Ahmad Suroto ketika di Pulau Buru |
BIODATA
Nama : Ahmad Suroto
Tempat
tanggal lahir : Surabaya, 03 Maret 1942
Alamat : Sidoarjo,
Jawa Timur
Nama Istri : Christinah
Nama Anak :
- Eka Kristianto
- Yusak Dwi Cahyono
- Maria Tri Wahyuningsih
Hati yang Senantiasa Bersukacita Dapat Menjadikan Tubuh Sehat
Ayah, Ibu, Kekasih dan
kotaku
sekian lama langkahku
membisu di surgamu
mengerak
menjadi jejak sejarah
Esok aku pulang, Ibu
Masihkah kerak itu dapat
terbaca untukku?
Sepenggal
sajak itu mungkin cukup mampu menggambarkan suasana hati seorang Ahmad Suroto
serta ratusan tahanan politik lainnya yang pada akhirnya diperbolehkan pulang
ke Pulau Jawa setelah menjalani masa penahanan selama 9 tahun 3 bulan di Pulau
Buru.
"Di
sana saya berkawan dengan banyak tahanan politik (tapol) dari berbagai latar
belakang. Termasuk Pak Oei Hiem Hwie yang sebulan lalu dimuat di Surabaya Post.
Saya ingat, dulu beliau adalah wartawan harian Trompet Masjarakat yang juga
ditahan disana bersama saya," ujar Ahmad Suroto. Ia memaparkan pula
perjalanan hidupnya yang penuh kenangan selama masa pengasingannya. "Saat
disana selama beberapa tahun, saya cuma bisa pasrah dan tak pernah berpikir
untuk bisa pulang," kenangnya.
Ketika
ia diperbolehkan pulang pada 1979, bagaimana perasaannya? "Tentu saja
senang. Saya bisa kembali ke Jawa untuk bertemu keluarga, melepas rindu serta
dapat mengenang sekaligus menjalani kembali masa-masa indah yang pernah saya
alami di Jawa," ungkapnya. Pada perjalanan pulangnya, sebelum ke tempat
asalnya di Surabaya, ia singgah di salah satu tempat tinggalnya di Banyuwangi.
Disana ia menemui kekasihnya, Christinah dan tidak lama ia memutuskan
menikahinya. Dari pernikahannya itu, hingga kini ia dikarunai 3 orang anak.
Sebagai
eks tapol Pulau Buru, setelah pulang dari pengasingannya tentu saja ia
kesulitan mencari pekerjaan karena predikat 'Eks Tapol' yang tertera pada
KTP-nya. Alhasil, ia harus membanting tulang untuk menghidupi keluarganya.
Setelah mencari pekerjaan cukup lama, pada akhirnya ia diterima menjadi pengawas
gudang sebuah pabrik di Rungkut, Surabaya. Dari pekerjaan itulah ia
perlahan-lahan mampu membangkitkan ekonomi keluarganya. "Cukup susah
memang, tapi saya harus bekerja keras untuk bisa menghidupi istri dan
anak-anak," ujarnya.
Sebagai
eks tapol Pulau Buru yang bekerja membuka lahan disana, tentu masih terlihat
jelas, meski di usianya yang menginjak 70 tahun, gurat-gurat semangat dan
tubuhnya yang masih kekar menunjukkan bahwa keseharian di Pulau Buru yang cukup
keras membuatnya masih tetap sehat dan mampu beraktivitas seperti layaknya kaum
muda. "Saya 70 tahun tapi masih mampu melakukan aktivitas berat. Semua ini
saya dapat dari pengalaman dan kerja keras saya ketika di Pulau Buru,"
ungkap pria asli Surabaya itu.
Ketika
diwawancarai, Ahmad Suroto secara panjang lebar membeberkan resep sehatnya. Ia
menjelaskan bahwa perasaan bahagia dan hati yang selalu diliputi sukacita dapat
membantu menjaga kesehatan tubuh. Selain itu dalam menjalani hidup harus dilandasi
dengan semangat, serta selalu mengucap syukur kepada Tuhan. "Kalau untuk
pola makan, cukup makan teratur sebanyak 3 kali sehari dan perbanyak minum air
putih. Jangan lupa menyempatkan waktu olahraga setiap hari. Seperti berjalan
kaki atau bersepeda seperti yang selalu saya lakukan setiap pagi,"
ujarnya.
Musisi yang Ditangkap tanpa Pengadilan
Bagaimana
awal mula Ahmad Suroto dapat menjalani masa pengasingan di Pulau Buru?
"Sebelum gestok meletus, saya dulu adalah seorang pemuda penggiat seni.
Saya pemain band yang kerap dipanggil untuk manggung di banyak kegiatan,"
paparnya. Ketika itu band yang diusungnya kerap diundang tampil dalam festival
kerakyatan, salah satunya diadakan oleh Organisasi Pemuda Rakyat, yang saat itu
merupakan underbow Partai Komunis
Indonesia (PKI).
"Bila
saya ditanya soal komunisme dan semacamnya, saya berkali-kali menjawab bahwa
saya tidak tahu apa-apa soal itu! Waktu itu saya cuma pemain musik, sering
diundang untuk tampil maupun menonton acara-acara kesenian. Salah satunya ya
diadakan oleh Pemuda Rakyat, Lekra dan semacamnya. Ketika meletus Gestok,
tiba-tiba saya dituduh terlibat dan tiba-tiba pula saya ditangkap dan
dipenjarakan tanpa ada pengadilan," kenangnya.
Suatu
siang beberapa orang mendatangi rumahnya dan menangkapnya. Ahmad Suroto yang
masih kebingungan akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan kantor polisi Hobiru,
Surabaya, kemudian dipindah ke Koblen, Kalisosok, Nusakambangan hingga akhirnya
sampai pada pengasingannya di Pulau Buru. "Saya diperiksa petugas dan ditanyai
tentang keterlibatan saya pada kegiatan Komunis, Soekarnois dan semacamnya.
Saya menjawab tidak, namun tak ada satupun yang percaya. Begitulah pada
akhirnya saya dijebloskan dari penjara ke penjara," ujarnya.
Setelah
berpetualang dari penjara ke penjara, ia dan ratusan tapol dibawa ke penjara
Gligen di Nusakambangan. Rupanya perjalanan dari Jawa ke Nusakambangan adalah
transit sebelum para tapol itu dibawa ke Pulau Buru. Sesampainya di Pulau Buru,
ia ditempatkan di salah satu barak tapol. Disana terdapat 18 unit berisi 10
barak. Satu unitnya ditempati 500 orang tapol. "Waktu itu Buru masih
berupa hutan belantara. Kami membuka lahan disana dan melakukan pekerjaan
bercocok tanam. Disana babat hutan selama 3 bulan," ujarnya. Dijelaskannya
selama 3 bulan itu para tapol disuplai bahan makanan oleh pemerintah pusat.
Setelah bercocok tanam dan membuahkan hasil, supplai itu dihentikan dan para
tapol menghidupi diri mereka sendiri dengan hasil panen.
"Jangan
salah, tanah disana luar biasa subur. Hasil panen melimpah ruah hingga dapat
menghidupi ribuan tapol dan para petugas disana. Mereka semua makan dari hasil
panen," kenang pria 70 tahun itu. Ia juga menerangkan bahwa selama di
Pulau Buru, para tapol juga sempat mengalami gesekan dengan beberapa penduduk
lokal yang merasa terganggu karena kehadiran mereka dianggap akan mengancam hak-hak
mereka sebagai penduduk lokal. "Beberapa penduduk yang marah sempat
terlibat konflik dengan kami. Teman dekat saya sebanyak 4 orang mati dibunuh
dengan tombak. Tapi tidak semua penduduk disana seperti itu. Banyak juga
diantara mereka yang baik terhadap kami dan tidak mempermasalahkan kehadiran
kami," ujarnya. Menyikapi peristiwa terbunuhnya 4 orang tapol oleh beberapa
penduduk asli, petugas dari Peleton Pengawal Pattimura melakukan operasi
militer namun tidak menemukan warga yang menjadi pelaku pembunuhan karena
mereka bersembunyi dengan cara melarikan diri ke arah hutan belantara.
Ditanya
mengenai kesulitan selama di Pulau Buru, ia mengatakan bahwa pengalamannya paling
berat adalah ketika ia ditugaskan mengambil atau mengantar beras menuju desa Airmadidi,
sebuah desa yang dihuni oleh komunitas suku Bugis. "Wah, kalau ditugaskan
kesana itu susah. Medannya terjal, berpasir, berbatu dan cuaca sangat panas.
Apalagi jaraknya sangat jauh," ungkapnya.
Sebagai
musisi, masa pengasingannya di Pulau Buru tidak menghalanginya untuk tetap
berkreasi. Disana ia dan kawan-kawannya membuat peralatan musik dari bahan
kayu. Seperti membuat drum, bass dan gitar. Senar gitarnyapun diambil dari potongan
kabel listrik yang diolah. Setelah pembuatan alat musik selesai, ia dan
kawan-kawannya membentuk sebuah grup musik yang dinamakan 'Giripura Band'.
Bersama grupnya itu ia kerap tampil menghibur seluruh petugas dan penghuni Pulau
Buru. "Komandan petugas memberi tanggapan baik pada Giripura Band. Kamipun
kerap diundang tampil dalam setiap acara yang mereka adakan, seperti hari
kemerdekaan," kenangnya. Dalam Giripura band, Ahmad Suroto menjadi vokalis
utama. Selain itu ia juga memegang bass dan kadangkala bergantian dengan
kawannya bernama Kasdi untuk bermain drum. "Bila saya ingin bermain drum,
maka Kasdi bermain bass. Begitupun sebaliknya. Tapi entah saya tidak tahu kabar
Kasdi saat ini. Sudah lama saya tidak bertemu dengannya," ujarnya.
Rupanya
keahlian bernyanyi, bermain bass dan drum yang dimilikinya menurun pula ke
anak-anaknya. Bakat drum diturunkan kepada anak pertamanya, Eka Kristanto yang
terkenal sebagai drummer Sekaring Jagad, band kawakan Surabaya dan pernah pula
menjadi drummer Krisyanto, ex vokalis Jamrud ketika tampil di Surabaya.
Sedangkan bakat bermain bass diturunkan pada anak keduanya, Yusak yang dikenal
sebagai pemain bass. Tidak ketinggalan, bakat bernyanyinya diturunkan pula
kepada anak bungsunya, Maria, dimana ketika anak bungsunya itu berusia 8 tahun,
ia telah mampu menguasai teknik vokal klasik yang cukup rumit. "Rupanya
bakat Bapaknya menurun kepada anaknya," ujarnya sambil tertawa.
Rupanya
pengalaman selama di Pulau Buru menjadi pengalaman tak terlupakan sepanjang
hidupnya. Apakah ia merasa dendam? “Sama sekali tidak. Ajaran agama saya
mengajarkan saya tentang cinta kasih. Apa yang saya alami di masa lalu dan masa
kini adalah sebuah rencana Tuhan yang diberikan kepada saya. Saya ikhlas
menerimanya,” pungkasnya.
*Tulisan saya ini pernah dimuat di Surabaya Post, 30 Desember 2012
apakah pak ahmad suroto masih sugeng? mungkin kenal dengan Jliteng (tarwotjo) dari Solo, pemain seruling
BalasHapusMasih sugeng. Nanti akan saya sampaikan mas.
BalasHapus