Jumat, 04 Januari 2013

Komunitas FIlm Indie Ksatria Pena


Angkat Tema Kemanusiaan

Apa perbedaan kecenderungan film Indonesia dan film India? Jawabnya, bila melihat film India, aktornya jika bertemu pohon akan langsung berjoget dengan pasangannya. Jika film Indonesia, kecenderungannya yakni dari alur ceritanya. Diceritakan, ada sepasang kekasih yang selalu bertengkar, kemudian aktor perempuan menjadi kalut, menyeberang jalan hingga tertabrak mobil.  Akhir cerita dapat dipastikan, kedua pasangan itu rujuk di rumah sakit. Lelucon tentang perbedaan kecenderungan film India dan film Indonesia yang selalu monoton itulah yang melandasi Komunitas Film Ksatria Pena untuk membuat karya yang mengandung makna lebih dalam ketimbang melulu percintaan dan perselingkuhan.

“Sungguh, beberapa film Indonesia utamanya sinetron itu betul-betul memprihatinkan. Meskipun tidak semuanya buruk, namun contoh kasusnya lihat saja sinetron setiap sore di tv. Mereka seakan tidak memiliki tematik lain selain percintaan. Padahal, banyak tema yang bisa digali dan diangkat dalam film. Minimal, sebuah film dapat membuat penonton merasa tergugah,” ujar Dimas Aditya Prayudi Rachman, ketua Ksatria Pena diiringi anggukan teman-temannya. 

Apa itu Ksatria Pena? Bagaimana kiprah mereka dalam dunia perfilman? 

Ksatria Pena dibentuk pertama kali pada 10 November 2010. Pada tanggal itu Surabaya memang sedang sangat ramai memperingati hari Pahlawan. Salah satu instansi pemerintah bahkan membuat sayembara film pendek bertemakan kepahlawanan. Sayembara itu disebarkan melalui poster-poster yang ditempel di tembok maupun papan pengumuman kampus. Akhirnya, poster itu sampailah pada Dimas Aditya, salah seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri di Surabaya, yang juga memiliki latar belakang kemampuan dalam bidang film. Membaca sayembara itu ia langsung menghubungi Rizal Rakhmat, kakak kelasnya yang juga mumpuni dalam penguasaan tekhnik video art. Berturut-turut akhirnya diajak pula Robby Febbry, Azizah dan Usman Chaudy. Ketiganya juga merupakan mahasiswa jurusan sastra Indonesia. Ketika berembug, disepakatilah nama komunitas mereka, yakni Ksatria Pena, dan nama itu disodorkan kepada panitia festival. Ksatria merupakan kepanjangan dari Kebersamaan Sastra Indonesia, dimana mereka semua saat itu masih mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia. Pena adalah media mereka dalam berekspresi, bahwa segala sesuatu yang mereka jalankan mulanya berawal dari guratan pena di atas kertas.

Ksatria Pena sebagai Komunitas Film Indie yang baru terbentuk di Surabaya, dalam sayembara itu tampil membawakan karya film pendeknya berjudul ‘Menjadi Pahlawan’. Diceritakan, seorang anak kecil sedang merasakan gegap gempita perayaan hari Pahlawan di Surabaya. Anak kecil itu mengetahui bahwa dirinya juga memiliki seorang kakek yang tewas dalam medan pertempuran 10 November 1945. Maka dari itu ia menghampiri neneknya dan bertanya, mengapa sang kakek tidak mendapat predikat pahlawan dan dimasukkan dalam buku sejarah? “Diberi gelar atau tidak, yang penting kakekmu pernah berjuang membela bangsa dengan ikhlas, tanpa pamrih. Ia merupakan pahlawan meskipun tanpa gelar. Juga, kakekmu adalah seorang pahlawan bagi keluarga besar kita. Tugasmu, adalah mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh kakekmu dengan cara belajar yang rajin demi kesehjahteraan bangsa,” ucap sang nenek yang diperankan oleh Azizah.

‘Menjadi Pahlawan’ sebagai karya film pendek pertama yang pertama kali mereka hasilkan rupanya mendapat respon dari masyarakat penikmat film dan dewan juri. Hasilnya, film mereka masuk dalam nominasi film terbaik dan mendapat juara kategori ide cerita terpuji. “Saat itu kami sangat bangga karena film itu merupakan karya kami yang pertama kali kami buat,” ujar Azizah. Alhasil, komunitas mereka semakin dikenal dan banyak pula yang mendaftar sebagai anggotanya. Tercatat pada 2010, berkat keberhasilan film itu mereka memiliki anggota aktif sebanyak 26 orang dari berbagai latar belakang, mulai dari mahasiswa, pelajar Sma hingga para seniman Surabaya.

Tidak berhenti disitu, hingga kini Ksatria Pena masih aktif dalam berkarya. Tercatat, sudah 4 film yang mereka luncurkan, selain ‘Menjadi Pahlawan’, adapula film-film berjudul ‘Melawan Ajal’, ‘Yang Terampas dan yang Putus’, film pendek ‘From Invisible to Unstoppable’ yang bekerjasama dengan Yodangers, sebuah komunitas fans Yoda ‘Idol’, juga film berjudul ‘Chaos’ yang mereka garap bersama komunitas Cinematografi Universitas Airlangga. “Selain film-film pendek, kami juga menerima ratusan pesanan film seperti video art, video dokumentasi serta video klip band-band lokal Surabaya. Salah satu band lokal yang cukup populer di Jawa Timur yang pernah menjadi langganan kami adalah Sekaring Jagad, sebuah band asal Sidoarjo,” papar Ayu Prasetya.

Annura Wulan, sekretaris Ksatria Pena memaparkan bahwa tujuan dibentuknya Ksatria Pena adalah selain ingin mewarnai dunia perfilman, mereka juga ingin menunjukkan karya mereka yang mengandung kedalaman makna berikut pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan tentang sisi kemanusiaan menyangkut realitas sosial. “Kami juga tidak begitu saja menuruti selera pasar yang didominasi dengan kecenderungan untuk menampakkan seksualitas semata tanpa memperhatikan alur cerita serta parahnya, tidak ada pesan moral yang dapat diambil,” ujar perempuan 21 tahun itu.

Bagaimana kriteria film yang memadai menurut Ksatria Pena? “Film yang baik adalah film yang bercerita tentang kemanusiaan, realitas sosial menyangkut permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, yang kerap tidak kita sadari menjadi hambatan dalam kehidupan sosial masyarakat,” ujar Dimas Aditya. “Di Indonesia sendiri perkembangan film sudah terlihat mengalami kemajuan. Ada produser dan sutradara yang memiliki ide cemerlang tentang film yang berkualitas. Namun kita dapat lihat juga, sebagian pelaku film memilih menuruti selera pasar dan masih banyak pula produser yang belum mau mengeksplor kemampuannya untuk menghasilkan film bagus,” tambah Rizal Rakhmat, wakil Ksatria Pena.


Dari Riri Riza hingga Usulan Kepada Pemerintah
Plaaaak!! Tamparan mantan istrinya itu hinggap di pipi Chairil Anwar, sang penyair legendaris Indonesia. Sesaat kemudian Hapsah, mantan istrinya itu menutup pintu dengan keras. Tinggalah Chairil Anwar seorang diri. Niatnya minta rujuk dan kerinduan terhadap putri semata wayangnya pupus sudah. Iapun dengan tegar menaruh sekuntum bunga di depan pintu rumah Hapsah, berpesan bahwa ia akan pergi keliling dunia lalu pergi meninggalkannya. Sesampainya di rumah, penyair itu menulis puisi terakhirnya yang berjudul ‘Cemara Menderai Sampai Jauh’ yang memuat isyarat kematiannya. Benar saja, keesokan paginya ia ditemukan tewas di kamar sebuah perusahaan percetakan di Jakarta karena menderita Bronchitis

Sisi lain kehidupan Chairil Anwar itulah yang ditampilkan dalam film pendek milik Ksatria Pena yang berjudul ‘Yang Terampas dan yang Putus’. Dalam film itu diceritakan Chairil Anwar sebagai pribadi yang sangat manusiawi. Chairil Anwar digambarkan sebagai pecinta yang romantis sekaligus idealis dan keras kepala, namun berbanding lurus dengan ketajaman puisi serta kecerdasannya dalam memaknai permasalahan sosial. Film pendek unik itu pernah diputar pula di Makassar dan dihadiri seniman-seniman serta penggiat film terkemuka, termasuk Riri Riza. “Film itu dibuat pada tahun 2010. Produsernya Dimas Aditya, Sutradaranya Gregorius Lennon, sedangkan aktor-aktornya adalah Imam Mudofar, Azizah, Raras, Annura, Nanda Hadi, Arvin Ranu, Lintang, Ayu, Putri serta Doni,” ucap Raras Hafidha yang dalam film itu berperan sebagai Hapsah.

Tak dinyana, setelah film itu diputar dalam parade film indie di Jogjakarta, Riri Riza menghampiri salah satu aktor, yakni Imam Mudofar, sang pemeran Chairil Anwar. “Saat itu ia berkata bahwa ia suka dengan ide ceritanya. Ia kemudian berkomentar panjang-lebar,” ungkapnya. Dalam kesempatan itu Riri Riza mengungkapkan ketertarikannya pada film itu dan juga mengajarkan hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat film. “Kami diberi pengetahuan tentang detail film serta pengolahan setting, juga masalah artistik film oleh sutradara terkenal itu,” sahut Robby Febry yang dalam film itu berperan sebagai pengatur laku.

Tentunya mendapat respon baik dari Riri Riza, mereka semakin bersemangat. Hingga tahun 2012 ini mereka aktif mengadakan kegiatan diskusi maupun proses pembuatan maupun pemutaran film-film pendek. Saat inipun anggota mereka telah mencapai sekitar 30 orang. “Kami aktif melakukan pemutaran film pendek di berbagai wilayah dan gedung kesenian di Surabaya. Tapi sayangnya perhatian pemerintah terhadap eksistensi komunitas penggiat film indie, utamanya di Surabaya masih sangat kurang,” pungkas Dimas Aditya.

Ksatria Pena pun berharap, pemerintah dan semua pihak mendukung eksistensi penggiat film indie di Indonesia, utamanya di Surabaya agar mereka dapat terus berkarya dan meramaikan jagad perfilman Indonesia.


Quote



Dimas Aditya Prayudi Rahman, ketua Ksatria Pena :
“Jangan melulu mengumbar masalah percintaan, perselingkuhan apalagi sekedar menampilkan sisi seksualitas semata. Bangsa ini punya sisi lain yang perlu diangkat ke permukaan. Angkatlah sisi kemanusiaan serta liriklah tematik-tematik sosial yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, yang mampu menggugah penikmat film untuk peduli terhadap situasi dan kondisi masyarakat, juga bangsa ini”


 



Ayu Prasetya, bendahara Ksatria Pena :
“Ksatria Pena adalah bukti semangat beberapa anak muda yang peduli, mau melangkah maju dan selalu mencoba untuk memberikan kontribusi positif dalam dunia perfilman Indonesia”



 


Robby Febbry Sugiri, sie artistik Ksatria Pena :
“Ksatria Pena adalah curahan ide dari orang-orang yang mempunyai imajinasi dan mampu menangkap persoalan-persoalan yang dapat membuat seseorang merenung memaknai pesan yang hadir dalam setiap karya kami dan akhirnya dapat tergugah untuk peduli terhadap realitas di sekitarnya”


 


 Rizal Rakhmat, wakil ketua Ksatria Pena :
“Ayo bangkit perfilman Indonesia! Kami disini sudah memulai untuk melangkah, maka mari kita bersama-sama melangkah demi kemajuan perfilman Indonesia. Wujudkan semangat berkesenian dan semangat kepedulian terhadap sesama maupun bangsa dan negara!”





Annura Wulan Darini Subandriyo, sekretaris Ksatria Pena :
“Ksatria Pena adalah salah satu dari sekian banyak komunitas yang peduli terhadap perfilman Indonesia. Kami adalah sekumpulan orang yang berjuang bersama dalam sebuah wadah positif yang mampu untuk terus memompa semangat kami dalam berkarya demi eksistensi kami dan kemajuan perfilman Indonesia”






*Tulisan ini pernah dimuat dalam Surabaya Post edisi 30 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar