BIODATA
Nama :
Gregorius Soeharsojo Goenito
Tempat / Tanggal / Lahir : 10 Februari 1936, Madiun
Alamat :
Jl. Beringin Indah IV / 2A, Trosobo, Sidoarjo
Riwayat Pendidikan :
-
Sekolah Rakyat Taman Siswa, Madiun
(setingkat SD)
-
Sekolah Rakyat Taman Dewasa, Madiun
(setingkat SMP)
-
Sekolah Rakyat Taman Madya, Madiun
(setingkat SMU)
-
AAPV (Akademi Administrasi Perusahaan
Veteran), Surabaya
Karier :
- 1952 : Mengawali karier melukis di
Sanggar Tunas Muda, Madiun dibawah bimbingan pelukis Sediyono, Soenindya dan
Kartono
-
1963-1965 :Bergabung dengan Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) di bawah pimpinan pelukis Roestamadji
-
1965 : Berproses melukis di Pulau Buru
-
1978 : Kembali ke Pulau Jawa, menetap di
Surabaya
-
2005 : Melakukan Kegiatan Pameran
Bersama Bunga Rampai Pelukis Lekra di Galeri Surabaya
-
2010 : Pameran Lukisan Tunggal Memoar
Pulau Buru di Universitas Airlangga, Surabaya
-
2007 – sekarang : Sedang menyelesaikan
proses penulisan buku ‘Tiada Jalan Bertabur Bunga’
Optimis,
Berkaryalah dan Jangan Pernah Memanjakan Diri!
Sudah
76 tahun usianya, namun ia masih terlihat gagah. Tubuhnya yang kekar
menyiratkan guratan-guratan masa muda yang dilaluinya dengan penuh perjuangan.
Banyak kisah getir, kisah perpisahan, penjara, pengasingan dan banyak kisah
lainnya hingga ia pernah berpikir bahwa ia tak akan kembali lagi ke Pulau Jawa,
tempat asalnya. Dalam usia yang telah lanjut, mungkin sejarah kota ini akan
mencatat bahwa ia merupakan satu-satunya pelukis yang merekam kejadian
pengasingannya di Pulau Buru lewat sketsa dan lukisan.
Dialah Gregorius Soeharsojo Goenito, pelukis yang sampai saat ini aktif berkarya.
Dialah Gregorius Soeharsojo Goenito, pelukis yang sampai saat ini aktif berkarya.
Ketika saya
bertandang ke rumahnya, dengan ramah ia mempersilahkan masuk. Kemudian, sejenak
ia pergi ke dalam rumah dan datang kembali dengan mengangkat sendiri
lukisan-lukisannya yang sebagian besar berukuran jumbo, sekitar 3-4 meter. “Saya
masih kuat melakukan pekerjaan mengangkat barang berat seperti ini, Puji Tuhan
saya sehat walafiat,” ujarnya.
Setelah puas melihat
lukisan hasil rekam jejaknya ketika diasingkan di Pulau Buru, saya
yang penasaran terhadap resep sehatnya, mulai bertanya. Ia menerangkan bahwa ia
telah melalui berbagai macam pahit getir kehidupan, terlebih saat
bertahun-tahun di Pulau Buru. “Saya menjadi terlatih dengan kondisi macam itu.
Disiplin waktu, disiplin kerja, disiplin dalam hal apapun dan tidak pernah
memanjakan diri,” ujar Bapak empat anak itu. Dijelaskannya pula bahwa kesehariannya
ia habiskan dengan berolahraga, bersepeda dan kerap berbelanja dengan berjalan
kaki. “Sekalipun ada motor atau mobil, saya tidak mau menggunakannya. Itu sama
saja dengan memanjakan diri. Saya memilih berjalan kaki atau bersepeda supaya
sehat,” ujarnya.
Aktivitas yang
dilakukan Gregorius Soeharsojopun bisa dibilang cukup banyak dibanding orang
seusianya. Ia masih aktif melukis, bermain biola, menulis buku, menulis puisi
dan berkebun. Saat ini ia sedang mempersiapkan buku berjudul ‘Tiada Jalan
Bertabur Bunga’, yang dibantu oleh Janet.E.Steele, warga Amerika Serikat yang
juga dosen Luar Biasa Universitas Indonesia. “Melukis, menulis, bernyanyi
membawa kebahagiaan dan semangat hidup. Manusia yang hidupnya selalu
bersemangat, gembira, damai dan senantiasa bersyukur akan memperoleh kesehatan
yang berlimpah, apalagi jika ia terus berkarya,” ujarnya. Aktivitas berkebun
juga setiap hari ia lakukan. Menyirami kembang dan menata tanaman di halaman
rumahnya membuat estetika rumahnya benar-benar tampak sebagai rumah seorang
seniman.
Untuk pola makan, ia
menghindari makan makanan berlemak, berkadar gula dan teratur menjaga pola
makan. “Disiplin pola makan juga harus dilakukan setiap hari. Tujuannya agar
menjaga kesehatan tubuh,” ujarnya. “Selain itu hidup harus tetap
optimis. Bila sedang dirundung masalah, berkaryalah, entah itu melukis, membuat
lagu, puisi dan sebagainya. Berkarya juga dapat membuat orang menjadi optimis.
Saya saja tidak kerasa bahwa umur saya sudah 76 tahun. Rasanya umur saya masih
30 tahun,” ujarnya sambil tertawa. Optimisme dalam hidup menurutnya sangat
perlu, karena dapat menghilangkan segala beban pikiran.
Soeharsojo pada masa
kecilnya dikenal sebagai anak seorang birokrat, pensiunan pegawai Belanda.
Kehidupan keluarganya tercukupi, namun demikian, ia memilih bergaul dengan
kehidupan rakyat yang menurutnya punya banyak kisah. Menurutnya, aktif bersosialisasi dengan masyarakat membuat
wawasan kita luas, serta membangun semangat kebersamaan. “Bersosialisasi juga
merupakan salah satu pola hidup sehat. Kita dapat melakukan banyak aktivitas di
dalamnya; yang penting harus terus beraktivitas, seperti kata saya tadi, jangan
memanjakan diri,” ucap seniman yang telah merasakan kepemimpinan 6 presiden itu.
Pelukis
Sejarah yang Terpotong
Soeharsojo muda ketika di Pulau Buru |
Program instalasi
rehabilitasi itu membawanya ke Pulau Buru. Sebuah pulau yang berdekatan dengan
Maluku. Kenang Soeharsojo, Pulau Buru adalah tempat yang indah, dikelilingi
pegunungan Batabual. Airnya bersih dan lingkungan masih terjaga. Akses masuk
hanya satu, yakni melalui sungai Wayapo. “Tidak bisa jika tidak melalui wayapo,
karena jalan lainnya dipenuhi pepohonan dengan akar-akar dan cabang-cabangnya
yang besar,” kenangnya.
Selama di Pulau Buru,
12 ribu orang termasuk dirinya, selama bertahun-tahun bekerja melakukan
pembangunan disana. Di waktu senggang, ia melukis sketsa tentang apa yang
dilihatnya. Dari hasil bercocok tanam dan sebagainya ia mengambil hasil panen dan dibawanya
ke komunitas suku Bugis yang ada disana untuk dibarternya dengan alat tulis dan
buku gambar. “Dari sanalah saya bisa melakukan aktivitas membuat sketsa.
Seluruh kegiatan saya di Pulau Buru saya rekam dalam sketsa-sketsa saya,” ujarnya.
Tampak, dalam
sketsa-sketsanya kehidupan di Pulau Buru, seperti sketsa saat ia dan
teman-temannya bekerja, sketsa kedatangan kapal yang memuat 500 tahanan
politik, sketsa tentang masjid, gereja yang didirikan oleh pemuka-pemuka agama,
sketsa tentang upacara bendera pada pagi hari, memanen hasil bercocok tanam serta sketsa tentang
dua orang penduduk asli Pulau Buru yang menyunggi keranjang besar di kepalanya,
dan salah satunya memegang tombak. “Waktu itu tak seorangpun berpikir untuk
bisa pulang ke tanah asalnya,” ungkapnya sambil memperlihatkan sketsa berjudul
‘Jangan Pernah Berpikir Untuk Pulang’, yang memuat gambar-gambar para pekerja.
Pada tahun 1978, ia dan
rekan-rekannya dipersilahkan untuk pulang ke tanah asalnya. Tahun itu pula
Soeharsojo pulang ke tanah Jawa dan melanjutkan hidup. Ia juga tetap meneruskan
aktivitas melukisnya itu dengan memindahkan gambar sketsa yang dilukisnya
selama masa pengasingan ke dalam lukisan. “Ketika saya dan rekan-rekan Pulau
Buru pulang ke Pulau Jawa, kami sudah dilabeli cap tapol yang pernah terlibat kegiatan PKI.
Otomatis aktivitas saya menjadi terbatas. Ingin bekerja di pemerintahan juga
sulit. Anak-anak saya juga otomatis sulit mencari kerja. Maka dari itu sepulang
dari Pulau Buru, saya bekerja seadanya, asal bisa makan setiap hari dan bisa
melukis,” kenang pria yang menjalani masa pengasingannya bersama novelis
terkenal, Pramoedya Ananta Toer itu.
Pada 2005, ketika
banyak sketsanya telah rampung menjadi lukisan, Soeharsojo mulai aktif
berpameran. Telah banyak lukisan yang ia hasilkan. Kesemuanya bercerita tentang
kehidupannya di Pulau Buru. Ia menerangkan pula bahwa dalam umurnya yang sudah
lanjut, ia masih menyimpan cita-cita terpendam. “Saya ingin orang tahu bahwa
lukisan saya bertemakan kemanusiaan, bercerita tentang sejarah yang terpotong,
juga sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat,” ujarnya.
Soeharsojo selalu
antusias saat bercerita tentang Pulau Buru. Menurutnya disana adalah pengalaman
yang seru, indah sekaligus menyedihkan bila teringat sanak saudaranya di tempat
asal. “Keadaan disana yang membuat saya tetap tegar, tetap optimis menjalani
hidup, mendapat inspirasi lebih untuk berkarya, membuat saya tetap sehat dan
tentunya awet muda,” ujar Pelukis yang karyanya mendapat perhatian luas dari
kalangan masyarakat, utamanya akademisi, sejarahwan serta dosen luar biasa UI,
Janet.E.Steele, warga Amerika Serikat yang tertarik untuk membantu menerbitkan
bukunya yang masih dikerjakan hingga saat ini.
*Tulisan saya ini pernah dimuat di Surabaya Post, 25 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar