BIODATA
Nama : Josef Glinka SVD.,
Msc., PhD., DSc.
Tempat / Tgl / Lahir : Chrorzow, 07 Juni 1932
Alamat : Soverdi St Arnoldus,
Jl. Polisi Istimewa 9, Surabaya
Nama Ayah : Konrad
Nama Ibu : Elisabeth
Nama Adik : Joachim, Michael
Riwayat Pendidikan :
-
Seminari Tinggi di Serikat Saverdi
(SVD), Pieniezno, Polandia
-
Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia
-
Universitas Boleslaw Bierut, Wroclaw,
Polandia
-
Universitas Jegiello, Krakow, Polandia
-
Universitas Johannes Guttenberg, Mainz,
Jerman
Pengalaman :
-
1957-sekarang : Rohaniawan Katolik
-
1962-1964 : Chludowo,
Polandia, Pengajar biologi dan ilmu tanah
-
1964-1964 : Seminari
Tinggi SVD, Polandia, dosen filsafat alam hidup
-
1966-1985 : Dosen
Seminari Tinggi Ledalero, Flores
-
1972-1975 : Dosen tamu
di Universitas Nusa Cendana, Flores
-
1972-1979 : Guru besar
Antropologi Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta
-
1983-1983 : Dosen tamu
di universitas Johannes Guttenberg, Mainz, Jerman
-
1985-sekarang : Guru besar Antropologi Universitas Airlangga, Surabaya
Jauhi
Makanan Berlemak dan Tetap Produktif Berkarya Tulis
Usianya sudah 80 tahun
namun tetap bersemangat dan enerjik. Kerap kali pakar antropologi itu
mengutarakan pikiran-pikiran tajam, dan ketika ditanya tentang masa mudanya, ia
menceritakan kisah perjalanan hidupnya secara detail, nyaris tak ada satupun
yang terlewatkan.
Ialah Josef Glinka,
pastor yang juga guru besar Antropologi Universitas Airlangga itu mengutarakan
resep sehatnya. “Selama ini saya hanya mengurangi makanan berlemak dan memperbanyak
makan sayur dan buah-buahan. Selain itu tidak ada yang saya lakukan kecuali
membaca dan menulis. Saya juga heran, mengapa saya bisa panjang umur,” ujarnya
sambil tertawa. Dengan nada bercanda, romo Glinka mengutarakan bahwa ia sering
bergaul dengan lingkungan anak-anak muda, makanya ia tetap awet muda dan
panjang umur.
Membaca dan menulis
adalah kegiatannya di waktu senggang. Setelah menarik diri dari aktifitas
mengajarnya sejak 2010, kini setiap bulan ia aktif menulis di majalah Katolik.
Ia juga akan menerbitkan buku yang ditulis bersama para pakar antropologi yang
memuat dua penelitiannya. Penelitiannya yang pertama berjudul ‘Antropologi Nusa
Tenggara Timur’, yang kedua berjudul ‘Variasi Manusia di Indonesia Dilihat dari
Segi Lingkungan dan Genetika’. Selain itu, ia akan menerbitkan buku yang
berjudul ‘100 tahun serikat SVD di Indonesia’ dalam bahasa Polandia, yang akan
diterbitkan di Polandia. “Saya melakukan penelitian terhadap dokumentasi yang
terkumpul sejak berdirinya Serikat Saverdi di Indonesia tahun 1913. Selain itu
karena saya telah tinggal di Indonesia selama 47 tahun, maka pengamatan yang
saya lakukan selama itu akan saya tulis pula,” ujar pria yang pertama kali
datang ke Indonesia pada tahun 1965 itu.
Aktifitas menulis itu
tak lepas dari latar belakang pendidikannya yang tinggi dan kecintaannya
terhadap Indonesia. Ia menjelaskan bahwa ia sendiri yang memilih tempat
penugasannya di Indonesia. Alasannya, karena ia memiliki paman yang juga
seorang Pastur, bertugas di Indonesia pada 1938. “Umur saya masih 6 tahun
ketika melepas keberangkatan Paman menuju Indonesia. Saat disana paman sering
menulis surat, bercerita tentang Indonesia. Saya menjadi tertarik, sampai
akhirnya pada tahun 1964 ada seorang Romo bernama Josef Diaz Viera datang ke
Polandia untuk meminta 20 sukarelawan datang ke Indonesia, saya ikut dalam
rombongan 20 orang itu,” tandasnya.
Selama di Indonesia,
sebelum penugasannya dari Flores, ia berkenalan dengan pakar antropologi
anatomi bernama Adi Sukadana dan setelah penugasannya di Flores usai, ia
kembali ke Surabaya dan bersama Adi Sukadana, ia mengajar di jurusan
Antropologi Universitas Airlangga yang baru dibuka. Ia juga membangun dan
memimpin studi keilmuan Antropologi Ragawi. Hingga sekarang Pastor Glinka aktif
menulis artikel antropologis tentang Indonesia.
Selain dikenal sebagai
pastor dan pakar Antropologi, ia juga merupakan polyglot, yakni seseorang yang menguasai banyak bahasa, diantaranya
Polandia, Jerman, Perancis, Inggris, Latin, Yunani, Ibrani, Belanda, dan
Indonesia. Bahasa-bahasa yang dikuasainya dipelajari ketika ia kuliah. Bahasa
Indonesia dikuasainya setelah beberapa tahun bertugas di Indonesia. Sedangkan
bahasa Polandia dan Jerman, dikuasainya sejak masa kanak-kanak. “Kebetulan
rumah saya di Polandia adalah wilayah perbatasan Polandia-Jerman, dimana disana
masyarakatnya menguasai 2 bahasa. Ibu saya berbahasa Jerman, sedangkan ayah
saya berbahasa Polandia. Otomatis saya mengetahui 2 bahasa itu sejak kecil,”
ujar sulung dari 3 bersaudara itu.
Ia menerangkan bahwa
bahasa Indonesia mudah dipelajari, namun kesulitannya hanya pada saat ia
mengajar. “Ada istilah antropologi yang belum ada terjemahannya di Indonesia.
Maka saya bersama Adi Sukadana menciptakan sendiri istilahnya dalam bahasa
Indonesia yang menurut kami tepat,” terangnya.
“Jika mencoba berhenti
membaca dan menulis, maka otak saya bisa karatan,” ujarnya sambil tertawa.
Memiliki
Sekitar 40 Cucu di Surabaya
Romo Glinka dan Kawat Radiestesi |
Romo Glinka menyebut
keahliannya itu sebagai Radiestesi atau kepekaan mendeteksi radiasi jalur air.
Bukan mistis, namun sejenis ilmu alam. Untuk mendeteksi aliran air, Romo Glinka
mengaku bekerja dengan dengan menggunakan alat semacam kawat. Bila ia berjalan
di atas tanah yang di dalamnya terdapat jalur aliran air, maka secara otomatis
bagian tengah kawat akan jatuh kebawah. “Ini yang bekerja adalah saya, bukan
kawatnya. Itu karena saya memiliki kemampuan mendeteksi aliran air di bawah
tanah. Bila anda yang memegang kawat ini, tidak akan terjadi apa-apa karena
anda tidak memiliki kemampuan deteksi,” tandasnya.
Ditanya mengenai bakat
deteksi jalur air itu, Romo Glinka mengungkapkan bahwa ia mendapatkannya sejak
kecil. “Saat kecil saya selalu tidak bisa tidur dan cenderung jatuh sakit saat
tidur di kamar tidur saya. Ternyata, saya bisa lihat bahwa saya tidur diatas
jalur aliran air. Saya memindahkan tempat tidur saya ke tempat ‘aman’ dan
sayapun menjadi sehat,” ujarnya.
Ketika menjadi
konsultan pasien dengan problem keturunan, ia selalu menanyai pasiennya itu,
apakah ada problem medis atau tidak. “Jika memang ada problem medis, saya tidak
bisa berbuat apa-apa. Jika tidak, saya akan periksa di bawah kamar tidur mereka
ada radiasi jalur air atau tidak,” tambahnya.
Ketika ditanya
pengalaman menarik dalam menangani pasangan dengan problem keturunan, ia
berkisah tentang salah satu pasangan suami istri yang seusai ditanganinya,
sekitar beberapa bulan kemudian datang kembali padanya. Saat itu si wanita
memamerkan perut buncitnya. “Ada seorang wanita bersama suaminya, datang pada
saya, kemudian menunjukkan perutnya dan berkata: Romo, lihat perut saya, sudah
tampak kan? Ini sudah bulan keempat! hahaha,” kenangnya sambil tertawa.
Dalam menolong
seseorang, Romo Glinka tidak memandang agama, status sosial dan semacamnya.
Pernah ada mantan pasiennya yang mengungkapkan keinginan menolong kawannya yang
juga kesulitan memiliki anak, namun, temannya itu non-katolik. Romo Glinka
bersedia membantu. “Saya menolong orang tanpa pernah bertanya soal agama.
Siapapun akan saya bantu jika memang membutuhkan bantuan. Seperti dokter,
setiap kali ada orang yang datang pada saya, yang saya tanyakan adalah
keluhannya, bukan agamanya,” tandasnya.
Ditanya mengenai
banyaknya pasutri yang sudah pernah ia bantu, ia mengaku sulit menghitung jumlahnya
karena cukup banyak. “Jika ditanya berapa jumlah pasien, saya tidak bisa
menghitungnya. Namun jika ditanya soal ‘cucu’, di Surabaya ini saya memiliki
sekitar empat puluh ‘cucu’ yang dilahirkan oleh pasangan suami istri yang pernah
saya bantu melalui radiestesi. Itu masih di Surabaya; belum ‘cucu-cucu’ saya
yang ada di Jogja, Solo, Flores dan banyak dari daerah lain,” pungkasnya sambil
tersenyum.
*tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post edisi 25 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar