Nama : Oei Hiem
Hwie
Tempat / Tanggal /
Lahir : Malang, 20 November 1935
Alamat : Jl. Medayu
Selatan IV / 42-44, Surabaya
Nama Istri : Sri Widyanti
Nama Anak
- Adi Sandika
- Yudi Sandika
Riwayat
Pendidikan :
- SD Tionghoa Hwie Kwan, Malang
- SMP Tionghoa Hwie Kwan, Malang
- SMA Tionghoa Hwie Kwan, Malang
- Akademi Ilmu Politik & Hukum, Malang
- Akademi Pro Patria, Jogjakarta
Karier
:
- Wartawan
Trompet Masjarakat
- Tahanan
Politik 1965-1978
- Sekpri
Toko Buku Gunung Agung, Surabaya
Kunci
Sehat, Semua Harus Disiplin dan Teratur!
Terngiang, ingatan masa
silam tentang bunyi cangkul yang membentur tanah kering, suara gerobak
pengangkut hasil panen dan suara canda kawanan pekerja. Ingatan yang kembali
terkuak saat mendapati seorang kawan lama yang diberitakan masih sehat dan
aktif melukis tentang ingatan yang sama, yang pernah mereka alami pada sudut
kelam masa lalu.
“Soeharsojo itu kawanku! Kalau tidak salah ia ditempatkan di
unit 6 Pulau Buru!,” ujarnya menggebu saat membaca profil kawan lamanya,
Gregorius Soeharsojo Goenito yang dimuat dalam Surabaya Post edisi minggu, 25
November 2012.
Ialah Oei Hiem Hwie, mantan tahanan politik (Tapol) yang
diasingkan di Pulau Buru karena dituduh terlibat dalam kegiatan berbau Soekarno dan PKI.
Ketika membaca Surabaya
Post yang memuat Soeharsojo, Oei Hiem Hwie menelepon kantor redaksi dan
berkeinginan untuk mendapatkan alamat lengkap Soeharsojo yang merupakan kawan
lamanya ketika diasingkan di Pulau Buru. Mengetahui hal itu, saya
berinisiatif untuk mendatangi kediamannya di perpustakaan Medayu Agung,
Surabaya. Saat itu ia tampak antusias menerima kedatangan saya. Dengan
ramah ia mempersilahkan masuk sembari memamerkan koleksi buku-buku dan arsip
media massa yang ia kliping sejak remaja, termasuk ketikan asli naskah novel
Pramoedya Ananta Toer!
Di usianya yang
mencapai 75 tahun itu Oei Hiem Hwie tampak masih segar bugar. Ia dengan lancar
memaparkan kisah-kisahnya yang detail, nyaris tak ada satupun yang terlupakan.
Saat ditanya mengenai resep sehatnya, ia memaparkan bahwa ia memperoleh
kesehatan karena kondisi hidup masa lalu yang menempa semangat dan
kedisiplinannya dalam menjalani hidup. “Dulu di Pulau Buru, hidup harus
teratur. Makan, minum, kerja, istirahat harus dilakukan dengan penuh
kedisiplinan. Maka dari itu hingga kini saya menggunakan kedisiplinan itu
sebagai acuan dalam hidup sehat. Disiplin waktu menyangkut makan, minum,
olahraga teratur dan sebagainya,” ujar Bapak dua anak itu. Oei Hiem Hwie
mengungkapkan bahwa ia juga mengurangi makanan yang mengandung lemak dan
minyak, juga pedas. Ia juga mengaku bahwa olahraga menjadi kegiatan rutin
setiap pagi.
Bagaimana kisahnya di
Pulau Buru? Oei Hiem Hwie menerangkan bahwa ia dibawa ke Pulau Buru pada tahun
1970 karena dituduh terlibat dalam kegiatan Soekarnois, yakni menjadi wartawan
Koran Trompet Masyarakat, juga menjadi anggota Baperki (Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia) yang keduanya mendukung seluruh kebijakan Soekarno.
Ia memaparkan bahwa
pada 1962 ia mengawali kariernya sebagai wartawan Trompet Masyarakat di
Surabaya setelah menyelesaikan pendidikannya di akademi Pro Patria Jogjakarta
dengan mengambil jurusan ilmu jurnalistik. “Waktu itu kantor harian Trompet
Masyarakat berada di Jalan Pahlawan, Surabaya. Pimpinan redaksinya bernama Goei
Poo An,” ujarnya. Selain itu ia juga bergabung dengan Baperki, sebuah
organisasi yang memperjuangkan hak-hak warga keturunan agar bisa menjadi warga
negara Indonesia.
Pada 1965, meletuslah
apa yang disebut Soekarno sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober). Alhasil, semua
yang berbau PKI dan Soekarno disingkirkan, termasuk harian Trompet Masyarakat
yang dibredel dan semua arsip dibakar. Pada saat itu terjadi pula penggeledahan
di rumah Oei Hiem Hwie dan sebelum sempat dibakar, adik kandung Oei
berinisiatif menyimpan semua buku koleksi kakaknya yang berjumlah ratusan di
dalam loteng rumahnya. Saat itupula Oei ditahan oleh pemerintah.
Keterlibatannya dalam Trompet Masjarakat dan Baperki menyebabkannya bertualang
dari penjara ke penjara. Awalnya ia dimasukkan dalam kamp Gapsin, di Batu,
Malang. Kamp Gapsin adalah bekas perusahaan kaleng yang ditutup dan dipinjam
oleh pemerintah untuk dijadikan kamp tahanan politik. “Disitu saya mengetahui
bahwa pimpinan saya selama di Trompet Masjarakat, Goei Poo An, dibawa keluar bersama
50 orang tapol dan entah bagaimana nasibnya,” kenangnya. Dari kamp Gapsin
selama 2 bulan, ia dipindahkan ke dalam penjara Lowok Waru, penjara terbesar di
Malang. Kemudian dipindah lagi ke penjara Kalisosok, Surabaya, juga pada
akhirnya dipindahkan ke penjara Koblen, sebuah penjara di Jalan Bubutan,
Surabaya yang menjadi penjara terakhirnya di kota Surabaya.
Pada 1970, Oei Hiem
Hwie dipindah ke Nusakambangan bersama 500 tahanan politik dari berbagai daerah
di Jawa Timur. “Disana saya dipenjarakan di penjara Karangtengah,
Nusakambangan. Makanan waktu itu seadanya, yang paling mengenaskan, kami sempat
beberapa kali diberi makanan berupa Bulgur, yakni ampas gandum yang dicampur
dengan ikan asin,” ujarnya. Ia menjalani masa penahanannya di Nusakambangan selama
dua bulan, kemudian bersama kurang lebih seribu tapol dari berbagai daerah di
Pulau Jawa, ia diangkut dengan kapal laut Tobelo, menuju Pulau Buru. Dari
situlah kisah yang menempa kedisiplinan dan semangat hidup serta kegiatan
menimba ilmunya itu dimulai.
Pulau Buru, sebuah
pulau di sekitar kepulauan Maluku merupakan tempat dimana para tapol diasingkan
dan diwajibkan bekerja untuk membuka lahan disana. “Disana semua tapol memiliki
bagiannya sendiri-sendiri. Ada yang mencangkul, membajak sawah, menggergaji dan
sebagainya. Saya kebagian tugas menanam tanaman kacang panjang, padi dan
ketela,” kenangnya.
Selama di Pulau Buru,
ia menerangkan bahwa semua rutinitas tapol yang menjadi pekerja disana sangat
terjadwal. Bekerja, makan, minum, istirahat hingga tidur diberi batas waktu
yang teratur. Otomatis, disiplin waktu dan beraktivitas yang didapatnya selama
diasingkan di Pulau Buru sangat berguna ketika diterapkan dalam kehidupannya
sehari-hari. “Ditempa dalam kehidupan yang keras membuat saya membiasakan diri dengan
kedisiplinan. Makan, minum, beraktivitas, berolahragapun harus teratur.
Istilahnya disiplin waktu menyangkut hal apapun. Jika semuanya bisa berjalan
dengan teratur, maka tubuh akan sehat dan tidak mudah terkena penyakit,”
ujarnya.
Soekarnois
yang Berguru pada Pramoedya Ananta Toer
Oei Hiem Hwie mengaku
sangat mengagumi sosok Presiden pertama Republik Indonesia, yakni Soekarno.
Menurutnya Soekarno adalah bapak bangsa yang tidak ada bandingnya di Indonesia.
Jalan pikiran dan arah kebijakannya sangat hebat dan tepat. Selain Soekarno,
Oei Hiem Hwie juga mengagumi sosok novelis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer
yang dianggapnya guru. Bersamanya ia pernah mengalami suka duka di Pulau Buru.
Kisahnya bersama
Pramoedya di Pulau Buru tentu sayang untuk dilewatkan, mengingat jika tidak ada
sosok Oei Hiem Hwie yang menyelamatkan ketikan asli naskah Pram yang dibuat
selama di Pulau Buru, mungkin sampai sekarang kita tidak akan pernah membaca novel-novel
milik sastrawan kandidat peraih nobel sastra itu.
Saat menginjak Pulau
Buru di tahun 1970, Oei Hiem Hwie bertemu Pram yang rupanya telah datang disana
sejak satu tahun sebelumnya, yakni 1969. Secara kebetulan, Pramoedya
ditempatkan di unit 4 ‘Savana Jaya’, satu unit dengan Oei Hiem Hwie. Di Pulau
Buru, Pramoedya diisolir di gubug kecil dimana dibelakang gubug itu terdapat
sepetak sawah yang dikelola oleh Oei Hiem Hwie. “Saat itu Pram diisolir. Ia
tidak diharuskan untuk bekerja, namun ia diperbolehkan untuk menulis. Di gubug
itu disediakan mesin ketik dan Pram menulis novelnya dengan menggunakan kertas
semen milik pekerja. Tak seorangpun diperbolehkan memasuki gubug itu. Bila ada
yang nekad dan ketahuan, maka akan dipukuli oleh petugas penjaga,” ujarnya.
Cerdiknya, pada saat itu Oei Hiem Hwie yang haus ilmu mengendap-endap masuk
lewat lubang sempit di bawah gubug, tepat pada saat penjaga lengah. Di dalam
gubug, ia berkawan dekat dengan Pram, menimba ilmu, bahkan Pram mempercayakan
Oei Hiem Hwie untuk menyimpan naskah salinannya.
“Saya membawa naskah
salinan Pram dan disana saya simpan rapat-rapat. Pram memang diperbolehkan
menulis selama di Pulau Buru, namun selesai menulis ia harus menyerahkan
tulisannya kepada petugas dan tulisan-tulisannya itu tak pernah dikembalikan;
namun Pram menyiasatinya dengan membuat pula salinan naskahnya. Salinannya itu
diserahkan pada saya untuk saya simpan,” ujar pria kelahiran Malang itu.
Berkarya sastra,
apalagi menyangkut tentang penceritaan sejarah seperti karya Pram membutuhkan
referensi lain selain hanya mengandalkan ingatan. Bila Pram sedang lupa dan
membutuhkan referensi, ia selalu menyuruh Oei Hiem Hwie untuk bertanya kepada
para intelektual yang juga sedang diasingkan di Pulau Buru. Contohnya pada saat
menulis Arok Dedes, Pram sedikit lupa tentang beberapa bagian yang ada di dalamnya.
Maka dari itu ia menyuruh Oei Hiem Hwie untuk bertanya pada kawan-kawannya.
“Waktu itu Pram bicara kepada saya, Oei, kamu pergi ke unit 6, temui Professor
Puradisastra dan Hersri Setiawan, tanyakan dengan lengkap tentang sosok Ken
Arok! Sayapun bergegas ke unit 6, berjalan kaki sejauh 6 kilo dengan
berpura-pura sebagai pengantar bahan makanan bagi tapol yang berada disana,”
kenangnya. Begitulah Oei Hiem Hwie berperan sebagai murid sekaligus membantu
proses kreatif dengan menjadi perantara Pram ketika sedang membutuhkan bantuan.
“Saya menganggap Buru
sebagai akademi, dan Pram sebagai dosen saya,” ujar Oei Hiem Hwie.
Pada 1978, masa
pengasingan Oei Hiem Hwie di Pulau Buru telah berakhir, sedangkan Pramoedya,
masa penahanannya baru selesai pada tahun 1979. Mengetahui hal itu, Pram
menanyai Oei Hiem Hwie, apakah muridnya itu berani membawa salinan naskahnya ke
Pulau Jawa, dengan ancaman hukuman berat bila sampai ketahuan, dan tanpa ragu
Oei Hiem Hwie menyatakan di depan Pram bahwa dirinya berani. “Salinan naskah-naskah
Pramoedya saya simpan di balik baju-baju kotor di dalam Tumbu (tas bambu) yang
saya jinjing. Untunglah saya lolos dari pemeriksaan, sebab jika tidak, mungkin
saya bisa ditembak mati gara-gara berani membawa tulisan milik Pram,”
kenangnya. Walhasil, selamatlah naskah-naskah Pram yang dibuat di Pulau Buru,
yang menghasilkan beberapa judul novel: Tetralogi Bumi Manusia, Arus Balik,
Mata Pusara, dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Sesampainya di Pulau
Jawa, pada tahun 1979 ketika Pram sudah dipulangkan, ia menyerahkan salinan
naskahnya pada Pramoedya. “Waktu itu beliau malah tidak mau menerimanya dan
menyuruh saya untuk menyimpannya saja sebagai rasa terima kasih. Sedangkan Pram
memilih menyimpan fotokopian naskahnya saja,” ujarnya.
Hingga pada tahun 1998,
ketika terjadi Reformasi dan kran kebebasan berpendapat dibuka
selebar-lebarnya, Oei Hiem Hwie memberanikan diri untuk menurunkan
koleksi-koleksi bukunya dari loteng rumahnya, yang dulu diselamatkan oleh
adiknya dari upaya pemusnahan yang terjadi pada saat itu. Koleksinya itu
termasuk harian Trompet Masjarakat yang merupakan satu-satunya yang tersisa,
sedang yang lain tidak terselamatkan. Kebiasaan mengkoleksi surat kabar dan
kliping yang begitu banyak, dari tahun ke tahun, juga koleksi buku-bukunya,
mendorongnya untuk membuka perpustakaan yang dinamakan ‘Perpustakaan Medayu
Agung’, di Jalan Medayu, Surabaya. Ia juga mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Koleksi buku dan surat kabarnya terbilang cukup banyak dan beberapa
diantaranya merupakan buku langka. Banyak pelajar yang membaca di
perpustakaannya itu untuk menambah wawasan dan mencari sumber penelitian.
Bahkan, ia juga mengkoleksi harian Surabaya Post sejak tahun 1983, ”Ini
Surabaya Post tahun 1983 dan saya mempunyai semua edisinya sampai saat ini,” ujar
Oei Hiem Hwie ketika menunjukkan sebuah bendel besar berisi harian Surabaya
Post sejak tahun 1983.
* Tulisan ini pernah dimuat Surabaya Post, 02 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar