Jumat, 07 Desember 2012

Kisah Oei Hiem Hwie: Eks Tapol Pulau Buru 1978 & Penyelamat Naskah Pramoedya Ananta Toer



Oei dan Naskah Asli Ketikan Pramoedya

Biodata


Nama                                      : Oei Hiem Hwie
Tempat / Tanggal / Lahir           : Malang, 20 November 1935
Alamat                                     : Jl. Medayu Selatan IV / 42-44, Surabaya
Nama Istri                                : Sri Widyanti
Nama Anak                             
  1. Adi Sandika
  2. Yudi Sandika

Riwayat Pendidikan                         :
  1. SD Tionghoa Hwie Kwan, Malang
  2. SMP Tionghoa Hwie Kwan, Malang
  3. SMA Tionghoa Hwie Kwan, Malang
  4. Akademi Ilmu Politik & Hukum, Malang
  5. Akademi Pro Patria, Jogjakarta

Karier                                                 : 
- Wartawan Trompet Masjarakat 
- Tahanan Politik 1965-1978 
- Sekpri Toko Buku Gunung Agung, Surabaya




Kunci Sehat, Semua Harus Disiplin dan Teratur!

Terngiang, ingatan masa silam tentang bunyi cangkul yang membentur tanah kering, suara gerobak pengangkut hasil panen dan suara canda kawanan pekerja. Ingatan yang kembali terkuak saat mendapati seorang kawan lama yang diberitakan masih sehat dan aktif melukis tentang ingatan yang sama, yang pernah mereka alami pada sudut kelam masa lalu. 

“Soeharsojo itu kawanku! Kalau tidak salah ia ditempatkan di unit 6 Pulau Buru!,” ujarnya menggebu saat membaca profil kawan lamanya, Gregorius Soeharsojo Goenito yang dimuat dalam Surabaya Post edisi minggu, 25 November 2012. 
 
Ialah Oei Hiem Hwie, mantan tahanan politik (Tapol) yang diasingkan di Pulau Buru karena dituduh terlibat dalam kegiatan berbau Soekarno dan PKI.

Ketika membaca Surabaya Post yang memuat Soeharsojo, Oei Hiem Hwie menelepon kantor redaksi dan berkeinginan untuk mendapatkan alamat lengkap Soeharsojo yang merupakan kawan lamanya ketika diasingkan di Pulau Buru. Mengetahui hal itu, saya berinisiatif untuk mendatangi kediamannya di perpustakaan Medayu Agung, Surabaya. Saat itu ia tampak antusias menerima kedatangan saya. Dengan ramah ia mempersilahkan masuk sembari memamerkan koleksi buku-buku dan arsip media massa yang ia kliping sejak remaja, termasuk ketikan asli naskah novel Pramoedya Ananta Toer!

Di usianya yang mencapai 75 tahun itu Oei Hiem Hwie tampak masih segar bugar. Ia dengan lancar memaparkan kisah-kisahnya yang detail, nyaris tak ada satupun yang terlupakan. Saat ditanya mengenai resep sehatnya, ia memaparkan bahwa ia memperoleh kesehatan karena kondisi hidup masa lalu yang menempa semangat dan kedisiplinannya dalam menjalani hidup. “Dulu di Pulau Buru, hidup harus teratur. Makan, minum, kerja, istirahat harus dilakukan dengan penuh kedisiplinan. Maka dari itu hingga kini saya menggunakan kedisiplinan itu sebagai acuan dalam hidup sehat. Disiplin waktu menyangkut makan, minum, olahraga teratur dan sebagainya,” ujar Bapak dua anak itu. Oei Hiem Hwie mengungkapkan bahwa ia juga mengurangi makanan yang mengandung lemak dan minyak, juga pedas. Ia juga mengaku bahwa olahraga menjadi kegiatan rutin setiap pagi.

Bagaimana kisahnya di Pulau Buru? Oei Hiem Hwie menerangkan bahwa ia dibawa ke Pulau Buru pada tahun 1970 karena dituduh terlibat dalam kegiatan Soekarnois, yakni menjadi wartawan Koran Trompet Masyarakat, juga menjadi anggota Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang keduanya mendukung seluruh kebijakan Soekarno.

Ia memaparkan bahwa pada 1962 ia mengawali kariernya sebagai wartawan Trompet Masyarakat di Surabaya setelah menyelesaikan pendidikannya di akademi Pro Patria Jogjakarta dengan mengambil jurusan ilmu jurnalistik. “Waktu itu kantor harian Trompet Masyarakat berada di Jalan Pahlawan, Surabaya. Pimpinan redaksinya bernama Goei Poo An,” ujarnya. Selain itu ia juga bergabung dengan Baperki, sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak warga keturunan agar bisa menjadi warga negara Indonesia.

Pada 1965, meletuslah apa yang disebut Soekarno sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober). Alhasil, semua yang berbau PKI dan Soekarno disingkirkan, termasuk harian Trompet Masyarakat yang dibredel dan semua arsip dibakar. Pada saat itu terjadi pula penggeledahan di rumah Oei Hiem Hwie dan sebelum sempat dibakar, adik kandung Oei berinisiatif menyimpan semua buku koleksi kakaknya yang berjumlah ratusan di dalam loteng rumahnya. Saat itupula Oei ditahan oleh pemerintah. Keterlibatannya dalam Trompet Masjarakat dan Baperki menyebabkannya bertualang dari penjara ke penjara. Awalnya ia dimasukkan dalam kamp Gapsin, di Batu, Malang. Kamp Gapsin adalah bekas perusahaan kaleng yang ditutup dan dipinjam oleh pemerintah untuk dijadikan kamp tahanan politik. “Disitu saya mengetahui bahwa pimpinan saya selama di Trompet Masjarakat, Goei Poo An, dibawa keluar bersama 50 orang tapol dan entah bagaimana nasibnya,” kenangnya. Dari kamp Gapsin selama 2 bulan, ia dipindahkan ke dalam penjara Lowok Waru, penjara terbesar di Malang. Kemudian dipindah lagi ke penjara Kalisosok, Surabaya, juga pada akhirnya dipindahkan ke penjara Koblen, sebuah penjara di Jalan Bubutan, Surabaya yang menjadi penjara terakhirnya di kota Surabaya.

Pada 1970, Oei Hiem Hwie dipindah ke Nusakambangan bersama 500 tahanan politik dari berbagai daerah di Jawa Timur. “Disana saya dipenjarakan di penjara Karangtengah, Nusakambangan. Makanan waktu itu seadanya, yang paling mengenaskan, kami sempat beberapa kali diberi makanan berupa Bulgur, yakni ampas gandum yang dicampur dengan ikan asin,” ujarnya. Ia menjalani masa penahanannya di Nusakambangan selama dua bulan, kemudian bersama kurang lebih seribu tapol dari berbagai daerah di Pulau Jawa, ia diangkut dengan kapal laut Tobelo, menuju Pulau Buru. Dari situlah kisah yang menempa kedisiplinan dan semangat hidup serta kegiatan menimba ilmunya itu dimulai.

Pulau Buru, sebuah pulau di sekitar kepulauan Maluku merupakan tempat dimana para tapol diasingkan dan diwajibkan bekerja untuk membuka lahan disana. “Disana semua tapol memiliki bagiannya sendiri-sendiri. Ada yang mencangkul, membajak sawah, menggergaji dan sebagainya. Saya kebagian tugas menanam tanaman kacang panjang, padi dan ketela,” kenangnya.

Selama di Pulau Buru, ia menerangkan bahwa semua rutinitas tapol yang menjadi pekerja disana sangat terjadwal. Bekerja, makan, minum, istirahat hingga tidur diberi batas waktu yang teratur. Otomatis, disiplin waktu dan beraktivitas yang didapatnya selama diasingkan di Pulau Buru sangat berguna ketika diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari. “Ditempa dalam kehidupan yang keras membuat saya membiasakan diri dengan kedisiplinan. Makan, minum, beraktivitas, berolahragapun harus teratur. Istilahnya disiplin waktu menyangkut hal apapun. Jika semuanya bisa berjalan dengan teratur, maka tubuh akan sehat dan tidak mudah terkena penyakit,” ujarnya.



Soekarnois yang Berguru pada Pramoedya Ananta Toer

Oei Hiem Hwie mengaku sangat mengagumi sosok Presiden pertama Republik Indonesia, yakni Soekarno. Menurutnya Soekarno adalah bapak bangsa yang tidak ada bandingnya di Indonesia. Jalan pikiran dan arah kebijakannya sangat hebat dan tepat. Selain Soekarno, Oei Hiem Hwie juga mengagumi sosok novelis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang dianggapnya guru. Bersamanya ia pernah mengalami suka duka di Pulau Buru.

Kisahnya bersama Pramoedya di Pulau Buru tentu sayang untuk dilewatkan, mengingat jika tidak ada sosok Oei Hiem Hwie yang menyelamatkan ketikan asli naskah Pram yang dibuat selama di Pulau Buru, mungkin sampai sekarang kita tidak akan pernah membaca novel-novel milik sastrawan kandidat peraih nobel sastra itu.

Saat menginjak Pulau Buru di tahun 1970, Oei Hiem Hwie bertemu Pram yang rupanya telah datang disana sejak satu tahun sebelumnya, yakni 1969. Secara kebetulan, Pramoedya ditempatkan di unit 4 ‘Savana Jaya’, satu unit dengan Oei Hiem Hwie. Di Pulau Buru, Pramoedya diisolir di gubug kecil dimana dibelakang gubug itu terdapat sepetak sawah yang dikelola oleh Oei Hiem Hwie. “Saat itu Pram diisolir. Ia tidak diharuskan untuk bekerja, namun ia diperbolehkan untuk menulis. Di gubug itu disediakan mesin ketik dan Pram menulis novelnya dengan menggunakan kertas semen milik pekerja. Tak seorangpun diperbolehkan memasuki gubug itu. Bila ada yang nekad dan ketahuan, maka akan dipukuli oleh petugas penjaga,” ujarnya. Cerdiknya, pada saat itu Oei Hiem Hwie yang haus ilmu mengendap-endap masuk lewat lubang sempit di bawah gubug, tepat pada saat penjaga lengah. Di dalam gubug, ia berkawan dekat dengan Pram, menimba ilmu, bahkan Pram mempercayakan Oei Hiem Hwie untuk menyimpan naskah salinannya.

“Saya membawa naskah salinan Pram dan disana saya simpan rapat-rapat. Pram memang diperbolehkan menulis selama di Pulau Buru, namun selesai menulis ia harus menyerahkan tulisannya kepada petugas dan tulisan-tulisannya itu tak pernah dikembalikan; namun Pram menyiasatinya dengan membuat pula salinan naskahnya. Salinannya itu diserahkan pada saya untuk saya simpan,” ujar pria kelahiran Malang itu.

Berkarya sastra, apalagi menyangkut tentang penceritaan sejarah seperti karya Pram membutuhkan referensi lain selain hanya mengandalkan ingatan. Bila Pram sedang lupa dan membutuhkan referensi, ia selalu menyuruh Oei Hiem Hwie untuk bertanya kepada para intelektual yang juga sedang diasingkan di Pulau Buru. Contohnya pada saat menulis Arok Dedes, Pram sedikit lupa tentang beberapa bagian yang ada di dalamnya. Maka dari itu ia menyuruh Oei Hiem Hwie untuk bertanya pada kawan-kawannya. “Waktu itu Pram bicara kepada saya, Oei, kamu pergi ke unit 6, temui Professor Puradisastra dan Hersri Setiawan, tanyakan dengan lengkap tentang sosok Ken Arok! Sayapun bergegas ke unit 6, berjalan kaki sejauh 6 kilo dengan berpura-pura sebagai pengantar bahan makanan bagi tapol yang berada disana,” kenangnya. Begitulah Oei Hiem Hwie berperan sebagai murid sekaligus membantu proses kreatif dengan menjadi perantara Pram ketika sedang membutuhkan bantuan.

“Saya menganggap Buru sebagai akademi, dan Pram sebagai dosen saya,” ujar Oei Hiem Hwie.

Pada 1978, masa pengasingan Oei Hiem Hwie di Pulau Buru telah berakhir, sedangkan Pramoedya, masa penahanannya baru selesai pada tahun 1979. Mengetahui hal itu, Pram menanyai Oei Hiem Hwie, apakah muridnya itu berani membawa salinan naskahnya ke Pulau Jawa, dengan ancaman hukuman berat bila sampai ketahuan, dan tanpa ragu Oei Hiem Hwie menyatakan di depan Pram bahwa dirinya berani. “Salinan naskah-naskah Pramoedya saya simpan di balik baju-baju kotor di dalam Tumbu (tas bambu) yang saya jinjing. Untunglah saya lolos dari pemeriksaan, sebab jika tidak, mungkin saya bisa ditembak mati gara-gara berani membawa tulisan milik Pram,” kenangnya. Walhasil, selamatlah naskah-naskah Pram yang dibuat di Pulau Buru, yang menghasilkan beberapa judul novel: Tetralogi Bumi Manusia, Arus Balik, Mata Pusara, dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Sesampainya di Pulau Jawa, pada tahun 1979 ketika Pram sudah dipulangkan, ia menyerahkan salinan naskahnya pada Pramoedya. “Waktu itu beliau malah tidak mau menerimanya dan menyuruh saya untuk menyimpannya saja sebagai rasa terima kasih. Sedangkan Pram memilih menyimpan fotokopian naskahnya saja,” ujarnya.
 
Hingga pada tahun 1998, ketika terjadi Reformasi dan kran kebebasan berpendapat dibuka selebar-lebarnya, Oei Hiem Hwie memberanikan diri untuk menurunkan koleksi-koleksi bukunya dari loteng rumahnya, yang dulu diselamatkan oleh adiknya dari upaya pemusnahan yang terjadi pada saat itu. Koleksinya itu termasuk harian Trompet Masjarakat yang merupakan satu-satunya yang tersisa, sedang yang lain tidak terselamatkan. Kebiasaan mengkoleksi surat kabar dan kliping yang begitu banyak, dari tahun ke tahun, juga koleksi buku-bukunya, mendorongnya untuk membuka perpustakaan yang dinamakan ‘Perpustakaan Medayu Agung’, di Jalan Medayu, Surabaya. Ia juga mendapat bantuan dari berbagai pihak. Koleksi buku dan surat kabarnya terbilang cukup banyak dan beberapa diantaranya merupakan buku langka. Banyak pelajar yang membaca di perpustakaannya itu untuk menambah wawasan dan mencari sumber penelitian. Bahkan, ia juga mengkoleksi harian Surabaya Post sejak tahun 1983, ”Ini Surabaya Post tahun 1983 dan saya mempunyai semua edisinya sampai saat ini,” ujar Oei Hiem Hwie ketika menunjukkan sebuah bendel besar berisi harian Surabaya Post sejak tahun 1983.


* Tulisan ini pernah dimuat Surabaya Post, 02 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar