Jumat, 16 Agustus 2013

Juventini Pebisnis Muda: Jersey dan Aksesoris Juventus Beromzet 10 Juta perbulan





Nama                                      : Muhammad Fitriansyah

Tempat Tanggal Lahir         : Surabaya, 17 Mei 1988

Alamat Rumah                      : Jl. Sukodono 5 no. 5, Surabaya

Alamat Kantor                      :  

(Juventus Shop Surabaya)
Jl. Brigjend Katamso II no. 21 B, Rt. 22, Rw. 05, Waru, Sidoarjo

Riwayat Pendidikan                         :

-          -Sd Al Khoiriah I, Surabaya
-          -Smp 11 Surabaya
-         - MAK Tahfidz Al Amin Prenduan, Sumenep, Madura
-          -Jurusab Tafsir Hadizt Kelas Internasional, Fakultas Sosiologi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya


Bisnis Jersey Juventus Beromzet 10 Juta Per Bulan

Sebuah kegemaran bila ditekuni dan dikembangkan melalui dengan kreativitas maka dapat menghasilkan keuntungan. Contohnya seorang pemuda 24 tahun asal Sukodono, Sidoarjo, seorang gila bola dan fans berat klub Italia, Juventus, mampu menghasilkan omzet laba bersih sekitar 10 juta setiap bulan. Terbukti, faktor usia yang masih relatif muda tidak menghalangi seseorang untuk menjadi kreatif dan inovatif.

Muhammad Fitriansyah namanya. Dalam lingkungan sekitar rumahnya ia dikenal sebagai sosok pengusaha muda yang menekuni bisnis jual-beli jersey dan aksessoris Juventus. Dalam lingkungan komunitas Juventini (sebutan untuk fans Juventus) di Surabaya, bahkan Indonesia, namanya lebih mentereng lagi. Ia dikenal karena produk-produk jerseynya yang memiliki kualitas bagus yang tidak kalah dengan produk-produk jersey terkemuka.

“Jika ditanya alasan mengapa saya suka Juventus, karena saya memang terlahir sebagai Juventini,” ucapnya filosofis.Ia lalu menjelaskan bahwa semenjak Sd, di lingkungan pergaulannya banyak kawan-kawannya yang menjadi Juventini. Maka iapun penasaran dan mencoba untuk menyaksikan Juventus saat bertanding melalui Tv. Alhasil, karena terpukau dengan penampilan Juventus yang ciamik, iapun menggilai klub berjuluk Nyonya Tua itu hingga saat ini.

Naluri bisnisnya tumbuh sejak ia ditugasi untuk menjaga usaha warnet milik ayahnya. Sebagai penjaga warnet, ia menjadi akrab dengan internet dan jejaring sosial. Lewat internet, ia selalu mengikuti perkembangan berita tentang klub kesayangannya itu. Melalui jejaring sosial, ia mengakrabkan diri dengan sesama Juventini setanah air. “Melihat banyaknya jumlah Juventini yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, saya jadi berpikir, bila saya memiliki bisnis yang berhubungan dengan Juventus, maka komunitas Juventini yang tersebar di berbagai daerah dapat menjadi pasar yang potensial,” ujarnya. Maka tercetuslah ide untuk membuat distro yang dinamakan ‘Juventus Shop Surabaya’, yang menjual barang-barang berbau Nyonya Tua.

Diceritakannya bahwa pada saat pertama kali merintis usaha, ia bekerjasama dengan kawan-kawannya yang memiliki keahlian jahit, bordir, desain dan sablon. Bermodalkan Rp.500 ribu, ia menerapkan strategi promosi desain jersey lewat jejaring sosial dan membuka sesi pre-order, sesi transfer dan sesi produksi. “Artinya, dalam sesi pre-order itu saya upload foto disain jersey melalui jejaring sosial untuk menjaring pemesan. Selanjutnya orang yang tertarik akan menjadi pemesan dan kami wajibkan untuk mentransfer uangnya terlebih dahulu dengan DP minimal 50%. Setelah itu kami melakukan sesi produksi dan akhirnya sesi pengiriman,” ujar sulung tiga bersaudara itu. Ia kembali memaparkan bahwa modal awal Rp. 500 ribu itu banyak digunakan untuk menalangi biaya produksi pemesanan-pemesanan awal.

Seiring dengan berjalannya waktu, penghasilan yang cukup lumayan rupanya tak membuat kawan-kawan Muhammad Fitriansyah termotivasi untuk lebih mengembangkan usahanya. “Beberapa diantara mereka mungkin terlena dengan keuntungan yang besar, jadi kawan-kawan saya dulu cenderung menyepelekan segala sesuatunya. Kecenderungan semacam itu berdampak pada molornya sesi produksi yang saat itu sempat membuat beberapa pelanggan kecewa,” ujarnya. Mengetahui masalah itu, ia memutuskan untuk tidak menjalin kerjasama dengan beberapa kawannya itu dan ia memutuskan untuk menghandle semuanya sendirian. Ia mulai belajar untuk memotong kain pesanan dan menyablon desain. Keuntungan yang didapatnya digunakan untuk membeli alat sablon.

“Terbukti, bila dikerjakan sendiri, maka akan cepat dan tidak molor. Itu karena saya bersemangat dan mau untuk terus maju. Sayapun tidak pernah terlena dengan keuntungan yang didapat. Saya akan terus berusaha untuk lebih mengembangkan usaha saya,” ujar pengusaha muda yang juga mahasiswa semester akhir itu.

Bagaimana caranya mendapat pelanggan yang sangat banyak? Ia menjelaskan bahwa ia aktif dalam menjalin keakraban dengan para pelanggannya. Terutama dalam melakukan promosi, ia aktif untuk berkawan dengan sesama Juventini dan komunitas-komunitas Juventini yang tersebar di seluruh Indonesia melalui jejaring sosial.. “Saya akrab dengan ketua Juventini pusat di Jakarta. Selain itu di berbagai daerah lain juga akrab. Dari situ saya juga melakukan promosi produk saya dengan cara saya upload di wall facebook mereka,”. Usaha memasarkan produk berbau Juventus itu rupanya cukup berhasil. Kegemaran yang sama dan jalannya bisnis yang lancar dan jujur antara penjual dan pembeli itu rupanya menambah keakraban diantara mereka. Otomatis usaha milik Muhammad Fitriansyah semakin berkembang dan tak pernah kehilangan pelanggan.

Total pelanggannya saat ini mencapai ratusan. Tercatat, dari berbagai wilayah, Sabang sampai Merauke pernah memesan kaos dan hingga saat ini menjadi pelanggan setianya. “Terutama teman-teman Juventini dari Semarang, Bitung, Manado dan Lombok, kalau pesan bisa sampai berlusin-lusin,” ujarnya.

Ditanya mengenai filosofi bisnis, pengusaha muda itu dengan mantap menjawab, “Kepuasan anda adalah kebahagiaan kami!,” ujarnya. Artinya, dalam menjalankan suatu usaha, harus diperhatikan mutu dan kualitas produk karena semua itu berkaitan dengan kepuasan dan kepercayaan pelanggan. “Jangan sekali-kali mengecewakan pelanggan, sebab bila sekali saja mereka kecewa, maka mereka tidak akan kembali lagi,” tambahnya.

Kesuksesan yang telah diraih di masa muda rupanya tak membuat pria kelahiran Surabaya, 17 Mei 1988 itu berhenti disitu. Banyaknya fans klub sepakbola diluar Juventus membuatnya melirik pangsa pasar fans klub lain. “Saat ini saya sedang menelurkan produk-produk di luar Juventus, diantaranya jersey klub-klub besar seperti Real Madrid, AS Roma, AC Milan, Barcelona dan Manchester United,” ujarnya. Ia juga menyatakan bahwa ia sedang merencanakan untuk mengembangkan usaha ke arah bisnis di luar jersey, yakni memproduksi kaos-kaos dengan disain unik yang sesuai dengan selera masa kini.


Berbisnis dan Bekerja Tanpa Berinfaq Adalah Nonsense

Itulah keyakinan yang dipegang oleh Muhammad Fitriansyah. Dalam perjalanan karier bisnisnya, ia selalu mendermakan sebagian hasil keuntungannya untuk kepentingan infaq. Ia juga berpegang teguh pada Al Quran yang menyebutkan bahwa jika seseorang berinfaq, maka rejeki untuknya akan dilipatgandakan. “Setiap bulan saya selalu menambah jumlah infaq saya. Semisal bulan pertama saya infaq Rp.100 ribu, maka minggu berikutnya akan saya tambah sebesar Rp.200 ribu, begitu seterusnya. Karena saya yakin bahwa semua yang kita miliki sebenarnya bukan milik kita sepenuhnya, namun milik Tuhan dan adalah sebagian kepunyaan kita adalah hak bagi mereka, orang-orang yang membutuhkan uluran tangan,” tandasnya.

Selain berinfaq, ia juga tak segan-segan untuk membantu kawan atau sesamanya yang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Ia menekankan kepada kawan-kawannya itu untuk membuat usaha sendiri dan jangan bergantung kepada orang lain. Selama ini ia aktif mengajari kawan-kawannya tentang bagaimana cara membuat usaha yang berkaitan dengan kaos, jersey dan semacamnya. Iapun juga memberi pelatihan tentang shop online, yakni bagaimana cara melakoni bisnis dengan cara online. “Sampai saat ini ada banyak kawan saya yang berhasil. Diantaranya ada yang melakoni bisnis kaos musik dan juga jersey. Salah satu dari mereka bahkan berhasil membidik pangsa pasar OI (fans Iwan fals) dan fans Noah. Merupakan kebanggaan bagi saya melihat teman saya dapat berhasil, karena berbagi ilmu adalah hal yang wajib kita lakukan agar orang lain juga dapat menjadi sukses dan berhasil,” paparnya.

Selain kawan-kawannya, ia juga mengajari salah satu adik sepupu dan adik kandungnya. Adik sepupunya bernama Muhammad Afid (25) kini juga menjadi pengusaha muda yang aktif berbisnis jersey berbau klub Italia Inter Milan. Sedangkan adiknya, juga sukses menjadi pengusaha jersey berbau klub Italia AC Milan. “Nama usaha milik Muhammad Afid adalah ‘Shop Inter Milan’, sedangkan adik saya nama usahanya ‘Milanisti Base Camp’. Cek saja di facebook. Mereka berdua juga cukup sukses,” ujarnya sambil tersenyum.

Apa yang dijalaninya itu tidak lain didasari oleh rasa keprihatinan terhadap dirinya sendiri. Sebab ia merasa bahwa semenjak Tk sampai Sma, ia selalu menggantungkan uang saku dari penghasilan orangtua. Sebagai anak sulung, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk bisa mandiri dan dapat membantu perekonomian keluarga. “Saya meyakinkan diri saya bahwa saya bisa mandiri dan bisa memiliki penghasilan sendiri agar tidak selalu bergantung pada orangtua. Alhamdullilah usaha saya membuahkan hasil dan dapat membanggakan kedua orangtua saya,” pungkasnya.

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Sore Surabaya Post.

Kamis, 30 Mei 2013

KOPERJATI: Komunitas Perupa Jawa Timur




Nama Komunitas        : Komunitas Perupa Jawa Timur (KOPERJATI)
Berdiri Sejak               : 2004
Ketua Komunitas        : Muit Arsa
Penasehat                    : Agus Koecing
Base Camp                  : Balai Pemuda Surabaya
Sekretariat                   : Jl. Pulo Wonokromo 255, Surabaya
Anggota Aktif             : 50 orang



Koperjati: Wadah Ekspresi Perupa Se-Jawa Timur

Dewasa ini perkembangan seni rupa Indonesia yang semakin mengalami kemajuan membuat semakin banyak jumlah perupa yang muncul ke permukaan. Adu kreativitas serta kreasi berlangsung di antara para perupa tersebut. Tentunya peran media massa, internet serta keterbukaan informasi membuat para perupa tidak pernah kehilangan referensi dan pengetahuan tentang dunia seni rupa.

Di Jawa Timur sendiri banyak berlangsung even pameran seni rupa yang diselenggarakan di berbagai daerah. Adanya dewan kesenian yang tersebar di daerah-daerah di Jawa Timur memberikan kesempatan bagi para perupa untuk bisa memamerkan karya-karyanya. Selain itu, dewan kesenian banyak memberikan informasi seputar seni rupa yang juga berguna bagi eksistensi para perupa di berbagai daerah.

Sebagai ibukota provinsi, Surabaya merupakan dambaan dari para perupa daerah untuk bisa berpameran di kota tersebut. Tentunya status sebagai kota Metropolitan dimana perputaran roda ekonomi serta keterbukaan informasi membuat perupa dari berbagai daerah berlomba-lomba untuk bisa berpameran di kota itu. Tentunya tidak mudah bagi para perupa, utamanya pemula untuk bisa berpameran di Surabaya, karena selain perupa lokal jumlahnya telah membludak, keterbatasan ruang pamer juga menjadi kendala.

Berdasarkan kegelisahan tersebut, Muit Arsa, seorang seniman seni rupa Surabaya berinisiatif mendirikan sebuah wadah untuk bisa menaungi seluruh perupa dari berbagai daerah di Jawa Timur. Jaringan luas yang dimiliki oleh Muit Arsa di Surabaya, terkait akses ke dalam sarana-sarana ruang pamer serta informasi tentang kolektor-kolektor seni ingin ia manfaatkan bagi para perupa di Jawa Timur untuk bisa eksis di dalamnya.

“Wadah itu selain sebagai sarana berpameran perupa Jawa Timur di Surabaya, juga berfungsi sebagai sarana ekspansi karya kami ke luar Surabaya, ke daerah-daerah di Indonesia, bahkan harapannya bisa membawa perupa Jawa Timur berpameran hingga ke luar negri,” ungkap Muit Arsa. Walhasil, dengan usaha kerasnya, tepatnya pada tahun 2004 ia mampu mengajak puluhan perupa dari berbagai daerah di Jawa Timur, bergabung dalam suatu wadah yang dinamakan Koperjati (Komunitas Perupa Jawa Timur).

Dengan harapan mampu mengakomodir para perupa Jawa Timur untuk bisa mengembangkan kreasi, kreativitasnya dengan berpameran di Surabaya dan Indonesia, Koperjati pada 2004 membuat gebrakan awal, yakni mengadakan sebuah pameran seni rupa yang dinamakannya pameran ‘Lintas Generasi’. Pameran itu diselenggarakan di Balai Pemuda, Surabaya, dan mengikutsertakan 70 perupa dari berbagai usia, mulai dari anak-anak hingga perupa berusia lanjut. Gebrakan awal ini mendapat respon positif dari masyarakat Surabaya juga pengamat-pengamat seni rupa di Surabaya. Gebrakan awal yang melibatkan perupa lintas generasi itupun tak ayal membuat nama Koperjati mulai dikenal.

Gebrakan awal yang cukup mendapat respon positif dari masyarakat serta para pengamat seni itu rupanya tak cukup sampai disitu. Berbagai kegiatan yang mereka adakan dalam perjalanannya juga banyak menyita perhatian dari masyarakat luas. “Setiap tahun kami mengadakan beberapa kali even pameran dan selalu mendapat respon dari masyarakat,” ujar Hadi Gondrong, salah satu anggota Koperjati.

Tercatat dari tahun 2004 hingga kini Koperjati telah melakukan 12 kali pameran di Surabaya dan di berbagai daerah di Jawa Timur. Dalam setiap pameran, mereka melakukan sistem seleksi untuk menjaring karya-karya yang layak pamer. “Sistem seleksi ini melibatkan banyak pengamat seni, sehingga kami selalu bisa menjamin mutu dan kualitas karya yang dipamerkan. Maka dari itu Koperjati semakin dikenal masyarakat karena di dalamnya banyak perupa-perupa berbakat,” ungkap Juniarto, anggota Koperjati yang juga guru seni rupa di sekolah swasta itu.

Dalam perkembangannya, Koperjati semakin dikenal masyarakat luas. Perupa-perupa dari berbagai daerah secara aktif terlibat dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan tiap tahunnya dan seiring perkembangan waktu, intensitas media massa dalam mengekspos keberadaan Koperjati semakin ramai dan tentu membuat anggota mereka semakin banyak. “Keberadaan media massa juga berpengaruh terhadap eksistensi kami dan pemberian informasi kepada para perupa daerah untuk bergabung,” ujar Wahyudi, anggota Koperjati. Diterangkannya pula, bahwa anggota Koperjati memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari guru, dosen, pengusaha, PNS hingga petani daerah.

Selain mengadakan even pameran rutin, Koperjati kerap kali mengadakan even-even semisal melukis bersama yang diikuti oleh puluhan anggotanya. Kegiatan melukis bersama itu kerap diadakan di berbagai tempat, seperti di gedung kesenian, cafe, hotel maupun tempat-tempat lain di Surabaya. Selain itu mereka juga kerap menyewa model untuk acara lukis model dan pergi ke daerah-daerah tertentu untuk melukis landscape secara bersama-sama.

Selama ini Koperjati dalam hal menjaga silahturahmi antar anggota, mereka kerap mengadakan diskusi seni dan ngobrol santai di sekretariat mereka di Jl.Pulo Wonokromo 255, Surabaya. Tiap sebulan sekali mereka selalu menyempatkan diri untuk silahturahmi ke berbagai daerah untuk berkumpul dengan para anggotanya di daerah-daerah. “Anggota kami tersebar di berbagai daerah. Jadi, kami selalu menyempatkan diri untuk mengadakan acara kumpul bareng di berbagai daerah,” ujar Misgeiyanto, anggota Koperjati.

Sekalipun beranggotakan individu dari keilmuan yang sama, yakni seni rupa, Koperjati mampu menjaga kesolidan organisasinya. “Tidak ada aroma persaingan yang buruk disini; yang ada adalah saling mengisi. Persaingan dalam hal kualitas itu biasa. Kami sering berbagi tekhnik melukis,” ujar Asep, salah satu anggota Koperjati.

Koperjati yang berdiri sejak 2004 dan tetap eksis hingga sekarang adalah suatu keberhasilan bagi tiap anggotanya, mengingat, iklim komunitas kesenian di Surabaya yang akrab dengan nuansa persaingan sangat kental. Keberhasilan itu memancing kekaguman dari seorang Agoes Koecing, kurator seni rupa nasional yang kini menjabat sebagai penasihat Koperjati. “Anggota Koperjati tersebar di berbagai daerah, dan hingga kini mereka masih tetap eksis serta sangat solid. Salut!,” ujarnya.



Kepedulian dalam Tema Karya Seni Rupa

Dua belas kali pameran seni rupa hingga sekarang bukanlah suatu hal yang bisa dipandang sebelah mata. Itulah hasil kerja keras Koperjati, komunitas seni rupa Jawa Timur yang beranggotakan puluhan perupa dari berbagai daerah.

Jika kita banyak membaca kecenderungan seni rupa baik di Indonesia maupun dunia, pergerakan-pergerakan seni rupa avant garde kerap dipelopori oleh para individu dan tidak jarang pergerakan itu merupakan buah pemikiran sebuah komunitas seni. Di Indonesia kita mengenal Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB) yang aktif dengan tema-tema kritis terhadap pemerintahan, maupun komunitas-komunitas lain yang tersebar di berbagai wilayah. Lalu bagaimana dengan Koperjati?

“Dalam setiap pameran sebenarnya kami kerap tidak membatasi ekspresi para perupa dalam kerangka tematik tertentu. Namun adakalanya kami membuat tema-tema yang berkaitan dengan kepedulian, baik kepedulian sosial maupun budaya,” ungkap Sulton, anggota Koperjati.

Kepedulian sosial dalam tematik pameran Koperjati telah beberapa kali diwujudkan, seperti penyelenggaraan pameran yang hasilnya didonasikan untuk korban bencana lahar merapi beberapa tahun yang lalu, juga pameran-pameran lain yang hasil penjualannya dipergunakan untuk amal.

Pada pameran yang akan digelar beberapa bulan ke depan, Koperjati akan mengadakan pameran dengan tema kepedulian terhadap kesenian reog. “Jadi kami akan melukis segala sesuatu tentang reog. Tema itu merupakan wujud kepedulian kami terhadap kesenian reog, agar jangan sampai diklaim bangsa lain,” tukas Jiyu, anggota Koperjati.

Ke depan, selain menyelenggarakan pameran di Surabaya, Koperjati akan menyelenggarakan pameran keliling Indonesia, bahkan beberapa bulan ke depan mereka akan berangkat ke Malaysia untuk berpameran di negri jiran itu.

Tentu kepedulian, baik sosial maupun kebudayaan sangat dibutuhkan di negri ini. Komunitas-komunitas dan individu-individu telah banyak yang memulainya. Bagaimana dengan kita? m17



Komentar

 

Muit Arsa, Ketua Koperjati
“Koperjati adalah wadah untuk mengakomodir para perupa di Jawa Timur agar bisa tetap eksis dan berpameran di berbagai kota di Indonesia, bahkan di luar negri. Mari membangun seni rupa Jawa Timur untuk bisa lebih baik lagi”






 

Agus Koecing, Penasehat Koperjati
“Koperjati adalah komunitas yang mempunyai gerakan bersenirupa yang konsisten, solid dan tidak segan berdiskusi dengan orang yang dianggap mampu berdiskusi, demi kebaikan mereka semua”






 

Misgeiyanto, anggota Koperjati
“Di dalam Koperjati para perupa bisa saling bertukar wawasan berkesenian yang membuat pengetahuan kami semakin bertambah, baik dalam tekhnik berkarya maupun wawasan seni”






 

Juniarto, anggota Koperjati
“Kehadiran Koperjati di tengah-tengah seniman Jawa Timur sangat terasa, terutama bagi seniman daerah dimana mereka bisa ikut berpameran bersama-sama. Komunitas ini penuh kekeluargaan dan solidaritas





 



Mang Asep Bandung, anggota Koperjati
“Koperjati mengakomodir para seniman di Jawa Timur dan tetap eksis di tengah isu-isu industri kreatif yang sedang dinyalakan dimana-mana. Tidak lupa, Koperjati juga bisa mengakomodir kesenian lokal dan kearifannya”








*Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post

Selasa, 21 Mei 2013

Riswan 'Gondo' Hamdani. Kisah Pembuat Gitar Sidoarjo





Nama                                       : Riswan Hamdani (Gondo)
Tempat Tanggal Lahir             : Sidoarjo, 11 Maret 1983
Alamat                                    : Bungurasih Timur no. 12, RT 04, RW 01, Sidoarjo
Nama Istri                               : Anita Kurniawati

Riwayat Pendidikan               :
1.      SD Darul Ulum, Sidoarjo
2.      SMP Wachid Hasyim, Sidoarjo
3.      Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), Surabaya



Kisah Pengrajin Gitar Muda Ternama Asal Sidoarjo

“Saat itu adik saya minta dibelikan gitar baru. Saya tak mampu mewujudkan keinginan adik saya karena dulu, kami sekeluarga hidup dalam kondisi yang sangat sederhana,” ujar Riswan Hamdani yang akrab dengan nama panggilan Gondo. Karena tidak mampu menuruti keinginan adiknya, ia mencoba-coba untuk membuat karya gitar sendiri, berbekal kemampuan seni rupa yang didapatnya saat SMA.

Untuk menuruti keinginan adiknya, ia akhirnya berusaha membuat gitar dengan bahan-bahan sederhana, seperti triplek, kayu dan semacamnya. Sebagai model konstruksi gitarnya, ia meminjam gitar merk Yamaha milik tetangganya. Kemudian gitar pinjaman itu dicontoh konstruksinya dan dibuat dengan alat-alat sederhana. Maka jadilah, gitar karya Gondo yang pertama kali.

Adiknya tentu saja sangat senang dengan karya kakaknya. Ia memamerkan gitar barunya itu pada teman-temannya. Ternyata, respon banyak orang ketika memainkan gitar milik Gondo sangat positif. Selain karena suaranya nyaring, konstruksi gitar karyanya begitu rapi dan tekhnik pewarnaan bodi gitarnyapun nyaris menyamai gitar produk luar negri.

“Hanya berbekal ilmu seni rupa yang saya peroleh ketika sekolah di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa, kini namanya SMKN 11), juga karena respon masyarakat cukup bagus, saya memberanikan diri untuk membuat gitar lagi,” ujarnya. Saat mengawali niatnya itu, ia menyadari bahwa ia tidak memiliki modal sama sekali.
Bagaimana cara mendatangkan modalnya? “Gitar buatan saya untuk adik dulu saya jual lagi. Saat itu laku 75 ribu, dibeli oleh seorang pengamen dari Terminal Bungurasih. Soal adik saya, saya tidak peduli dia mau menangis atau marah. Namanya juga membuka usaha kan butuh pengorbanan,” ungkapnya sambil tertawa.

Uang 75 ribu hasil penjualan gitar itu ia pergunakan untuk membeli bahan-bahan keperluan produksi, seperti kayu, triplek dan lain-lain. Dari situlah usahanya perlahan mulai berkembang. Usahanya dibuka sejak tahun 1998 dan hingga 2001, langganannya adalah kumpulan pengamen dari Terminal Bungurasih. “Mereka jadi langganan ya karena pengamen yang membeli gitar buatan saya pertama kali. Mereka suka karena menurut mereka gitar buatan saya nyaring. Selain itu harga gitar saya murah, cuma 100 ribu waktu itu,” ujar pria yang Maret besok genap 30 tahun itu.
Karena usahanya yang selama 5 tahun berjalan datar-datar saja, Gondo mulai memberanikan diri untuk melakukan survei di produsen-produsen gitar di Jakarta. Selepas SMU ia melamar kerja di Yamaha Music Jakarta. Selama bekerja, ia mengamati cara memproduksi gitar dan setelah puas mendapat ilmunya, ia keluar dari pekerjaannya dan kembali lagi ke Sidoarjo.

Di rumahnya di Sidoarjo, ia  mengembangkan lagi usahanya. Berbekal pengetahuannya di Yamaha Music Jakarta, ia mulai memproduksi gitar dan bass akustik dan elektrik. Saat 2003 itulah, seiring dengan meningkatnya kualitas produk buatannya, usahanya itu mengalami kemajuan pesat. “Saat itu gitar saya jual mulai dari 250ribu-500ribu,” ujarnya.

Karena usahanya membuahkan hasil, ia dilirik oleh Pak Ngkos, seorang pengrajin gitar Internasional asal Surabaya. “Pak Ngkos melihat semangat saya untuk bekerja keras. Maka dari itu ia mau datang, bahkan sampai memberikan ilmunya untuk memproduksi gitar dan bass standart internasional pada saya,” paparnya.

Bagaimana standart gitar internasional? Riswan Hamdani alias Gondo memaparkan, bahwa standart gitar internasional memiliki ciri khas pada bahan-bahannya, yakni sound board gitar yang berbahan kayu Siprus, impor dari Kanada dan Jerman; sedangkan side gitar berasal dari kayu Brazilian Rosewood, impor dari Brazil. “Untuk konstruksi gitar, saya memakai model konstruksi Martin String, Taylor dan Gibson Les Paul,” ungkapnya. Model Martin String adalah model gitar akustik seperti yang dipakai Iwan Fals, model Taylor seperti yang dipakai Fadly ‘Padi’, sedangkan model Gibson Les Paul identik dengan yang dipakai oleh Elvis Presley sampai Andra ‘Dewa 19’.

Walhasil, mulai tahun 2008, usahanya mengalami peningkatan pesat. Produk gitarnya berharga mulai dari 750 ribu hingga 7 juta rupiah. Selain karena murah, produknya juga berkualitas. Itulah mengapa banyak pelanggan yang datang dan memesan gitar padanya.

“Untuk memesan gitar disini, pelanggan terlebih dahulu memberikan contoh model gitar sesuai keinginannya, dan memberi uang muka minimal 20%, maksimal 40%,” ujar Gondo. Ia mengungkapkan bahwa uang muka ia patok tidak lebih dari 40% karena dengan jumlah itu ia bisa mengatur keuangan. “Bila diatas 40%, saya takut uangnya terpakai atau tercampur aduk,” tambahnya.

Gondo mengatakan bahwa usahanya itu berani bersaing dengan produk gitar nasional. “Kelebihan usaha saya adalah sekalipun pemesan memesan gitar dengan harga yang paling murah, bahan baku yang kami berikan sudah berupa kayu. Sedangkan gitar produksi nasional, bila belum diatas harga 5 juta, bahan bakunya masih belum full kayu. Dominan triplek,” paparnya. Maka dari itulah jangka waktu pemesanan dan pengambilan barang berkisar antara 3-4 bulan, karena proses pembuatannya yang rumit.

Alhasil, hingga saat ini pelanggan gitar Gondo terdiri dari musisi-musisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Sulawesi, Kalimantan, hingga ke berbagai daerah di Pulau Jawa. Pelanggannyapun terdiri dari banyak kalangan, mulai dari artis lokal, amatir, professional hingga artis nasional. Sebut saja Frangky ‘Krom’ Mundu, bassist Kunto, drummer pemecah rekor dunia sampai Luki, gitaris Power Metal adalah pelanggan setianya.
Hingga kini, omzet yang diraih secara rutin per bulannya berkisar 14-15 juta. “Itu pemasukan rutin. Kalau sedang ramai ya bisa berlipat-lipat,” pungkasnya.


Berbagi Tips dan Minta Perhatian Pemerintah

Riswan Hamdani alias Gondo tidak segan-segan untuk membeberkan tips membuat gitar kepada saya. Menurutnya, tidak perlu mesin pabrik yang rumit, cukup dengan cara manual saja seseorang bisa membuat gitar berkualitas.

Awal membuat gitar, pertama kali adalah mendisain bodi gitar, setelah usai, kemudian side gitar ditekan ke dalam bodi, lalu disiapkan sound board yang telah terpasang brassing atau kerangka depan gitar, dan disambungkan ke side dan soundboard gitar sampai benar-benar lurus dan rapat.
Tahapan kedua adalah membuat back side gitar. “Back side gitar yang telah dibuat, dipasangkan ke dalam bodi gitar bagian belakang, lalu dirapikan dan pasang aksessoris. Setelah semua usai, tinggal pasang neck gitar, juga fret gitar, kemudian dicat. Bahan catnya adalah cat kayu, dan cat tidak boleh terlalu tebal karena akan mempengaruhi suara. Setelah usai, baru dipoles. Jadilah, sebuah gitar baru siap untuk dimainkan,” ujarnya.

Ditanya, soal kesulitan, Gondo mengatakan bahwa dalam pelaksanaan usahanya, tidak ada kesulitan sebab semua yang dirasa sulit itu dianggapnya sebagai tantangan bagi seorang pengrajin. Hanya, ia merasakan bahwa kesulitan terbesarnya adalah banjir. “Rumah dan lingkungan saya di Bungurasih Timur kerap jadi langganan banjir. Selama ini belum ada perhatian pemerintah setempat untuk menangani banjir di daerah ini, padahal daerah ini cukup dekat dengan terminal Bungurasih. Kalau banjir, terpaksa usaha kami liburkan sampai benar-benar reda banjirnya,” keluhnya.

Bicara soal kelebihan, Gondo mengatakan bahwa rasa bahagia ia dapatkan setiap kali melihat pelanggan merasa puas dengan produknya. “Itulah kebahagiaan terbesar yang dimiliki oleh seorang pengrajin. Selain itu pengrajin adalah seorang yang selalu antusias menghadapi tantangan baru,” pungkasnya.