Jumat, 22 Juni 2018

CV Risqan Mufidah : UKM Kreatif Pengolah Limbah




Siap sangka limbah, sampah, maupun gulma tanaman bisa dijadikan bahan baku yang membawa keberuntungan. Dengan tangan kreatif dan inovatif, bahan-bahan seperti eceng gondok, pelepah pisang, klobot jagung, batok kelapa, daunan dan bunga kering bisa mendatangkan keuntungan sampai 200%. Ir. Supardi (46) dan Wiwit Manfaati (46), adalah konseptor sekaligus pemilik UKM dengan nama  CV. Rizqan Mufidah. UKM tersebut jadikan bahan tak bermanfaat jadi bermanfaat.
Handycraft Training Center yang ada dalam CV Rizqan Mufidah selama ini kerap memberikan pelatihan kerajinan eceng gondok, aneka souvenir, aksesoris manik-manik, sulam pita, rangkaian hantaran bahkan batik tulis. Kreativitas ini tak hanya disebar dilingkungan sekitar, Supardi juga didapuk menjadi pelatih kerajinan tangan di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker tahun 2008), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas tahun 2010), Dinas Koperasi, beberapa LSM, dan saat ini di kontrak 1 tahun untuk mengadakan pelatihan Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos).

Awal mula kreativitas ini terbentuk pada Oktober 2007 yakni dari inisiatif Wiwit, seorang ibu dari tiga orang anak yang awalnya mengikuti pelatihan pemanfaatan eceng gondok yang sangat melimpah di daerah Kebraon, Surabaya. Pelatihan yang diikutinya tersebut membuat dirinya selalu penasaran dengan bentuk anyaman enceng gondok yang terlihat bagus dan rapi.

“Saya orang  yang tidak terima kalau kerjaan jelek, melihat contohnya kok bagus. Sampai 8 kali saya belajar menganyam akhirnya berhasil. Dari situlah produk yang saya buat dilirik tetangga sekitar. Akhirnya berani menjual hasil karya saya yang pertama, “ jelas wanita asli Sidoarjo tersebut.

Dengan gencar-gencarnya acara Green and Clean di kota Surabaya pada tahun 2008, kelurahan Kebraon RW 13 menjadikan kerajinan eceng gondok sebagai produk unggulan yang ditampilkan. Dari sinilah pemerintah kota mengetahui adanya produk unggulan yang bagus dari kerajinan eceng gondok untuk dijadikan peluang bisnis UKM yang kedepannya pasti bersinar.

Tawaranpun banyak berdatangan, diantaranya undangan untuk mengikuti pameran. CV Rizqan Mufidah pertama kali ikut serta dalam pameran di Gramedia Expo pada bulan Maret 2008. Berbagai pameran maupun event baik skala provinsi maupun nasional akhirnya sering diikutinya. Akhirnya Ir. Supardi sebagai suami yang tak tega melihat isterinya bergelut sendiri dengan peluang usaha yang begitu bagus, ikut terjun dan membantu usaha ini.

“Saya kali pertama megikuti pameran dengan isteri sampai merinding, padahal kita pemain baru, tawaran dari media untuk liputan sekaligus dari berbagai instansi yang mendukung usaha ini untuk menjadi unggulan yang bagus. Akhirnya saya putuskan untuk nyemplung sekalian. Kata orang Jawa bilang cincing-cincing gak wurung kepeh, artinya, kalau mau basah ya harus basah sekalian,” jelas pria asal Jombang tersebut.

Dengan bendera CV. Rizqan Mufidah yang berarti rezeki yang bermanfaat. Diharapkan usaha pemanfaatan limbah eceng gondok, pelepah pisang, klobot jagung, batok kelapa, daunan dan bunga kering memberikan manfaat besar bagi masyarakat maupun warga sekitar.

Lebih lanjut lagi, setiap pemanfaatan limbah dijadikan barang-barang siap jual seperti tas, tataan piring, taplak meja, piring, tempat tisu, mebel, sandal, seketsel, perabotan rumah tangga, tikar semua dibuat seseuai selera pasar dan pesanan. Hampir sekitar 60an item barang yang dijual Wiwit Colection.

Setiap barang yang dijual berawal dari eceng gondok, pelepah pisang, klobot jagung, dedaunan dan bunga kering, di ambil dari sekitarn waduk yang ada di kelurahan Kebraon. ”Proses pertama eceng gondok kita pilih yang bagus cuci ujungnya dari lumpur, kita jemur diterik matahari selama seminggu. Proses selanjutnya menambah warna bagus mematikan bakteri dengan cara di asap pakai belerang kita oven ditutup pakai terpal semaleman,” tutur Supardi sambil menunjukkan beberapa pelepah pisang dan eceng gondok.

Selanjutnya proses penganyaman dan penyulaman semua kerajinan mengikuti cetakan yang tentunya semua pengerjaan dilakukan tangan. Maka tak heran pengerjaan seperti barang mebel memakan waktu sampai sekitar 3 hari. Lain halnya dengan kerajinan tas. Dalam satu hari bisa 2-3 tas yang dibuat, tetapi belum penambahan sulam pita yang bisa memakan waktu 2 hari. Prosesnya bukan menganyam saja, satu produk bukan dari satu tangan tetapi sekitar 3 tangan. Dari proses memotong, desain pola, sampai menyulam pita.

Salah satu pegawai bernama Norma Rosyida (22) yang membantu proses pengerjaan, menuturkan bahwa proses pemasangan aksesoris seperti dedauanan dan bunga kering membutuhkan waktu cepat, tetapi proses penyulamannya cukup lama. ”Awalnya kalau buat anyamannya sulit, sekarang sih bisa lebih cepat dan rapi tentunya. Kalau pemasangan sulaman pita itu harus lebih rajin dan teliti,” jelasnya.

Tak heran jika harga barang-barang yang dijual beragam harganya. Paling murah dari Rp 5 ribu untuk aksesoris sederhana. Untuk harga tas sekitar Rp 300 ribu, peralatan mebel sekitar Rp 750 ribu seketsel, sampai termahal  yakni seketsel dengan harga Rp 800 ribu. Setiap bulannya pun handycraft pemanfatan limbah memiliki omzet mencapai Rp 15 juta perbulan.

Sampai saat inipun kerajinan handmade yang dihasilkannya dikirim keberbagai kota besar di seluruh Indonesia  seperti Bali, Jakarta, Sekitar Jatim seperti Surabaya, Sidoarjo, Probolinggo, Kediri, juga Kalimanatan, Sampit, Manado. Dengan bantuan dari beberapa teman pun produknya dikenal sampai Jepang, Belanda, sebagian negara tetangga.

Dari sekian banyak item barang yang dijual, setiap bulannya keluarga Supardi dengan mengandalkan 15 pekerjanya dituntut untuk inovatif dan kreatif dalam setiap desain maupun bentuk.

Tak hanya itu dari kalangan pejabat memberikan banyak masukan, tak terkecuali walikota Surabaya, Tri Rismaharini yang sangat tertarik dengan produk barang yang dijual Supardi dan Wiwit. Wanita yang menjabat sejak 8 Juni 2010 ini menyukai tas, kotak tisu, rak dispaly dari handycraft eceng gondok ini.

Risma panggilan akrab walikota wanita pertama di Surabaya ini menjadi langganan segala item barang yang dijual. Hampir setiap bulannya peralatan dapur maupun display rak diminatinya. Selain itu CV Rizqan Mufidah menjadi langganan instansi pemerintahan, swasta, maupun hotel. 


Mengubah Limbah menjadi Barang Bernilai Ekonomis

Belum tentu barang yang bagus dihasilkan dari bahan baku yang bagus. Bahkan kadang-kadang bahan bakunya terbuat dari sampah yang membuat orang memandangnya agak nyeleneh bahkan negatif. ”Orang bilang kita ini sukanya blusukan mencari barang tidak berguna, senengane nyusuh ae, seperti burung yang mencari dedaunan. Malah kalau bertemu dengan orang dan ditanyai pekerjaannya apa, ya saya jawab kita pencari sampah,” terang Supardi sambil tertawa.

Indonesia ini negara yang luas dengan sumber daya alam yang tidak terbatas. CV Rizqan Mufidah membuktikan bahwa bahan baku yang dilihat orang tidak berguna, dengan tangan terampil, kreatif, sekaligus inovatif akan membuat barang produksi yang bernilai tinggi. Sampah, limbah, maupun tanaman gulma sekalipun bisa dijadikan produk barang yang inovatif.

”Seyogyanya kita tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk bekerja, karena dinegara kita semuanya tersedia. Ini baru eceng gondok, belum pelepah pisang, bagaimana dengan pandan, klobot jagung, bagaimana dengan batok kelapa. Hanya kreativitas kita yang dapat membuat barang-barang itu menjadi mahal,” ujar Supardi yang awalnya menjadi pengusaha tanaman.

By: Nur Fajruddin
*Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post

Kiprah Ikatan Alumni Wirausaha Muda Mandiri (Ika WMM)


Ciptakan Kemandirian pada Sesama

Ikatan Alumni Wirausaha Muda Mandiri (Ika WMM) tidak sekadar menjadi seorang pengusaha untuk dirinya sendiri. Melainkan berani mengajak orang yang dianggap diasingkan seperti penderita ODA (Orang Dengan AIDS), mantan pengguna narkoba, dan lain-lain.  Para pengusaha muda ini tidak hanya memperkaya dirinya sendiri tetapi berusaha menciptakan iklim usaha di wilayah Jawa Timur khususnya dan Indonesia.

Banyak sekali kegiatan yang dilakukan Ika WMM ini seperti, gathering, senergy coaching, ataupun untuk membantu para mantan-mantan pengguna narkoba ataupun penderita AIDS.

Yang menarik dari Ika WMM ini yakni berani untuk membantu para penderita ODA maupun mantan pengguna narkoba untuk berwirausaha. Padahal banyak sekali pandangan negatif masyarakat kepada orang-orang ini. Hal tersebutlah yang ingin disosialisasikan kepada masyarakat bahwa mereka juga memiliki hak yang sama untuk hidup, dihargai, dan dipandang layaknya masyarakat normal. Tak selamanya mereka harus berjuang sendiri dikerasnya kehidupan bermasyarakat. Bukan berarti mereka dikucilkan, malah harus diberi semangat agar mereka bisa hidup mandiri dan normal.

Dengan menciptakan kemandirian pada kalangan penderita ODA maupun mantan penggunan narkoba. Para Ika WMM yang beranggotakan pengusaha-pengusaha muda, selalu memberikan pelatihan dan memberikan bantuan dana untuk mereka yang di nilai kurang beruntung. Agar mereka bisa hidup mandiri dan bisa menjadi pengusaha seperti para anggota Ika WMM.

”Memang cukup sulit untuk mengedukasi maupun mensosialisasikan para masyarakat untuk ikut serta membantu mereka. Karena image negatif kepada mereka sudah terlanjur melekat. Hanya dengan kemandirian mereka bisa hidup dengan normal selayaknya masyarakat lainnya. Mereka diberi pelatihan dan modal agar mereka bisa mandiri. Sudah penderita ODA maupun mantan pengguna narkoba yang hidup mandiri dengan pembelajaran yang kami berikan. Mereka sudah bisa membuka kedai kopi, membuka toko kue, menjadi agen rokok, dan lain-lain,” jelas Fajar Sandi Oktiono Ketua Ika WMM

Selain peduli kepada sesama, para anggota Ika WMM ini juga melakukan sinergy coaching. Tujuannya untuk saling melengkapi kekurangan maupun kendala pada setiap anggota. ” Sinergy coaching ini contohnya seperti salah satu pengusaha memberikan pelatihan kepada pengusaha lain yang menjadi anggota. Pelatihan ini bisa ditujukan kepada karyawan dari masing-masing pelaku usaha. Jadi mereka yang tergabung dalam Ika WMM bisa saling mengisi kekurangan baik dalam management, sdm, maupun pengadaan produk,” jelas Fauzan T. Hananto Humas Ika WMM

Hal ini akan lebih mempermudah setiap anggota untuk lebih menutupi kekurangan masing-masing setiap bisnis. Kegiatan sinergy coaching ini akan lebih memudahkan para pengusaha muda untuk saling sharing maupun saling menutupi setiap kendala yang dihadapi. Memang tujuan dari Ika WMM sendiri yakni dapat melebarkan sayap untuk menjadi company yang besar bukan menjadi home industri saja. 



Sejarah Terbentuk

Terbentuknya Ika WMM ini berawal dari salah satu Bank Negara yang memiliki tujuan untuk mengembangkan sikap entrepreneur untuk kalangan anak muda. Karena melihat di Indonesia iklim dunia usaha semakin berkembang pesat. Namun, kalangan muda ataupun pengusaha muda belum banyak tertarik untuk menggeluti sebuah bisnis. Dari sinilah Bank tersebut mulai mengadakan kompetisi untuk menjaring entrepreneur muda untuk berkarya dan melakukan usaha inovatif.

Dari mulai dibentuk sejak tahun 2008, banyak sekali pengusaha muda usia antara 20 sampai 35 tahun mengikuti kegiatan ini. sekaligus mencetak banyak sekali finalis-finalis dari berbagai kategori. Setiap pengusaha muda dikategorikan masing-masing kelompok seperti kategori boga, kategori perdagangan atau jasa, kategori retail, maupun kategori industri kreatif.  Dalam setiap kategori akan dipertandingkan dan dinilai juri siapa-siapa yang akan mendapatkan uang pembinaan.

”Pengkategorian oleh juri memang untuk mempermudah penilaian, sekaligus melihat perkembangan bisnis yang dijalankan oleh mereka para pengusaha. Hal ini akan lebih mudah untuk melakukan pelatihan maupun strategi usaha yang dijalankan,” jelas Arif Pemenang Kabid Program Ika WMM

Ika WMM sendiri beranggotakan 200 orang lebih sejak tahun 2008. Anggota sendiri merupakan alumni dari finalis-finalis yang mengikuti kompetisi. Dengan tujuan agar setelah kompetisi tidak begitu saja menghilang, dibentuklah Ika WMM ini agar mereka para pengusaha muda dapat menjalin hubungan baik antar anggota. Banyak sekali keuntungan yang didapat setelah bergabung dengan perkumpulan ini. Para anggota dapat sharing bersama, dan mengadakan pelatihan secara bersama. Jalinan relasipun semakin luas.

Anggota Ika WMM sendiri kebanyakan dari daerah Jawa Timur seperti Kediri, Nganjuk, Malang, Lamongan, Bojonegoro, Sidoarjo, Mojokerto, maupun kota-kota lainnya. Kebanyakan 70% anggotanya laki-laki dan selebihnya perempuan. Jiwa-jiwa muda ini dibentuk untuk menjadi entrepreneur handal agar mereka bisa memiliki usaha yang nantinya bisa menjadi company besar. Sekaligus membuat lapangan pekerjaan baru.

Untuk mempermudah kepengurusan Ika WMM menunjuk salah satu anggota untuk mengisi kepengurusan. Seperti adanya ketua, wakil, sekretaris, bendahara, humas, maupun lainnya. Gunanya untuk lebih mempermudah setiap kegiatan yang sampai saat ini terus terselenggara. Begitu juga yang dilakukan oleh pemrakarsa kompetisi sampai tahun 2012 ini pun masih mencari pengusaha muda untuk ditempa menjadi seorang entreprenuer handal.

Selain itu anggota Ika WMM ini kebanyakan mereka dengan membawa usaha yang unik dan inovatif. Sekaligus tidak main-main dalam urusan omzet setiap usahanyanya. Hampir rata-rata para pengusaha yang menjadi anggota Ika WMM memiliki omzet ratusan juta setiap bulannya bahkan ada yang lebih. Untuk mengikuti kompetisi sendiri cukup sulit untuk menjadi finalis harus menyingkirkan lebih dari 2000 orang pengusaha muda yang mendaftar untuk mengikuti kompetisi yang diselenggarakan salah satu bank negara ini. 

by: Nur Fajruddin
*tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post.

Jumat, 15 Juni 2018

Simfoni Doa di Langit Balun : Harmoni dan Sejarah Desa Pancasila




Angin berdesir melewati dedaunan padi yang mulai tampak menguning. Suara-suara cangkul membentur tanah. Tawa dan canda para petani mengiringi keseharian masyarakat di sebuah desa yang terbentuk dari keberagaman.
Jalan setapak beraspal harus dilalui untuk masuk ke dalam desa tersebut. Sungguh harus berhati-hati karena walaupun beraspal, lubang disana-sini cukup dalam; bila kurang waspada, pengendara motor bisa tergelincir. 
Jalan yang berlubang cukup parah tersebut berbanding terbalik dengan kondisi hubungan sosial di desa yang nyaris mulus tanpa cela. Dalam beberapa tahun terakhir bahkan tak sekalipun muncul masalah yang berpotensi membuat benturan antar personal ataupun antar komunitas dalam kehidupan masyarakat desa. Harmoni dalam keberagaman. Itulah wajah Desa Balun yang biasa disebut Desa Pancasila. Balun dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia yang bisa menjadi bukti bahwa kehidupan bermasyarakat dalam naungan ideologi luhur Pancasila bukan sekedar utopia.

Balun adalah sebuah desa di tepian kota Lamongan. Kondisi tanah yang subur untuk bercocok-tanam menjadikan masyarakat Balun tumbuh dengan budaya komunal yang lekat dengan semangat gotong-royong dan guyub-rukun dalam kesehariannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya tiga komunitas pemeluk agama di desa tersebut, yakni masyarakat pemeluk Islam sebagai mayoritas, kemudian pemeluk Kristen dan Hindu.
Di Balun pula terdapat tiga rumah ibadah yang cukup besar dan saling berdampingan. Masjid Miftahul Huda berdiri megah disamping Pura Sweta Maha Suci; tepat di depan, berdirilah Gereja Kristen Jawi Wetan.
Sekalipun hidup dalam masyarakat yang berbeda keimanan, mereka dipersatukan dalam satu cawan kehidupan sosial. Sisi kemanusiaan terbangun dari kultur sosial masyarakat desa Balun yang semakin menegaskan bahwa wilayah transenden adalah ruang pribadi masing-masing. Ramah, saling menyapa, saling membantu adalah kebiasaan sehari-hari tanpa memandang perbedaan.

Bagaimana toleransi di Balun dapat terbentuk? Rupanya sejarah panjang, bahkan diantaranya kelam, telah mewarnai lika-liku perjalanan menuju terciptanya keharmonisan di desa Pancasila. 

Bermula dari peristiwa berdarah di tahun 1965. Balun adalah sebuah daerah yang pada tahun tersebut terkena imbas peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober/G30S) dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit.

"Tahun 1965 tidak lama setelah Gestok, masyarakat Balun hidup dalam ketakutan. Bagaimana tidak, seluruh perangkat desa diciduk hingga akhirnya desa ini menjadi desa komplang, desa tanpa ada aparat pemerintahan," ungkap Mbah Jamal, sesepuh Balun yang juga salah satu warga pemeluk Hindu.

Pembunuhan, pembantaian terjadi di Balun. Siapa saja yang terlibat dalam PKI dapat dipastikan akan kehilangan nyawa. Semua berlangsung dengan penuh ketegangan dan rasa was-was.

"Hingga akhirnya datang seorang tentara bernama Pak Bati. Beliau ini anggota Angkatan Darat, putra asli Balun yang kebetulan pulang ke kampung halaman setelah beberapa tahun berdinas di Papua. Beliau inilah yang memberikan rasa aman dan memelopori semangat toleransi antar umat beragama di desa Balun," kata Mbah Jamal.

Kakek tua berusia hampir 90 tahun itu mengisahkan bahwa kedatangan Pak Bathi ke kampung halamannya waktu itu akhirnya membawa suasana kondusif.

"Pak Bati berbicara kepada orang-orang yang datang menggeruduk desa Balun karena kasus Gestok. Beliau menjamin bahwa Balun telah aman dan bersih dari anasir PKI. Bahkan beliau memberi peringatan kepada kelompok-kelompok itu, bila masih tidak percaya dan nekad datang kembali untuk membuat kekacauan, maka Pak Bati akan mengerahkan kawan-kawan tentaranya satu peleton untuk menghalau mereka," tambah Mbah Jamal.

Seusai Balun menjadi aman dan tenteram, Pak Bati berencana untuk kembali ke Papua, tempatnya berdinas di Angkatan Darat. Namun, seluruh warga desa memintanya untuk tetap tinggal di daerah Balun dan diminta untuk memimpin sebagai kepala desa. Akhirnya dengan semangat ingin mengabdi pada tanah kelahirannya, Pak Bati meminta ijin pada institusinya agar ia menetap di Balun dan menjadi pemimpin disana. Institusinya menyetujuinya dan untuk menghormati proses demokrasi, Pak Bati ingin diadakan pemilihan kepala desa.

"Akhirnya saat itu diadakan pemilihan kepala desa. Calonnya ada dua. Pak Bati terpilih menjadi Kepala Desa. Saat itulah desa Balun mulai menyusun kembali struktur pemerintahan desa setelah sekian lama terjadi kekosongan," ungkap Ngarijo, tokoh masyarakat sekaligus pemuka agama Hindu di Pura Sweta Maharani Suci.

Saat Pak Bati memimpin desa Balun, muncullah keputusan dari pemerintah pusat agar setiap aparatur desa di Indonesia giat menyosialisasikan kembali Pancasila sebagai dasar negara yang wajib dipatuhi dan falsafahnya diamalkan oleh seluruh rakyat. Penduduk mulai didata untuk dibuatkan KTP. Pada kolom agama, masyarakat wajib memilih satu dari lima agama yang diakui negara.

"Saat itu di Balun, selain agama Islam, aliran kepercayaan seperti Jawa Wisnu, Sapta Darma, Kawisnan, Rasa Sejati dan lain-lain cukup dominan dianut oleh masyarakat. Pada 1967 aliran-aliran tersebut tidak diakui oleh negara. Maka dari itu sesepuh-sesepuh kami dahulu mencari agama apa yang dekat dengan kepercayaan mereka. Akhirnya, didapatkan kesimpulan bahwa Hindu merupakan agama yang cocok. Berkembanglah disini agama Hindu," tutur Ngarijo yang juga merupakan penduduk asli Balun.

Pada waktu itu di Balun terdapat sebuah lapangan yang disebut alun-alun Balun. Disekitarnya terdapat lahan kosong yang cukup luas. Mengingat keberagaman masyarakat Balun yang berbeda keyakinan, serta untuk memfasilitasi ibadah para pemeluk agama, Pak Bati akhirnya berinisiatif membangunkan masjid di sebelah barat alun-alun. Berdiri berdampingan, dibangunkan sebuah Pura sebagai tempat ibadah umat Hindu.
Pak Bati sendiri adalah Nasrani yang taat dan saat itu di Balun terdapat pula pemeluk-pemeluk Kristen. Maka dari itu di sebelah timur dibangunlah sebuah gereja Kristen Jawi Wetan. Posisinya berhadapan dengan masjid dan Pura.

Di Balun pula, Pak Bati membentuk Rukun Tetangga, sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang ada di struktur paling dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Awalnya, hanya beberapa RT yang terbentuk dan hingga kini di Balun telah ada sekitar delapanbelas RT, masing-masing terdiri dari seratus KK. Pak Bati tak lelah menekankan kepada warganya agar senantiasa rukun walaupun berbeda latar belakang keimanan. 

"Selain peran Pak Bati sebagai Kepala Desa, toleransi masyarakat Balun terbentuk dari kultur agraris yang membuat masyarakat hidup dalam budaya komunal dan akrab dengan alam. Kami disini hidup dengan keakraban dan semangat persaudaraan. Di satu sisi, toleransi semakin tumbuh berkembang karena adanya faktor pernikahan dan hubungan darah antar sesama warga," tutur Sutrisno, warga asli Balun yang juga seorang tokoh Nasrani setempat.

"Jadi tidak heran, di setiap KK, seringkali terdapat sebuah keluarga dengan agama berbeda-beda. Ada yang orangtuanya Islam, anaknya Kristen, anaknya yang kedua Hindu. Atau warga Kristen, punya hubungan kekerabatan dengan warga pemeluk Hindu dan Islam. Banyak sekali disini," tambah Sutrisno yang juga guru sekolah negeri di Lamongan.

Pak Bati sebagai Kepala Desa yang memelopori terciptanya keharmonisan di Balun, pada akhirnya dipanggil Tuhan pada tahun 2002. Namun, meskipun Pak Bati telah tiada, kepala desa penerusnya tetap dapat meneruskan semangat Pak Bati dalam menjaga kerukunan warganya. Seperti yang dicontohkan Bapak H.Khusairi, Kepala Desa Balun saat ini, beliau tidak segan untuk mengunjungi warganya dan selalu datang setiap ada hajatan maupun perayaan-perayaan hari besar keagamaan.

Malam Natal 2017 di Balun, seusai diadakan misa, diadakanlah ramah tamah antar warga dan pemerintah desa. Kepdes H.Khusairi bahkan memberikan sambutannya di dalam podium gereja GKJW Balun. Dalam sambutannya itu, ia menekankan bahwa toleransi di Balun sudah sangat bagus dan cukup sesuai dengan semangat Pancasila.

 "Assalamualaikum, Om Swasty Astu, Shalom. Selamat Hari Natal saudara-saudaraku. Saya tidak ragu untuk mengucapkan selamat Natal, karena saya yakin ini yang terbaik bagi kita semua," tandasnya yang diikuti oleh gemuruh tepuk tangan warga dan juga umat Kristiani setempat.

Dalam perayaan Natal itu, H.Khusairi juga menekankan bahwa sebagai warga yang toleransinya terbangun dengan baik, tak usahlah sesama warga antar pemeluk agama membahas tentang agama, atau berdebat tentangnya; karena perdebatan yang demikian, bisa memicu perpecahan.

"Tak usahlah kita menafsiri yang lain; toleransi kita cukup bagus. Mari kita pertahankan," tambahnya.

Di Lamongan, terdapat tradisi 'rewang', yakni tradisi para warga untuk membantu salah satu penduduk yang mempunyai hajatan. Seperti misalnya seorang warga mengadakan hajatan pernikahan, maka ibu-ibu tetangga akan membantu memasak di dapur, para lelaki akan membantu memasang terop, tenda dan sound system. Balun sebagai bagian dari Lamongan lekat pula dengan tradisi rewang. Yang unik, bila ada pernikahan salah satu warga, misalnya pemeluk Hindu, maka sudah biasa bila terlihat pemandangan ibu-ibu berkerudung dan ibu-ibu dari kalangan Nasrani ikut membantu memasak di dapur. Setiap hajatan pula ketiga pemuka agama dari agama masing-masing datang menghadirinya. Tidak ketinggalan Pak H.Khusairi sebagai kepala desa. Bahkan, merekapun turut pula mengantar pengantin masuk ke dalam Pura. Para pemeluk Hindu mengadakan prosesi pernikahan, sedangkan pemeluk agama lain datang dan menyaksikan.

Di kalangan muda-mudi Balun, toleransi juga terjaga dengan baik. Karang Taruna di tempat mereka banyak diisi oleh muda-mudi lintas agama. Mereka mengadakan kegiatan bersama, berkumpul bersama dan menjaga kekompakan diantara mereka. Tidak jarang, ketika ada perayaan hari besar agama tertentu, remaja dari pemeluk agama yang lain akan membantu menjaga perayaan tersebut.

"Ketika kami mengadakan shalat Ied atau shalat hari besar lainnya, muda-mudi Kristen dan Hindu membantu dalam sisi keamanan, mengatur parkir dan lalu-lintas kendaraan. Sebaliknya, jika saudara Kristen atau Hindu mengadakan perayaan, maka kami pemuda-pemudi dari lintas agama juga selalu kompak saling membantu," ujar Herman, anggota Karang Taruna dan Remaja Masjid setempat.

Bagaimana para pemuda di Balun dapat menjaga toleransi di desanya?

"Kenapa harus tidak rukun? Kita sama-sama manusia. Perbedaan keyakinan tak pernah membuat kita melupakan persaudaraan. Dalam Islam, cinta dan keramahtamahan kepada sesama begitu kuat tertanam dalam agama kami. Mewujud dalam Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Jadi tidak ada alasan untuk tidak rukun," tambah Herman.

Apakah tidak ada secuilpun persinggungan atau masalah diantara pemuda-pemudi Balun?

"Pernah. Tapi itupun hanya masalah pertandingan sepakbola. Tidak ada yang namanya main fisik. Cuma saling melempar komentar saja. Sorenya, sudah ngopi bareng di warung. Hahaha.." pungkas Herman sambil tertawa.

Badai di tahun '65 telah usai. Gelap berganti cerah. Matahari membuat kerlip pelangi mewarnai langit Balun. Setiap hari doa-doa dipanjatkan untuk sebuah ketentraman, kesejahteraan dan keharmonisan. Begitulah hari-hari di Balun, sebuah desa miniatur Indonesia yang bergerak dinamis, harmonis dalam bingkai Pancasila. Dari generasi ke generasi, masyarakat di desa ini hidup dalam suasana saling menghormati dan bertenggang-rasa. Pak Khusairi, Pak Sutrisno, Pak Ngarijo, Mbah Jamal, Herman adalah beberapa dari sekian banyak orang yang berperan dalam menopang pelangi itu.

Jika pergi ke Balun, udara Pancasila begitu segar tercecap dalam panca indera. Ketika keluar dari Balun, maka jalan setapak kembali dilewati. Kembali ditemui jalan penuh lubang. Balun nyatanya lebih Indonesia dari keadaan diluar Balun yang juga masih ada di wilayah Indonesia. Sekeluar dari Balun, udara harmoni tercium samar. Diluar Balun adalah tempat dimana Pancasila sekedar hafalan anak-anak sekolah, sekedar jargon di tengah kebencian bagi siapa saja yang berbeda keyakinan atau pilihan politik, sekedar diyakini sebagai kearifan masa lalu tanpa pernah ada yang mau berusaha melebarkan sayap Garuda demi menaungi kehidupan Nusantara. Tubuh dan sayap Garuda ada di Balun, setengah bulunya saja yang memayungi daerah diluar Balun.

Samar-samar, bayang Mbah Jamal tetua desa kembali menyeruak. Sebuah pesan persatuan dari bibir seorang sepuh yang kenyang pengalaman:

"Kalau kami-kami ini sudah tiada, anak cucu diharapkan dapat tetap mampu untuk menjaga kerukunan di Balun. Sebab jika sampaikan konflik antar umat beragama pecah, maka pemerintahan akan berantakan".



-Thx to Tim Creative G7 : Ganjar Ahadiyat, Arief Rahman Hakim, Eddy Purwanto, Rendy Brilian & Mahasti Budi Hapsari.

Minggu, 03 Juni 2018

Tanjung Kodok: Masa Lalu Numpang Lewat (sebuah memoar masa kecil)



Masa kecilku dulu sempat kulalui di Paciran, sebuah daerah di pesisir Lamongan. Tiap siang, aku dan adik-adik sepupuku pergi ke Pantai berkarang Tanjung Kodok. Beren
ang, mencari udang kecil, rajungan dan siput laut.
Dua batu besar berbentuk kodok dan semilir anginnya selalu bersahabat. Belum lagi lambai pohon-pohon kaktus yang kami lalui sebagai akses masuk pantai. Aku masih ingat, kaktus memiliki buah berwarna merah pekat. Kami sering memetiknya dan melumuri badan dengan air buah kaktus, hingga kami tampak seakan berdarah-darah.

Tentu masih segar dalam ingatan, kami berlompatan antara satu batu karang yang besar ke batu karang yang lain. Tangan kami berulur saling membantu agar langkah kami aman, sebab di bawah begitu curam, penuh dengan karang-karang tajam dan air laut yang dangkal.
Jika kami telah sampai di bibir pantai, kami segera berenang. Air laut kadang teduh, kadangpula mengganas. Di kejauhan, tampak perahu-perahu nelayan berlayar. Aku ingat pula bahwa si Tria, adik sepupuku, kakinya pernah tak sengaja menginjak hewan laut berduri. Aku sampai sekarang tak tahu nama hewan itu, namun mereka menyebutnya 'Kirung'. Bila 'Kirung' terinjak oleh kulit tubuh manusia, puluhan durinya akan menancap dan masuk ke dalam daging. Dengan tangan atau alat apapun, kita tak bisa melepaskan duri-duri itu. Namun ada pengobatan tersendiri yang masyarakat setempat sudah lama mahfum, bahwa duri-duri itu akan terlepas dengan sendirinya ketika bagian tubuh yang terkena bulu Kirung disiram dengan urine. Saat itu, kami beramai-ramai mengencingi telapak kaki si Tria dan memang ajaib, perlahan-lahan duri yang menancap begitu dalam, keluar dengan sendirinya.

Tapi memang masa kecil Tria sering apes. Selain pernah tertusuk Kirung, ia pernah pula jatuh dan mengalami patah tulang saat memanjat pohon beringin raksasa yang sampai saat ini masih berdiri menjulang di Penanjan, desa kami. Ia juga pernah pingsan secara tak sengaja ketika sedang bermain dengan salah seorang kakaknya.

Di bibir pantai Tanjung Kodok pula kami selalu teringat akan hangat suasananya. Adik-adik sepupuku yang lain, seperti Gaguk yang diam-diam menghanyutkan, Dwi yang sering berperan jadi penengah, Tria yang bolak-balik apes, Awin yang slowly dan Sandi yang pernah kebingungan mencari cara untuk pulang, karena saat berenang, seluruh pakaiannya kami bawa kabur, sampai saat ini kami sering membicarakan kenangan-kenangan itu dengan gelak tawa.

Tanjung Kodok menyimpan mitos-mitos yang aku dengar dari nenekku, bahwa di tiap-tiap malam tertentu, penguasa pantai Utara Jawa akan menampakkan diri di lautan, mengendarai ikan hiu berwarna putih. Belum lagi, ada penjaga gaib berupa wanita cantik bertubuh ular disana. Di Tanjung Kodok pula, terdapat sebuah makam keramat yang disebut makam tunggal, terletak persis di bibir pantai. Pagar berwarna merah mengelilinginya. 
Konon, makam tersebut menyimpan salah satu bagian tubuh Adipati Ranggalawe, penguasa Tuban yang disebut-sebut memberontak terhadap kekuasaan Majapahit. Dulu, seganas apapun ombak air laut mengikis karang dan daratan, makam itu aman tak terjamah.

Sedangkan kedua batu berbentuk kodok, salah satu monumen alam yang paling terkenal di Tanjung Kodok, menyimpan legenda tentang pasangan raja dan ratu kodok yang tinggal di sebuah kerajaan berbentuk gua, yang sempat mengalami peperangan melawan para raksasa, kemudian ditolong oleh seorang manusia. Ketika manusia itu pergi, raja dan ratu kodok berjanji akan menunggunya di pinggir lautan sampai ia kembali. Tapi sayang, ia tak kembali. Pasangan raja dan ratu kodok itu menanti kepulangannya hingga membatu. Gua tempat tinggal mereka yang saat itu tidak diketahui keberadaannya, kemudian secara tidak disengaja, ditemukan oleh penduduk sekitar saat sedang menggali. Gua itu dinamakan gua Maharani. Berkembanglah tafsir masyarakat sekitar, hingga sampai pada kesimpulan: paripurnalah teka-teki tentang keberadaan gua tempat tinggal raja dan ratu kodok. Tapi ada juga versi berdasarkan Ilham sang penemu sebelum menemukan gua itu: penghuninya seorang wanita cantik, busananya seperti ratu (Rani), dan roh gaibnya masih bersemayam disana; makanya gua itu dinamakan Maharani.

Sampai pada suatu hari ketika kendaraan-kendaraan besar masuk, menghancurkan pepohonan kaktus, menggali dan mengubah struktur bukit hingga yang nampak hanya warna putih khas bebatuan gamping, dan tinggal menyisakan debu-debu beterbangan di udara. Saat itulah Tanjung Kodok ditutup untuk umum. 

Keseharian yang tampak hanya lalu-lalang kendaraan-kendaraan berat.
Setelah beberapa bulan berlalu, wajah wisata Tanjung Kodok telah berubah sepenuhnya. Halaman depan yang dulu biasa dipakai pedagang kaki lima yang menjual pernak-pernik, juga bapak tua pemikul wadah bambu berisi minuman legen (minuman dari buah Siwalan) tak tampak lagi. Mereka digantikan oleh keangkuhan megah kelas atas: hotel sekaligus resort yang berdiri menantang. Di bagian timur, berdirilah Wisata Bahari Lamongan (WBL).

Masyarakat sekitar, tak lagi bisa masuk ke dalam tempat yang telah diakrabinya puluhan tahun, kecuali jika memang mereka punya duit dan mau bayar. Kamipun hanya bisa melihat batu kodok dari jauh, tepatnya dari sisi pantai sebelah barat. Harus bersusah-payah untuk sekedar kembali mengakrabi memori masa lalu.

Di satu sisi, pembangunan yang telah merubah struktur alam keseluruhan wisata Tanjung Kodok itu punya sisi positif. Perekonomian warga terangkat. Masyarakat dapat berdagang di sekitar area itu. Jumlah pengangguran pun menurun, karena banyak diantara masyarakat yang dipekerjakan di dalamnya. Ya, jika tak punya uang untuk mengakrabi masa lalu, maka solusinya, bekerjalah pada pemilik baru.

Memang perubahan wisata alam Tanjung Kodok menjadi wisata buatan berupa hotel dan WBL, patut diperhitungkan demi mengangkat perekonomian masyarakat sekitar yang sejak lama mengandalkan hidup dari hasil laut dan hewan ternak. Namun, ada satu bagian kami yang hilang: keakraban terhadap alam yang alami telah dipaksa menjadi sebatas memori. Hinggap untuk sekedar dikenang, dan sekedar diceritakan. Anak-anak kami sekedar mendengar.

*Foto diambil dari Google dan kiriman dari Dimas Antovoni*

Selasa, 29 Mei 2018

Camp Alumni Kegelapan: Wadah Para Seniman Berjiwa Sosial.



Kesenian harus punya Kontribusi bagi Masyarakat

Sore itu menjelang berbuka puasa, di Raya Waru, Sidoarjo, terdapat kesibukan yang tidak biasa. Sekumpulan pria dan wanita dari berbagai usia terlihat sibuk membungkus makanan dalam kantung-kantung plastik, sebagian lainnya menata peralatan musik.
Tidak berapa lama, setelah makanan telah terbungkus rapi dan perlengkapan musik sudah ditata, sekumpulan musisi mulai mempertunjukkan keahliannya dalam bermusik, sementara yang lainnya berdiri berjajar di pinggir jalan, sembari membagi-bagikan plastik berisi makanan kepada para pengendara kendaraan bermotor, tukang becak, ojek online dan pejalan kaki yang satu-persatu mulai menepi.

'Bagi Takjil & Live Performance'. Itulah tema besar yang mereka selenggarakan dihari itu. Para pria dan wanita dari berbagai usia tersebut rupanya adalah sekumpulan insan kreatif dan berjiwa sosial, yang bergabung dengan wadah 'Camp Alumni Kegelapan' (C.A.K).
Meski usianya baru seumur jagung, namun kontribusinya bagi masyarakat dan dunia kesenian di Sidoarjo cukup menarik banyak perhatian dari khalayak ramai.

C.A.K sebagai sebuah wadah eksistensi para seniman, khususnya musik, terbentuk pada tahun 2017. "Berawal dari kegelisahan yang sama, masa lalu yang sama-sama kelam, juga rasa persaudaraan sesama seniman, maka kami berinisiatif untuk membuat suatu wadah yang bisa menampung ide-ide kami dan mewujudkannya dalam bentuk even kesenian, yang didalamnya dibungkus dengan kegiatan sosial," ungkap Blake Yono, salah satu pendiri C.A.K.

Masa lalu para anggota yang suram, diantaranya pernah menjadi seniman yang pernah terjebak dalam gelapnya dunia malam, seperti narkoba, miras dan sebagainya, membuat mereka sadar akan perlunya kehidupan yang lebih baik. Hal itu diantaranya mereka wujudkan melalui kegiatan-kegiatan kesenian yang memiliki kontribusi bagi masyarakat yang membutuhkan. "Even pertama C.A.K pada 2017 adalah Sahur on the Road. Ketika itu kami mengumpulkan dana secara swadaya, kemudian membuat sendiri dan membagi-bagikan menu sahur gratis bagi masyarakat di Sidoarjo yang membutuhkan," ujar Brint Widodo, salah seorang musisi yang dulu pernah bermasalah dengan narkoba.
Dari acara Sahur on the Road di tahun 2017 yang diadakan tiap dua minggu sekali tersebut, kemudian dilanjut dengan even-even jamm session di berbagai tempat, C.A.K mulai mendapat perhatian dari masyarakat. Anggota mereka semakin bertambah, terlebih, adanya media sosial yang kemudian dapat menyambung tali silaturahmi antara kawan-kawan mereka, juga ketertarikan dari para seniman-seniman lain yang membuat C.A.K dapat mengembangkan sayapnya semakin lebar.

"Seniman, utamanya musisi yang tergabung dalam C.A.K, banyak diantaranya pernah memiliki masa lalu yang kelam, juga pengalaman-pengalaman buruk yang dapat dibagikan kepada sesama anggota. Maka dari itu kami intens untuk berkumpul dan saling sharing. Kami sering mensosialisasikan tentang bahaya narkoba, kehati-hatian dalam menerjuni dunia malam, juga saling berbagi pengalaman tentang dunia entertain," tukas Hendro, musisi asli Sidoarjo. Jadi, di dalam C.A.K, tutur mereka, selain sebagai wadah silaturahmi antar sesama musisi, juga sebagai wadah bagi mereka yang berjiwa sosial, bagi mereka yang ingin belajar entertain, serta bagi mereka yang ingin mengentaskan kehidupan masa lalunya yang gelap dan membentuk hidup baru yang terang benderang.

"Oleh karena itu wadah ini dinamakan 'Camp Alumni Kegelapan', karena didirikan oleh banyak anggota kami yang memiliki pengalaman dalam menjalani hidup di masa lalu yang gelap, namun kini sudah berubah menjadi lebih baik dan menjadi kewajiban kami untuk mensharing pengalaman kami kepada para pemuda. Salah satu hal positif yang dapat kami buat, adalah bagaimana C.A.K sebagai wadah, dapat menjadikan kesenian itu selain sebagai ajang pertunjukan eksistensi seniman, juga harus punya kontribusi kepada masyarakat. Wujud kontribusi kami adalah adanya kegiatan sosial disela-sela even kesenian yang kami adakan," tutur Koko Ken Arok, seorang musisi heavy metal sekaligus tokoh pemerhati satwa langka.


Komunitas Tanpa Struktur

C.A.K dalam perkembangannya, kini tidak hanya digeluti oleh para musisi, namun juga para fotografer, desainer, pelukis dan para penggiat teater. Uniknya, dalam menjaga kekompakan, mereka menerapkan slogan 'Loss, Gak Katek Rewel' (mengalir saja, tidak usah rewel / terjang saja tidak usah merengek). Semuanya dikerjakan bersama, tanpa perlu memikirkan rengekan-rengekan receh tentang tendensi dalam berkesenian dan berkegiatan sosial.

"Maka dari itu di dalam menjalin persaudaraan, kami sepakati bahwa C.A.K adalah komunitas atau organisasi tanpa struktur. Kalau mau bikin kegiatan, ya mari duduk bareng, kita bicarakan dan kita putuskan bareng," tukas Dartox, vokalis Dartox and the Gank yang juga seorang juru masak jempolan Sidoarjo.

"Di dalam C.A.K jangan coba-coba berpikir untuk mendapat penghasilan atau menambah pundi-pundi uang, namun bagaimana caranya kita bisa berbagi penghasilan kita kepada mereka yang membutuhkan," tambah Anggoro, gitaris Portal Band, sebuah band yang sudah melanglangbuana dari Pulau Jawa hingga Bali.

Beberapa bulan lalu, C.A.K pernah dimintai untuk berperanserta dalam acara launching Kafe Bravo, di Tropodo, serta meramaikan acara musik di Bolodewe & Angkringan Cafe, di daerah Pagerwojo, Sidoarjo. Ketiga acara tersebut sukses membuat eksistensi C.A.K semakin dikenal. "Jikapun memperoleh dana atau kompensasi dari sebuah even, dana tersebut seluruhnya kami sumbangkan kepada anak yatim maupun masyarakat lain yang membutuhkan," ungkap Tato Tara, anggota C.A.K yang juga gitaris Sekaring Jagad, band yang membawakan lagu-lagu karya (alm) Gombloh.

Banyak diantara anggota C.A.K yang pernah merasakan sendiri bagaimana buruknya iklim perkomunitasan di Sidoarjo dan Surabaya. Berkaca dari hal tersebut, maka, selain memiliki karakter sebagai komunitas seniman berjiwa sosial, C.A.K juga memiliki keunikan sebagai komunitas tanpa struktur yang secara alamiah, berasal dari kesadaran untuk menekan ego masing-masing, dan hasilnya, sejauh ini mereka sangat berhasil menjaga kekompakan dan kebersamaan sesama anggota. 


Mendapat Perhatian dari BPBD & Rencana Kedepan

Setelah beberapa kali mengadakan acara pembagian takjil dan live performance di Raya Waru, mereka mulai dilirik oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), yang berkantor di dekat tempat diselenggarakannya even tersebut. Ketertarikan BPBD terhadap kegiatan sosial yang dibungkus dalam even kesenian tersebut membuat C.A.K diajak untuk menjadi bagian dari tim relawan BPBD dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan.

"Setelah kegiatan, kami dipanggil oleh BPBD dan ditawari untuk menjadi relawan kemanusiaan. Tugas kami, memberikan hiburan dan kegiatan sosial untuk membantu para korban bencana, dan mereka yang membutuhkan. Tentu saja tawaran itu kami iyakan karena memang sesuai dengan tujuan C.A.K," ungkap Galuh, fotografer perempuan yang menjadi anggota C.A.K.

Ditanya tentang rencana ke depan, para anggota C.A.K menuturkan bahwa mereka akan lebih mengembangkan kegiatan-kegiatan mereka dalam berkesenian dan berkegiatan sosial. Tawaran-tawaran untuk mengadakan even diluar Sidoarjo mulai berdatangan, dan saat ini mereka sibuk mematangkan konsep-konsepnya.
Merekapun berharap kedepannya tidak hanya menampilkan musik, namun juga pameran seni rupa, fotografi, teater dan lain-lain.

"Kami juga punya rencana, terkait keprihatinan kami terhadap eksistensi seni tradisi seperti ludruk. Kami ke depan akan membawa 'Camp Alumni Kegelapan' bersama masyarakat untuk rutin datang ke Kampung Seni THR, membeli tiket dan menonton ludruk disana, sembari memberi support dan sumbangan dana sebagai bentuk perhatian kami terhadap mereka," pungkas Setyawan, anggota C.A.K dengan blangkon khasnya.

* Foto by Aan Zio & Galuh
* Tulisan ini pernah dimuat di portaltiga.com & beritajatim.com