Bilik bekas Sinagog |
Di depan Makam Yahudi |
Halaman makam Mbah Karimah |
Masuk lebih dalam lagi terdapat makam Islam dan makam Mbah Karimah, mertua Sunan Ampel. Konon, Kembang Kuning ini memiliki hubungan dengan Kembang Putih, Tuban, karena menurut berbagai literasi, Kembang Kuning (Kambang Kuning) dan Kembang Putih (Kambang Putih) pernah tercatat sebagai kota pelabuhan besar di tanah Jawa. Jika para sesepuh kampung menunjukkan bahwa terdapat jejak selasar-selasar yang pernah dilalui air atau sungai pada masa lalu, maka saya meyakini bahwa Kembang Kuning merupakan salah satu jalur toll laut yang pernah dibangun di era Majapahit, seperti yang tercantum dalam literatur-literatur peninggalan kerajaan terbesar itu; dan dapat diperkirakan pula bahwa dari sinilah proses Islamisasi di tanah Jawa bermula.
Ereveld |
Sebelum menuju makam Belanda, kami mengamati patung Alfred Emile Rambaldo, penerbang Belanda yang membuka jalur penerbangan pertama kali di Jawa, yang kemudian tewas karena kecelakaan balon udara. Kami juga menjumpai monumen walikota kedua Surabaya pada jaman kolonial, yakni G.J Dijkerman. Tugu monumen itu terletak di tengah komplek makam Kembang Kuning, dengan patung malaikat diatasnya. Monumen itu digunakan sebagai peringatan bahwa beliaulah yang membuka lahan pemakaman Kembang Kuning pada era kolonial Belanda.
Perjalanan kami berlanjut ke Ereveld, komplek makam kehormatan Belanda. Disana kami disambut oleh Bu Audrey, seorang wanita indo-jerman, pengelola Ereveld yang banyak menceritakan kisah dibalik keberadaan jasad yang terkubur dalam ribuan nisan yang berjumlah hampir limaribuan. Diantara banyaknya nisan, saya sempat heran karena terdapat jajaran nisan dengan nama yang sama. Ketika saya tanyakan pada Bu Audrey, ternyata kesamaan nama itu adalah nama marga dari beberapa orang dalam satu keluarga yang terbunuh dalam kamp konsentrasi Jepang. Di sudut Ereveld juga terdapat tugu peringatan limabelas marinir Belanda yang tenggelam saat agresi Jepang, dan ditengah-tengahnya terdapat tugu peringatan Karel Doorman, pemimpin angkatan laut Belanda yang gugur dalam pertempuran Laut Jawa.
Selain bercerita tentang sejarah, Bu Audrey juga menunjukkan proses pembuatan nisan-nisan makam, juga berbagi ilmu lettering untuk menuliskan huruf secara manual pada nisan maupun bendera-bendera penghias karangan bunga yang digunakan para peziarah.
Monumen Karel Doorman |
Tepat dihadapan komplek makam Ereveld, terdapat satu-satunya makam Islam di tengah makam Nasrani dengan nama Roro Hadiningsih, yang di dalam batu nisannya tertulis sebagai korban kekejaman pasukan Dai Nippon. Mas Dhahana Adi menceritakan bahwa Roro Ningsih ini meninggal saat hendak diperkosa tentara Jepang. Entah meninggal karena dibunuh atau bunuh diri, tidak ada yang tahu.
Makam Roro Ningsih |
Di tengah mendung yang mulai membuka diri pada matahari, tampak Kak Dita guru ekonomi, berseri-seri dengan kerudung coklat kayu manisnya. Seorang guru ekonomi yang cerah ceria sedang berjalan mengiringi perjalanan anak-anak didik, rasanya di setiap langkahnya segala teori ekonomi runtuh. Aku membayangkan bila Dita memegang kuasa dan mengakhiri dominasi ekonom pria di seluruh dunia...
Karena terlalu lama memperhatikan Dita, aku baru sadar jika aku kurang ngopi. Maklum, pagi tadi aku hanya sempat menikmati setengah gelas saja. Seusai acara kudatangi sebuah warkop yang penjualnya kepo dan bertanya,
"Mas, onok acara opo kok ngajak siswa nang kembang kuning? Golek togel ta?"
Aku hanya tertawa kecil, lalu menerangkan sedikit padanya tentang kesejarahan Kembang Kuning, seperti yang diceritakan oleh Mas Dhahana Adi dan Bu Audrey. Pemilik warung itu terperangah. Seperti halnya diriku, rupanya ia juga baru tahu bahwa Kembang Kuning adalah muara seribu cerita tentang Surabaya.
(Guruh Dimas Nugraha - 26/02/20)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar