Angkat Tema Kemanusiaan
Apa perbedaan kecenderungan film Indonesia dan film
India? Jawabnya, bila melihat film India, aktornya jika bertemu pohon akan
langsung berjoget dengan pasangannya. Jika film Indonesia, kecenderungannya
yakni dari alur ceritanya. Diceritakan, ada sepasang kekasih yang selalu
bertengkar, kemudian aktor perempuan menjadi kalut, menyeberang jalan hingga
tertabrak mobil. Akhir cerita dapat
dipastikan, kedua pasangan itu rujuk di rumah sakit. Lelucon tentang perbedaan
kecenderungan film India dan film Indonesia yang selalu monoton itulah yang
melandasi Komunitas Film Ksatria Pena untuk membuat karya yang mengandung makna
lebih dalam ketimbang melulu percintaan dan perselingkuhan.
“Sungguh, beberapa film Indonesia utamanya sinetron
itu betul-betul memprihatinkan. Meskipun tidak semuanya buruk, namun contoh
kasusnya lihat saja sinetron setiap sore di tv. Mereka seakan tidak memiliki
tematik lain selain percintaan. Padahal, banyak tema yang bisa digali dan
diangkat dalam film. Minimal, sebuah film dapat membuat penonton merasa
tergugah,” ujar Dimas Aditya Prayudi Rachman, ketua Ksatria Pena diiringi
anggukan teman-temannya.
Apa itu Ksatria Pena? Bagaimana kiprah mereka dalam
dunia perfilman?
Ksatria Pena dibentuk pertama kali pada 10 November 2010. Pada tanggal itu Surabaya memang sedang sangat ramai memperingati hari Pahlawan. Salah satu instansi pemerintah bahkan membuat sayembara film pendek bertemakan kepahlawanan. Sayembara itu disebarkan melalui poster-poster yang ditempel di tembok maupun papan pengumuman kampus. Akhirnya, poster itu sampailah pada Dimas Aditya, salah seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri di Surabaya, yang juga memiliki latar belakang kemampuan dalam bidang film. Membaca sayembara itu ia langsung menghubungi Rizal Rakhmat, kakak kelasnya yang juga mumpuni dalam penguasaan tekhnik video art. Berturut-turut akhirnya diajak pula Robby Febbry, Azizah dan Usman Chaudy. Ketiganya juga merupakan mahasiswa jurusan sastra Indonesia. Ketika berembug, disepakatilah nama komunitas mereka, yakni Ksatria Pena, dan nama itu disodorkan kepada panitia festival. Ksatria merupakan kepanjangan dari Kebersamaan Sastra Indonesia, dimana mereka semua saat itu masih mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia. Pena adalah media mereka dalam berekspresi, bahwa segala sesuatu yang mereka jalankan mulanya berawal dari guratan pena di atas kertas.
Ksatria Pena dibentuk pertama kali pada 10 November 2010. Pada tanggal itu Surabaya memang sedang sangat ramai memperingati hari Pahlawan. Salah satu instansi pemerintah bahkan membuat sayembara film pendek bertemakan kepahlawanan. Sayembara itu disebarkan melalui poster-poster yang ditempel di tembok maupun papan pengumuman kampus. Akhirnya, poster itu sampailah pada Dimas Aditya, salah seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri di Surabaya, yang juga memiliki latar belakang kemampuan dalam bidang film. Membaca sayembara itu ia langsung menghubungi Rizal Rakhmat, kakak kelasnya yang juga mumpuni dalam penguasaan tekhnik video art. Berturut-turut akhirnya diajak pula Robby Febbry, Azizah dan Usman Chaudy. Ketiganya juga merupakan mahasiswa jurusan sastra Indonesia. Ketika berembug, disepakatilah nama komunitas mereka, yakni Ksatria Pena, dan nama itu disodorkan kepada panitia festival. Ksatria merupakan kepanjangan dari Kebersamaan Sastra Indonesia, dimana mereka semua saat itu masih mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia. Pena adalah media mereka dalam berekspresi, bahwa segala sesuatu yang mereka jalankan mulanya berawal dari guratan pena di atas kertas.
Ksatria Pena sebagai Komunitas Film Indie yang baru
terbentuk di Surabaya, dalam sayembara itu tampil membawakan karya film
pendeknya berjudul ‘Menjadi Pahlawan’. Diceritakan, seorang anak kecil sedang
merasakan gegap gempita perayaan hari Pahlawan di Surabaya. Anak kecil itu
mengetahui bahwa dirinya juga memiliki seorang kakek yang tewas dalam medan
pertempuran 10 November 1945. Maka dari itu ia menghampiri neneknya dan
bertanya, mengapa sang kakek tidak mendapat predikat pahlawan dan dimasukkan
dalam buku sejarah? “Diberi gelar atau tidak, yang penting kakekmu pernah
berjuang membela bangsa dengan ikhlas, tanpa pamrih. Ia merupakan pahlawan
meskipun tanpa gelar. Juga, kakekmu adalah seorang pahlawan bagi keluarga besar
kita. Tugasmu, adalah mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh kakekmu
dengan cara belajar yang rajin demi kesehjahteraan bangsa,” ucap sang nenek
yang diperankan oleh Azizah.
‘Menjadi Pahlawan’ sebagai karya film pendek pertama
yang pertama kali mereka hasilkan rupanya mendapat respon dari masyarakat
penikmat film dan dewan juri. Hasilnya, film mereka masuk dalam nominasi film
terbaik dan mendapat juara kategori ide cerita terpuji. “Saat itu kami sangat
bangga karena film itu merupakan karya kami yang pertama kali kami buat,” ujar
Azizah. Alhasil, komunitas mereka semakin dikenal dan banyak pula yang mendaftar
sebagai anggotanya. Tercatat pada 2010, berkat keberhasilan film itu mereka
memiliki anggota aktif sebanyak 26 orang dari berbagai latar belakang, mulai
dari mahasiswa, pelajar Sma hingga para seniman Surabaya.
Tidak berhenti disitu, hingga kini Ksatria Pena
masih aktif dalam berkarya. Tercatat, sudah 4 film yang mereka luncurkan,
selain ‘Menjadi Pahlawan’, adapula film-film berjudul ‘Melawan Ajal’, ‘Yang
Terampas dan yang Putus’, film pendek ‘From Invisible to Unstoppable’ yang
bekerjasama dengan Yodangers, sebuah komunitas fans Yoda ‘Idol’, juga film
berjudul ‘Chaos’ yang mereka garap bersama komunitas Cinematografi Universitas
Airlangga. “Selain film-film pendek, kami juga menerima ratusan pesanan film
seperti video art, video dokumentasi serta video klip band-band lokal Surabaya.
Salah satu band lokal yang cukup populer di Jawa Timur yang pernah menjadi
langganan kami adalah Sekaring Jagad, sebuah band asal Sidoarjo,” papar Ayu
Prasetya.
Annura Wulan, sekretaris Ksatria Pena memaparkan
bahwa tujuan dibentuknya Ksatria Pena adalah selain ingin mewarnai dunia
perfilman, mereka juga ingin menunjukkan karya mereka yang mengandung kedalaman
makna berikut pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan tentang sisi kemanusiaan
menyangkut realitas sosial. “Kami juga tidak begitu saja menuruti selera pasar
yang didominasi dengan kecenderungan untuk menampakkan seksualitas semata tanpa
memperhatikan alur cerita serta parahnya, tidak ada pesan moral yang dapat
diambil,” ujar perempuan 21 tahun itu.
Bagaimana kriteria film yang memadai menurut Ksatria
Pena? “Film yang baik adalah film yang bercerita tentang kemanusiaan, realitas
sosial menyangkut permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
yang kerap tidak kita sadari menjadi hambatan dalam kehidupan sosial masyarakat,”
ujar Dimas Aditya. “Di Indonesia sendiri perkembangan film sudah terlihat
mengalami kemajuan. Ada produser dan sutradara yang memiliki ide cemerlang
tentang film yang berkualitas. Namun kita dapat lihat juga, sebagian pelaku
film memilih menuruti selera pasar dan masih banyak pula produser yang belum
mau mengeksplor kemampuannya untuk menghasilkan film bagus,” tambah Rizal
Rakhmat, wakil Ksatria Pena.
Dari
Riri Riza hingga Usulan Kepada Pemerintah
Plaaaak!! Tamparan mantan istrinya itu hinggap di
pipi Chairil Anwar, sang penyair legendaris Indonesia. Sesaat kemudian Hapsah,
mantan istrinya itu menutup pintu dengan keras. Tinggalah Chairil Anwar seorang
diri. Niatnya minta rujuk dan kerinduan terhadap putri semata wayangnya pupus
sudah. Iapun dengan tegar menaruh sekuntum bunga di depan pintu rumah Hapsah,
berpesan bahwa ia akan pergi keliling dunia lalu pergi meninggalkannya. Sesampainya
di rumah, penyair itu menulis puisi terakhirnya yang berjudul ‘Cemara Menderai
Sampai Jauh’ yang memuat isyarat kematiannya. Benar saja, keesokan paginya ia
ditemukan tewas di kamar sebuah perusahaan percetakan di Jakarta karena
menderita Bronchitis.
Sisi lain kehidupan Chairil Anwar itulah yang
ditampilkan dalam film pendek milik Ksatria Pena yang berjudul ‘Yang Terampas
dan yang Putus’. Dalam film itu diceritakan Chairil Anwar sebagai pribadi yang
sangat manusiawi. Chairil Anwar digambarkan sebagai pecinta yang romantis
sekaligus idealis dan keras kepala, namun berbanding lurus dengan ketajaman
puisi serta kecerdasannya dalam memaknai permasalahan sosial. Film pendek unik
itu pernah diputar pula di Makassar dan dihadiri seniman-seniman serta penggiat
film terkemuka, termasuk Riri Riza. “Film itu dibuat pada tahun 2010.
Produsernya Dimas Aditya, Sutradaranya Gregorius Lennon, sedangkan
aktor-aktornya adalah Imam Mudofar, Azizah, Raras, Annura, Nanda Hadi, Arvin
Ranu, Lintang, Ayu, Putri serta Doni,” ucap Raras Hafidha yang dalam film itu
berperan sebagai Hapsah.
Tak dinyana, setelah film itu diputar dalam parade film
indie di Jogjakarta, Riri Riza menghampiri salah satu aktor, yakni Imam
Mudofar, sang pemeran Chairil Anwar. “Saat itu ia berkata bahwa ia suka dengan
ide ceritanya. Ia kemudian berkomentar panjang-lebar,” ungkapnya. Dalam
kesempatan itu Riri Riza mengungkapkan ketertarikannya pada film itu dan juga
mengajarkan hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat film. “Kami diberi
pengetahuan tentang detail film serta pengolahan setting, juga masalah artistik
film oleh sutradara terkenal itu,” sahut Robby Febry yang dalam film itu
berperan sebagai pengatur laku.
Tentunya mendapat respon baik dari Riri Riza, mereka
semakin bersemangat. Hingga tahun 2012 ini mereka aktif mengadakan kegiatan
diskusi maupun proses pembuatan maupun pemutaran film-film pendek. Saat inipun
anggota mereka telah mencapai sekitar 30 orang. “Kami aktif melakukan pemutaran
film pendek di berbagai wilayah dan gedung kesenian di Surabaya. Tapi sayangnya
perhatian pemerintah terhadap eksistensi komunitas penggiat film indie,
utamanya di Surabaya masih sangat kurang,” pungkas Dimas Aditya.
Ksatria Pena pun berharap, pemerintah dan semua
pihak mendukung eksistensi penggiat film indie di Indonesia, utamanya di
Surabaya agar mereka dapat terus berkarya dan meramaikan jagad perfilman
Indonesia.
Quote
“Jangan melulu mengumbar masalah percintaan,
perselingkuhan apalagi sekedar menampilkan sisi seksualitas semata. Bangsa ini
punya sisi lain yang perlu diangkat ke permukaan. Angkatlah sisi kemanusiaan
serta liriklah tematik-tematik sosial yang tak pernah terpikirkan sebelumnya,
yang mampu menggugah penikmat film untuk peduli terhadap situasi dan kondisi
masyarakat, juga bangsa ini”
Ayu
Prasetya, bendahara Ksatria Pena :
“Ksatria Pena adalah bukti semangat beberapa anak
muda yang peduli, mau melangkah maju dan selalu mencoba untuk memberikan
kontribusi positif dalam dunia perfilman Indonesia”
Robby
Febbry Sugiri, sie artistik Ksatria Pena :
“Ksatria Pena adalah curahan ide dari orang-orang
yang mempunyai imajinasi dan mampu menangkap persoalan-persoalan yang dapat
membuat seseorang merenung memaknai pesan yang hadir dalam setiap karya kami
dan akhirnya dapat tergugah untuk peduli terhadap realitas di sekitarnya”
Rizal
Rakhmat, wakil ketua Ksatria Pena :
“Ayo bangkit perfilman Indonesia! Kami disini sudah
memulai untuk melangkah, maka mari kita bersama-sama melangkah demi kemajuan
perfilman Indonesia. Wujudkan semangat berkesenian dan semangat kepedulian
terhadap sesama maupun bangsa dan negara!”
Annura
Wulan Darini Subandriyo, sekretaris Ksatria Pena :
“Ksatria Pena adalah salah satu dari sekian banyak
komunitas yang peduli terhadap perfilman Indonesia. Kami adalah sekumpulan
orang yang berjuang bersama dalam sebuah wadah positif yang mampu untuk terus
memompa semangat kami dalam berkarya demi eksistensi kami dan kemajuan
perfilman Indonesia”
*Tulisan ini pernah dimuat dalam Surabaya Post edisi 30 Desember 2012
*Tulisan ini pernah dimuat dalam Surabaya Post edisi 30 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar