Nama Komunitas : ASA (Advokasi & Sadar Autisme)
Surabaya
Alamat Komunitas : Jl. Prapen Indah Blok C no.16
Berdiri Sejak : 08 Maret 2012
Ketua : Okky Mia Oktaviani
Anggota : 30 orang
ASA,
Komunitas yang Menuntut Perlindungan Hukum Bagi Para Autisme
Biasanya, kata
‘autisme’ dipakai ketika menyebut lawan bicara yang terlalu asyik bergelut
dengan satu hal, misalnya berlama-lama dengan handphone. “Autis kau!” Pasti
kita sering mengalami maupun mendapati olok-olokan semacam itu bukan? Namun ketika
ditanya, mengertikah kita tentang apa arti dari autisme?
“Dibalik autisme ada
pengorbanan, air mata, kesabaran dan perjuangan yang tak terbatas. Maka jangan
gunakan kata ‘autisme’ sebagai bahan olok-olokan,” keluh Okky Mia Oktaviani,
seorang Ibu rumah tangga yang memiliki dua buah hati pengidap autisme.
Menurutnya, banyak permasalahan-permasalahan seputar autisme yang dirasanya
miris, terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Oky menerangkan bahwa
orangtua yang memiliki anak pengidap autisme adalah orangtua yang sabar, penuh
perjuangan dan kehebatannya tidak tertandingi dengan orangtua manapun di dunia
ini. Oky sendiri merasakan semua itu dan menyaksikan permasalahan-permasalahan
sehari-hari yang menimpa para autisme menyangkut kriminal maupun perlakuan diskriminatif
dari orang-orang di sekitarnya, ironisnya, para autisme belum tersentuh
perlindungan hukum. “Alasan itulah yang membuat saya berinisiatif untuk membuat
komunitas ASA,” tambah Oky.
Apa itu ASA? Dibentuk
pada tanggal 08 Maret 2012 oleh sekumpulan orangtua yang memiliki buah hati
pengidap autisme, juga dari kalangan umum pemerhati autisme dari berbagai latar
belakang. “ASA singkatan dari Advokasi dan Sadar Autisme. Visi misi kami antara
lain ingin membantu pemenuhan hak hidup, tumbuh kembang dan partisipasi para
autisme dalam segala segi kehidupan. Selain itu untuk memberi perlindungan atas
perilaku spesial mereka dalam masa tumbuh kembang dan menjamin masa
depannya,” ujar Asteria. R. Soroinsong,
anggota ASA.
Menurut ASA, apa itu
autisme dan bagaimana ciri para autisme? “Autisme adalah gangguan perfasis otak
yang muncul ketika anak berada dalam kandungan. Biasanya autisme memiliki
gangguan perilaku yang termanifestasi pada perilaku verbal yang sifatnya
obsesif,” ujar Vika Wisnu, anggota ASA yang juga memilliki buah hati pengidap
autisme.
Panjang lebar ASA
memaparkan ciri khas para autisme, diantaranya para autisme memiliki obsesi
terhadap satu hal tertentu. “Misalnya senang pada sebuah benda, maka ia akan
sangat terobsesi dengan benda itu. Selain itu para autisme juga tidak mudah
bersosialisasi dengan masyarakat, apalagi ketika lingkungan masyarakat itu
tidak mendukung,” ujar Luluk Daiyatul Firdausi, anggota ASA. Menurutnya,
autisme tidak dapat disembuhkan, namun bila diberi perhatian dan perlakuan spesial,
maka autisme bisa mengembangkan kemampuannya, bahkan, dalam hal tertentu
kecerdasannya dapat melebihi orang normal.
“Sayangnya perlindungan hukum untuk mereka
masih belum ada. Atas dasar itulah ASA terbentuk. Sudah banyak kasus baik
kriminalitas maupun perlakuan diskriminatif terhadap para autisme,” ujar Dwi
Ananda Amalia, mahasiswi Stikosa yang juga anggota ASA. Apalagi, menurutnya Dwi
pula, ketidaktahuan masyarakat tentang apa itu autisme membuat keberadaan para
autisme tersisih dari masyarakat.
Hukum di Indonesia
sendiri belum mampu memfasilitasi keberadaan para autisme. Dalam hukum kita,
para autisme mau tidak mau mengikuti hukum selayaknya warga negara biasa, tanpa
perlakuan khusus, padahal, autisme adalah sebuah kecenderungan yang tidak memungkinkan
hukum untuk dapat menjamahnya. “Sebelum 18 tahun para autisme masih dilindungi
oleh UU Perlindungan Anak. Setelah 18 tahun, bila mereka terkait kasus hukum,
maka dengan kecenderungan autismenya itu mereka akan dianggap gila dan dimasukkan
rumah sakit jiwa. Disana mereka dipaksa minum obat-obat penenang yang berbahaya,”
ujar Tanti, anggota ASA. Para anggota ASA pun berani menjamin bahwa para
autisme tak pernah secara sengaja melakukan tindak kriminal. “Saya berani
jamin, isi hati dan pikiran para autisme itu tak pernah buruk. Mereka melakukan
suatu hal hanya didasari oleh kecenderungan perilaku obsesifnya,” tambah Okky.
Contoh kasus, beberapa bulan lalu terjadi
kasus seorang anak pengidap autis yang memiliki obsesi pada api. “Semakin
melihat nyala api yang besar, maka ia akan senang. Makanya ia berusaha
menciptakan api dan membakar isi rumah demi obsesinya itu,” terang Lisa
Harwiyanti, anggota ASA. Diterangkannya, kasus itu terjadi di sebuah kota kecil
di pedesaan terpencil di Jawa Timur. Ketidaktahuan masyarakat akan autisme
membuat anak itu dipasung. “Autisme bukan gila dan tidak perlu dipasung. Mereka
hanya membutuhkan perlakuan special dan orangtua serta lingkungan bila
memberikan pembinaan yang baik, maka sifat obsesifnya itu perlahan-lahan bisa dikurangi,”
tamba Cici Esti Nalurani, anggota ASA.
Ada lagi contoh kasus
yang menyangkut para autisme. Diceritakan, terdapat seorang anak autisme yang
terobsesi pada kostum tim basket. Saat masuk ke distro olahraga, ia memakai
kaos basket yang disukainya dan ditunjukkan pada ibunya yang sedang menunggu
diluar. Karena anak itu keluar toko dengan menggunakan kaos basket, iapun
dituduh mencuri. “Alhasil, ia diproses oleh security
pusat perbelanjaan itu. Sampai orangtua, guru dan kepala sekolahnya turun
langsung untuk memberi pemahaman kepada security-security
itu tentang autisme. Sayangnya pihak toko tetap tak mau menerima dan
orangtuanyapun terpaksa membayar sejumlah uang sebagai denda. “ ungkap Asteria.
Dalam perkembangannya,
ASA memiliki banyak kegiatan untuk memberi penyuluhan kepada masyarakat serta
mengajak peran serta pemerintah untuk memperhatikan para autisme, dengan cara
memberi fasilitas perlindungan hukum, pendidikan juga kepastian tentang masa
depan mereka. Selain itu ASA ingin mengajak orangtua untuk mendatakan buah
hatinya yang mengidap autisme, karena untuk pengajuan perlindungan hukum,
haruslah disertakan dengan data yang kongkrit.
Untuk penyuluhan
sendiri, ASA telah melakukannya dengan terjun langsung ke dalam masyarakat,
institusi pendidikan maupun bekerjasama dengan berbagai pihak demi terwujudnya
tujuan mereka. Hingga saat ini, komunitas yang beranggotakan sekitar 40 orang
dari berbagai latar belakang, baik ibu rumah tangga, psikolog, mahasiswa,
hingga praktisi hukum itu terus berjuang menuntut peran pemerintah menyangkut
keberadaan para autisme sekaligus memberi pengertian dan mengedukasi masyarakat
tentang autisme serta bagaimana menciptakan lingkungan yang nyaman bagi para
autisme.
Tokoh
Dunia dari Kalangan Autisme
Pembinaan untuk para
autisme harus dilakukan sejak dini oleh keluarga. Perlakuan terhadap para
autismepun juga berbeda daripada orang normal. Diantaranya, haruslah dibutuhkan
kesabaran yang ekstra karena para autisme terkadang susah untuk bisa fokus
berkomunikasi bila tidak menyangkut sebuah hal yang menjadi obsesinya. Juga,
terapi kesehatan dengan membawa anak autis kepada therapis juga perlu untuk
dilakukan. Dalam hal makanan, para autisme harus menghindari makan-makanan
seperti tepung terigu maupun kasein (zat yang terkandung dalam gula pasir).
“Bila ingin membuat goreng-gorengan, pakai saja tepung beras. Untuk rasa manis,
pakailah gula rendah kalori,” ungkap Oky.
Lantas bila pembinaan
keluarga dapat dilakukan? Bisa sembuhkah pengidap autisme? “Autisme tidak bisa
disembuhkan, namun mereka bisa diarahkan ke hal-hal yang positif maupun
mengalihkan obsesinya kepada hal-hal yang baik,” ungkap Ady Bachtiar, anggota
ASA. Jika berhasil, maka pengidap autisme bisa jadi seorang jenius di
bidangnya. Mau tahu siapa saja tokoh dunia yang berasal dari kalangan autis?
Albert Einstein,
ilmuwan fisika penemu teori relativitas adalah salah satu contoh pengidap
autisme dimana ia sangat terobsesi dengan hal-hal yang berkaitan dengan
angka-angka. Begitu terobsesinya hingga ia mendalami obsesinya itu dan berhasil
menjadi tokoh penting dunia. Dalam
bidang kesenian, kita tentu pernah mendengar Michaelangelo, perupa asal Italia
yang terobsesi akan seni rupa, juga Stephen Whiltshire, seorang pelukis
landscape yang memiliki kemampuan ‘photographic memory’, dimana ketika ia akan
melukis lanskap, ia hanya melihat pemandangan dari atap gedung selama beberapa
detik, kemudian secara ajaib ia mampu melukis detail tata ruang lanskap dalam
kanvas maupun bidang-bidang media melukisnya.
“Jadi autisme itu ada
banyak kecenderungan. Ada yang High Function seperti Einstein, Michaelangelo,
Whiltshire dan sebagainya, adapula yang biasa-biasa saja, juga ada yang kurang.
Namun untuk mengidentifikasi anak yang mengidap autis, pertama kali yang
dilihat adalah tatapan matanya. Bila anak itu memberi tatapan mata pada lawan
bicara hanya beberapa detik, atau bahkan tidak ingin menatap sama sekali alias
tidak fokus, maka bisa jadi anak itu mengidap autisme. Tapi autisme bukan
bencana bagi para orangtua. Mereka hanya butuh perlakuan khusus untuk
mengembangkan kemampuannya, bahkan bukan tidak mungkin seorang autis menjadi
seorang intelektual yang jenius di bidangnya,” pungkas Vika.
Komentar
“ASA,
sesuai namanya, semoga bisa memberikan asa atau harapan bagi para autisme dalam
hal perlindungan, khususnya perlindungan hukum, serta mengedukasi masyarakat
tentang autisme dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi mereka”
“Autis
ini bukan penyakit menular. Autisme hanya perlu dimengerti. Semoga dengan
adanya ASA, masyarakat akan semakin terbantu untuk memahami dan mengerti apa
dan bagaimana autisme itu”
Dwi
Ananda Amalia
“Anak-anak
autis adalah bagian dari kehidupan kita. Mereka pantas untuk mendapatkan
perlakuan serta hak yang sama seperti manusia lainnya. Semoga masyarakat di
Indonesia semakin menyadari dan menerima kehadiran mereka di tengah-tengah
kita”
“Autisme
adalah isu besar. Perlu perhatian berbagai pihak, bukan hanya urusan orangtua dan
terapis. Semoga ASA bisa berkontribusi pada penyadaran tentang autisme untuk
lingkungan yang lebih ramah terhadap mereka”
“Semoga
ASA Surabaya semakin progressif dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi dan advokasi
tentang autisme”
“Jangan jadikan kata ‘Autis’ sebagai bahan olokan, karena dibalik kata tersebut ada pengorbanan, air mata, perjuangan, doa dan kesabaran yang tak terbatas. Mereka-mereka yang tidak memiliki keluarga autis justru harus memberikan apresiasi untuk para autisme”