya yang tinggi dan kecintaannya terhadap Indonesia. Ia menjelaskan bahwa ia sendiri yang memilih tempat penugasannya di Indonesia. Alasannya, karena ia memiliki paman yang juga seorang Pastur, bertugas di Indonesia pada 1938. “Umur saya masih 6 tahun ketika melepas keberangkatan Paman menuju Indonesia. Saat disana paman sering menulis surat, bercerita tentang Indonesia. Saya menjadi tertarik, sampai akhirnya pada tahun 1964 ada seorang Romo bernama Josef Diaz Viera datang ke Polandia untuk meminta 20 sukarelawan datang ke Indonesia, saya ikut dalam rombongan 20 orang itu,” tandasnya. 

Selama di Indonesia, sebelum penugasannya dari Flores, ia berkenalan dengan pakar antropologi anatomi bernama Adi Sukadana dan setelah penugasannya di Flores usai, ia kembali ke Surabaya dan bersama Adi Sukadana, ia mengajar di jurusan Antropologi Universitas Airlangga yang baru dibuka. Ia juga membangun dan memimpin studi keilmuan Antropologi Ragawi. Hingga sekarang Pastor Glinka aktif menulis artikel antropologis tentang Indonesia.

Selain dikenal sebagai pastor dan pakar Antropologi, ia juga merupakan polyglot, yakni seseorang yang menguasai banyak bahasa, diantaranya Polandia, Jerman, Perancis, Inggris, Latin, Yunani, Ibrani, Belanda, dan Indonesia. Bahasa-bahasa yang dikuasainya dipelajari ketika ia kuliah. Bahasa Indonesia dikuasainya setelah beberapa tahun bertugas di Indonesia. Sedangkan bahasa Polandia dan Jerman, dikuasainya sejak masa kanak-kanak. “Kebetulan rumah saya di Polandia adalah wilayah perbatasan Polandia-Jerman, dimana disana masyarakatnya menguasai 2 bahasa. Ibu saya berbahasa Jerman, sedangkan ayah saya berbahasa Polandia. Otomatis saya mengetahui 2 bahasa itu sejak kecil,” ujar sulung dari 3 bersaudara itu. 

Ia menerangkan bahwa bahasa Indonesia mudah dipelajari, namun kesulitannya hanya pada saat ia mengajar. “Ada istilah antropologi yang belum ada terjemahannya di Indonesia. Maka saya bersama Adi Sukadana menciptakan sendiri istilahnya dalam bahasa Indonesia yang menurut kami tepat,” terangnya.

“Jika mencoba berhenti membaca dan menulis, maka otak saya bisa karatan,” ujarnya sambil tertawa.



Memiliki Sekitar 40 Cucu di Surabaya

Romo Glinka dan Kawat Radiestesi
Bukan saja dikenal sebagai Pastur sekaligus Pakar Antropologi serta Polyglot, Romo Glinka juga dikenal memiliki kemampuan mendeteksi jalur aliran air di bawah tanah. Melalui kemampuannya itu ia kerap menolong orang sakit; selain itu ia juga sering menolong pasangan suami istri yang sulit mendapatkan keturunan. “Jalur aliran air di bawah tanah memiliki radiasi yang dapat mengganggu kesehatan. Pasangan suami istri yang tidur diatas jalur air di bawah tanah akan sulit memiliki keturunan,” ujar mantan dosen tamu Universitas Johannes Guitenberg, Jerman itu.

Romo Glinka menyebut keahliannya itu sebagai Radiestesi atau kepekaan mendeteksi radiasi jalur air. Bukan mistis, namun sejenis ilmu alam. Untuk mendeteksi aliran air, Romo Glinka mengaku bekerja dengan dengan menggunakan alat semacam kawat. Bila ia berjalan di atas tanah yang di dalamnya terdapat jalur aliran air, maka secara otomatis bagian tengah kawat akan jatuh kebawah. “Ini yang bekerja adalah saya, bukan kawatnya. Itu karena saya memiliki kemampuan mendeteksi aliran air di bawah tanah. Bila anda yang memegang kawat ini, tidak akan terjadi apa-apa karena anda tidak memiliki kemampuan deteksi,” tandasnya.  

Ditanya mengenai bakat deteksi jalur air itu, Romo Glinka mengungkapkan bahwa ia mendapatkannya sejak kecil. “Saat kecil saya selalu tidak bisa tidur dan cenderung jatuh sakit saat tidur di kamar tidur saya. Ternyata, saya bisa lihat bahwa saya tidur diatas jalur aliran air. Saya memindahkan tempat tidur saya ke tempat ‘aman’ dan sayapun menjadi sehat,” ujarnya.

Ketika menjadi konsultan pasien dengan problem keturunan, ia selalu menanyai pasiennya itu, apakah ada problem medis atau tidak. “Jika memang ada problem medis, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Jika tidak, saya akan periksa di bawah kamar tidur mereka ada radiasi jalur air atau tidak,” tambahnya.

Ketika ditanya pengalaman menarik dalam menangani pasangan dengan problem keturunan, ia berkisah tentang salah satu pasangan suami istri yang seusai ditanganinya, sekitar beberapa bulan kemudian datang kembali padanya. Saat itu si wanita memamerkan perut buncitnya. “Ada seorang wanita bersama suaminya, datang pada saya, kemudian menunjukkan perutnya dan berkata: Romo, lihat perut saya, sudah tampak kan? Ini sudah bulan keempat! hahaha,” kenangnya sambil tertawa.

Dalam menolong seseorang, Romo Glinka tidak memandang agama, status sosial dan semacamnya. Pernah ada mantan pasiennya yang mengungkapkan keinginan menolong kawannya yang juga kesulitan memiliki anak, namun, temannya itu non-katolik. Romo Glinka bersedia membantu. “Saya menolong orang tanpa pernah bertanya soal agama. Siapapun akan saya bantu jika memang membutuhkan bantuan. Seperti dokter, setiap kali ada orang yang datang pada saya, yang saya tanyakan adalah keluhannya, bukan agamanya,” tandasnya.

Ditanya mengenai banyaknya pasutri yang sudah pernah ia bantu, ia mengaku sulit menghitung jumlahnya karena cukup banyak. “Jika ditanya berapa jumlah pasien, saya tidak bisa menghitungnya. Namun jika ditanya soal ‘cucu’, di Surabaya ini saya memiliki sekitar empat puluh ‘cucu’ yang dilahirkan oleh pasangan suami istri yang pernah saya bantu melalui radiestesi. Itu masih di Surabaya; belum ‘cucu-cucu’ saya yang ada di Jogja, Solo, Flores dan banyak dari daerah lain,” pungkasnya sambil tersenyum.  

*tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post edisi 25 November 2012