Rabu, 13 Maret 2013

Komunitas ASA : Komunitas Advokasi & Sadar Autisme









Nama Komunitas        : ASA (Advokasi & Sadar Autisme) Surabaya
Alamat Komunitas      : Jl. Prapen Indah Blok C no.16
Berdiri Sejak               : 08 Maret 2012
Ketua                          : Okky Mia Oktaviani
Anggota                      : 30 orang


ASA, Komunitas yang Menuntut Perlindungan Hukum Bagi Para Autisme

Biasanya, kata ‘autisme’ dipakai ketika menyebut lawan bicara yang terlalu asyik bergelut dengan satu hal, misalnya berlama-lama dengan handphone. “Autis kau!” Pasti kita sering mengalami maupun mendapati olok-olokan semacam itu bukan? Namun ketika ditanya, mengertikah kita tentang apa arti dari autisme?

“Dibalik autisme ada pengorbanan, air mata, kesabaran dan perjuangan yang tak terbatas. Maka jangan gunakan kata ‘autisme’ sebagai bahan olok-olokan,” keluh Okky Mia Oktaviani, seorang Ibu rumah tangga yang memiliki dua buah hati pengidap autisme. Menurutnya, banyak permasalahan-permasalahan seputar autisme yang dirasanya miris, terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Oky menerangkan bahwa orangtua yang memiliki anak pengidap autisme adalah orangtua yang sabar, penuh perjuangan dan kehebatannya tidak tertandingi dengan orangtua manapun di dunia ini. Oky sendiri merasakan semua itu dan menyaksikan permasalahan-permasalahan sehari-hari yang menimpa para autisme menyangkut kriminal maupun perlakuan diskriminatif dari orang-orang di sekitarnya, ironisnya, para autisme belum tersentuh perlindungan hukum. “Alasan itulah yang membuat saya berinisiatif untuk membuat komunitas ASA,” tambah Oky.

Apa itu ASA? Dibentuk pada tanggal 08 Maret 2012 oleh sekumpulan orangtua yang memiliki buah hati pengidap autisme, juga dari kalangan umum pemerhati autisme dari berbagai latar belakang. “ASA singkatan dari Advokasi dan Sadar Autisme. Visi misi kami antara lain ingin membantu pemenuhan hak hidup, tumbuh kembang dan partisipasi para autisme dalam segala segi kehidupan. Selain itu untuk memberi perlindungan atas perilaku spesial mereka dalam masa tumbuh kembang dan menjamin masa depannya,”  ujar Asteria. R. Soroinsong, anggota ASA.

Menurut ASA, apa itu autisme dan bagaimana ciri para autisme? “Autisme adalah gangguan perfasis otak yang muncul ketika anak berada dalam kandungan. Biasanya autisme memiliki gangguan perilaku yang termanifestasi pada perilaku verbal yang sifatnya obsesif,” ujar Vika Wisnu, anggota ASA yang juga memilliki buah hati pengidap autisme.

Panjang lebar ASA memaparkan ciri khas para autisme, diantaranya para autisme memiliki obsesi terhadap satu hal tertentu. “Misalnya senang pada sebuah benda, maka ia akan sangat terobsesi dengan benda itu. Selain itu para autisme juga tidak mudah bersosialisasi dengan masyarakat, apalagi ketika lingkungan masyarakat itu tidak mendukung,” ujar Luluk Daiyatul Firdausi, anggota ASA. Menurutnya, autisme tidak dapat disembuhkan, namun bila diberi perhatian dan perlakuan spesial, maka autisme bisa mengembangkan kemampuannya, bahkan, dalam hal tertentu kecerdasannya dapat melebihi orang normal.

“Sayangnya perlindungan hukum untuk mereka masih belum ada. Atas dasar itulah ASA terbentuk. Sudah banyak kasus baik kriminalitas maupun perlakuan diskriminatif terhadap para autisme,” ujar Dwi Ananda Amalia, mahasiswi Stikosa yang juga anggota ASA. Apalagi, menurutnya Dwi pula, ketidaktahuan masyarakat tentang apa itu autisme membuat keberadaan para autisme tersisih dari masyarakat.

Hukum di Indonesia sendiri belum mampu memfasilitasi keberadaan para autisme. Dalam hukum kita, para autisme mau tidak mau mengikuti hukum selayaknya warga negara biasa, tanpa perlakuan khusus, padahal, autisme adalah sebuah kecenderungan yang tidak memungkinkan hukum untuk dapat menjamahnya. “Sebelum 18 tahun para autisme masih dilindungi oleh UU Perlindungan Anak. Setelah 18 tahun, bila mereka terkait kasus hukum, maka dengan kecenderungan autismenya itu mereka akan dianggap gila dan dimasukkan rumah sakit jiwa. Disana mereka dipaksa minum obat-obat penenang yang berbahaya,” ujar Tanti, anggota ASA. Para anggota ASA pun berani menjamin bahwa para autisme tak pernah secara sengaja melakukan tindak kriminal. “Saya berani jamin, isi hati dan pikiran para autisme itu tak pernah buruk. Mereka melakukan suatu hal hanya didasari oleh kecenderungan perilaku obsesifnya,” tambah Okky.

Contoh kasus, beberapa bulan lalu terjadi kasus seorang anak pengidap autis yang memiliki obsesi pada api. “Semakin melihat nyala api yang besar, maka ia akan senang. Makanya ia berusaha menciptakan api dan membakar isi rumah demi obsesinya itu,” terang Lisa Harwiyanti, anggota ASA. Diterangkannya, kasus itu terjadi di sebuah kota kecil di pedesaan terpencil di Jawa Timur. Ketidaktahuan masyarakat akan autisme membuat anak itu dipasung. “Autisme bukan gila dan tidak perlu dipasung. Mereka hanya membutuhkan perlakuan special dan orangtua serta lingkungan bila memberikan pembinaan yang baik, maka sifat obsesifnya itu perlahan-lahan bisa dikurangi,” tamba Cici Esti Nalurani, anggota ASA.

Ada lagi contoh kasus yang menyangkut para autisme. Diceritakan, terdapat seorang anak autisme yang terobsesi pada kostum tim basket. Saat masuk ke distro olahraga, ia memakai kaos basket yang disukainya dan ditunjukkan pada ibunya yang sedang menunggu diluar. Karena anak itu keluar toko dengan menggunakan kaos basket, iapun dituduh mencuri. “Alhasil, ia diproses oleh security pusat perbelanjaan itu. Sampai orangtua, guru dan kepala sekolahnya turun langsung untuk memberi pemahaman kepada security-security itu tentang autisme. Sayangnya pihak toko tetap tak mau menerima dan orangtuanyapun terpaksa membayar sejumlah uang sebagai denda. “ ungkap Asteria.

Dalam perkembangannya, ASA memiliki banyak kegiatan untuk memberi penyuluhan kepada masyarakat serta mengajak peran serta pemerintah untuk memperhatikan para autisme, dengan cara memberi fasilitas perlindungan hukum, pendidikan juga kepastian tentang masa depan mereka. Selain itu ASA ingin mengajak orangtua untuk mendatakan buah hatinya yang mengidap autisme, karena untuk pengajuan perlindungan hukum, haruslah disertakan dengan data yang kongkrit.

Untuk penyuluhan sendiri, ASA telah melakukannya dengan terjun langsung ke dalam masyarakat, institusi pendidikan maupun bekerjasama dengan berbagai pihak demi terwujudnya tujuan mereka. Hingga saat ini, komunitas yang beranggotakan sekitar 40 orang dari berbagai latar belakang, baik ibu rumah tangga, psikolog, mahasiswa, hingga praktisi hukum itu terus berjuang menuntut peran pemerintah menyangkut keberadaan para autisme sekaligus memberi pengertian dan mengedukasi masyarakat tentang autisme serta bagaimana menciptakan lingkungan yang nyaman bagi para autisme.


Tokoh Dunia dari Kalangan Autisme

Pembinaan untuk para autisme harus dilakukan sejak dini oleh keluarga. Perlakuan terhadap para autismepun juga berbeda daripada orang normal. Diantaranya, haruslah dibutuhkan kesabaran yang ekstra karena para autisme terkadang susah untuk bisa fokus berkomunikasi bila tidak menyangkut sebuah hal yang menjadi obsesinya. Juga, terapi kesehatan dengan membawa anak autis kepada therapis juga perlu untuk dilakukan. Dalam hal makanan, para autisme harus menghindari makan-makanan seperti tepung terigu maupun kasein (zat yang terkandung dalam gula pasir). “Bila ingin membuat goreng-gorengan, pakai saja tepung beras. Untuk rasa manis, pakailah gula rendah kalori,” ungkap Oky.

Lantas bila pembinaan keluarga dapat dilakukan? Bisa sembuhkah pengidap autisme? “Autisme tidak bisa disembuhkan, namun mereka bisa diarahkan ke hal-hal yang positif maupun mengalihkan obsesinya kepada hal-hal yang baik,” ungkap Ady Bachtiar, anggota ASA. Jika berhasil, maka pengidap autisme bisa jadi seorang jenius di bidangnya. Mau tahu siapa saja tokoh dunia yang berasal dari kalangan autis?

Albert Einstein, ilmuwan fisika penemu teori relativitas adalah salah satu contoh pengidap autisme dimana ia sangat terobsesi dengan hal-hal yang berkaitan dengan angka-angka. Begitu terobsesinya hingga ia mendalami obsesinya itu dan berhasil menjadi tokoh penting dunia.  Dalam bidang kesenian, kita tentu pernah mendengar Michaelangelo, perupa asal Italia yang terobsesi akan seni rupa, juga Stephen Whiltshire, seorang pelukis landscape yang memiliki kemampuan ‘photographic memory’, dimana ketika ia akan melukis lanskap, ia hanya melihat pemandangan dari atap gedung selama beberapa detik, kemudian secara ajaib ia mampu melukis detail tata ruang lanskap dalam kanvas maupun bidang-bidang media melukisnya.

“Jadi autisme itu ada banyak kecenderungan. Ada yang High Function seperti Einstein, Michaelangelo, Whiltshire dan sebagainya, adapula yang biasa-biasa saja, juga ada yang kurang. Namun untuk mengidentifikasi anak yang mengidap autis, pertama kali yang dilihat adalah tatapan matanya. Bila anak itu memberi tatapan mata pada lawan bicara hanya beberapa detik, atau bahkan tidak ingin menatap sama sekali alias tidak fokus, maka bisa jadi anak itu mengidap autisme. Tapi autisme bukan bencana bagi para orangtua. Mereka hanya butuh perlakuan khusus untuk mengembangkan kemampuannya, bahkan bukan tidak mungkin seorang autis menjadi seorang intelektual yang jenius di bidangnya,” pungkas Vika.

Komentar

 
Luluk Daiyatul Firdausi
“ASA, sesuai namanya, semoga bisa memberikan asa atau harapan bagi para autisme dalam hal perlindungan, khususnya perlindungan hukum, serta mengedukasi masyarakat tentang autisme dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi mereka”






 


Cici Esti Nalurani
“Autis ini bukan penyakit menular. Autisme hanya perlu dimengerti. Semoga dengan adanya ASA, masyarakat akan semakin terbantu untuk memahami dan mengerti apa dan bagaimana autisme itu”

 
 
 
 
 
 
 
 
Dwi Ananda Amalia
“Anak-anak autis adalah bagian dari kehidupan kita. Mereka pantas untuk mendapatkan perlakuan serta hak yang sama seperti manusia lainnya. Semoga masyarakat di Indonesia semakin menyadari dan menerima kehadiran mereka di tengah-tengah kita”




 

Vika Wisnu
“Autisme adalah isu besar. Perlu perhatian berbagai pihak, bukan hanya urusan orangtua dan terapis. Semoga ASA bisa berkontribusi pada penyadaran tentang autisme untuk lingkungan yang lebih ramah terhadap mereka”





 


Asteria. R. Soroinsong
“Semoga ASA Surabaya semakin progressif dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi dan advokasi tentang autisme”






 


Okky Mia Oktaviani
“Jangan jadikan kata ‘Autis’ sebagai bahan olokan, karena dibalik kata tersebut ada pengorbanan, air mata, perjuangan, doa dan kesabaran yang tak terbatas. Mereka-mereka yang tidak memiliki keluarga autis justru harus memberikan apresiasi untuk para autisme”



5 komentar:

  1. izin re-post ya mas dimas...

    BalasHapus
  2. Apa boleh numpang iklan, mas Dimas?

    BalasHapus
  3. Boleh mas. Hubungi saja saya lewat email: guruh_dimas@yahoo.co.id
    nanti akan saya beri cp saya. trims.

    BalasHapus
  4. mas mau nanyak mengenai workshop 10 Maret 2017

    BalasHapus