R. Boediharjo (paling kanan) |
Biodata
Nama :
R. Boediharjo
Tempat tanggal lahir : Jogjakarta, 10 Juni 1937
Istri : (Alm) Sri Untari
Riwayat Pendidikan :
-
Sekolah Rakyat Kalasan, Jogjakarta
-
SMP 5, Jogjakarta
-
SMA Institut Indonesia 2, Jogjakarta
-
APPI (Akademi Pimpinan Perusahaan
Indonesia)
Karier :
-
1960-1968 : Pegawai PN Pertani (Persero), Semarang, Jawa Tengah
-
1969-1970 : Pegawai Slumberger, proyek Pengeboran Pertamina, Surabaya
-
1970-1986 : Pegawai PT Udatin, assembling mobil, Surabaya
-
1990-2001 : Aktif di Organisasi Sosial Masyarakat
-
2004 :
Anggota Panitia Pemilihan Umum tingkat kec
amatan
-
2005 :
Ketua lansia RW Manukan Tama, Surabaya
Riwayat Klub Sepakbola :
-
1957-1958 : POK Kalasan
-
1959-1960 : Jogjakarta Putra, P.S Brawijaya
-
1960-1963 : PORIP, Purbalingga, Jawa
Tengah
Prestasi :
-
Juara 1 Piala Segitiga di Ciamis, dengan
Jogjakarta Putra
-
Juara 3 Kabupaten Banyumas, dengan PORIP
Terapkan
Kedisiplinan Sebagai Pola Hidup!
“Saya
masih ingat, Timnas Indonesia dulu pernah menahan imbang timnas Rusia pada
Olimpiade sepakbola. Ketika itu usia saya sekitar 20 tahun,” ujarnya sambil
mengingat kejayaan sepakbola Indonesia masa lalu pada pertandingan Olimpiade.
Ketika itu Rusia yang notabene adalah raksasa sepakbola dengan kiper legendarisnya,
Lev Yashin, berhasil ditahan imbang oleh timnas Indonesia dengan skor 0-0.
Sebagai mantan
olahragawan sepakbola, maka tidaklah mengherankan bila sampai detik ini ia
aktif mengamati perkembangan sepakbola Indonesia. Dialah R. Boediharjo, mantan
olahragawan Jogjakarta yang ketika muda pernah bergabung dengan klub sepakbola
professional, yakni Jogjakarta Putra sekaligus P.S Brawijaya; sebuah klub yang
berada di bawah naungan PSIM (Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram).
Tidaklah mengherankan,
sebagai mantan olahragawan sepakbola professional, Boediharjo hingga kini
tampak segar bugar dan sehat walafiat. Rupanya olahraga rutin adalah salah satu
kuncinya, selain kedisiplinan yang diterapkan pada kehidupan dan pola makannya.
Ketika diwawancarai oleh Surabaya Post, ia bersedia untuk membeberkan kunci
sehatnya. Bagaimana kisahnya?
“Disiplin dalam
menerapkan pola hidup, menyangkut pola makan. Perbanyak minum air putih,
hindari konsumsi daging berlebihan, apalagi jeroan. Itu tidak menyehatkan,”
ungkap suami (Alm) Sri Untari, ahli tata rias nasional itu. Boediharjo juga
menerangkan bahwa ia memperbanyak minum air putih setiap harinya. “Saya
menghabiskan ini sebanyak 4 botol perhari,” ucapnya sembari menunjukkan botol
air mineral ukuran sedang. Selain itu ia juga melarang keras konsumsi alkohol
karena menurutnya dapat merusak kesehatan.
Boediharjo juga
menerangkan bahwa disiplin pola hidup, menyangkut pola makan diterapkannya
sejak tahun 1964. Ia menerangkan bahwa sejak tahun 1964 ia memutuskan menjadi
vegetarian untuk menjaga kesehatannya. “Konsumsi sayur itu baik untuk
kesehatan. Sayur mengandung banyak vitamin, juga kandungannya dapat membuat
seseorang bisa tampak awet muda. Buktinya, saya sekarang tidak terlihat seperti
umur 70 ke atas, bukan?,” ujar Bapak 5 anak itu sambil tertawa.
Kebiasaan berolahraga
juga diterapkannya hingga kini. Ia mengaku sejak tahun 1981, ia memiliki
kegiatan rutin bersepeda pancal setiap dua minggu sekali. Selain itu ia juga
rutin berolahraga, jalan kaki setiap pagi selama 1 jam sehari. “Saya melakukan
rutinitas itu hingga kini karena saya yakin dengan berolahraga, tubuh akan
menjadi sehat dan segar bugar,” ujar mantan pegawai pengeboran minyak Pertamina
itu.
Kegemaran utamanya
selain berolahraga adalah bersosialisasi. Tercatat, sejak tahun 1970 hingga
2005 ia aktif bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan, yakni sebagai RT
maupun RW di daerah Manukan Tama, Surabaya. “Dengan bersosialisasi, saya bisa
melihat karakter masyarakat dari berbagai latar belakang. Selain bisa jadi media
pembelajaran bagi kita, kita bisa lebih membina persaudaraan, kerukunan dan
sebagainya. Catat, bersosialisasi juga merupakan salah satu dari pola hidup
sehat. Manusia kan mahluk sosial,” ujar ketua RW Manukan Tama itu.
Kalau
Timnas Ingin Berprestasi, Tanamkan Semangat Nasionalisme!
Aktif di olahraga
sepakbola sejak tahun 1957 dan berposisi sebagai bek kiri membuat Boediharjo
tahu banyak tentang tekhnik-tekhnik bermain sepakbola. Kepada saya ia
membeberkan tips untuk menjadi bek kiri yang baik. “Bek haruslah punya postur
tinggi, rajin mengawal pergerakan lawan dan sebisa mungkin jangan melakukan
kesalahan. Disiplin tim harus diterapkan, tak boleh individual dan yang
penting, turuti instruksi pelatih,” ujarnya.
Disinggung mengenai
kemunduran timnas Indonesia, kakek 4 cucu itu menyebutkan bahwa dari sisi
pemain, stamina pesepakbola Indonesia sangat kurang. Ia kerap melihat dari
tayangan televisi bahwa pemain timnas Indonesia kurang solid dalam melakukan
koordinasi tim. “Mereka harus sesering mungkin melakukan latihan fisik dan
lebih memperhatikan koordinasi tim. Mereka bermain dalam tim, bukan
individual,” kritiknya.
Boediharjo juga
memaparkan perbedaan antara pesepakbola jaman dulu dan sekarang. Menurutnya,
pesepakbola jaman dulu tidak hanya fokus pada tekhnik, melainkan memiliki rasa
sportivitas tinggi, juga nasionalisme. Para pesepakbola jaman dulu tidak
memburu materi atau honorarium dan sebagainya, namun berdasarkan kecintaan
terhadap sepakbola dan Indonesia. “Pemain sepakbola jaman sekarang kan beda.
Mereka kebanyakan memburu honor, nasionalismenya kurang dan sepakbola seakan
sekedar dibuat keren-kerenan. Kalau ingin berprestasi, tanamkan semangat
nasionalisme!,” ujar mantan punggawa P.S Brawijaya itu.
Pesepakbola jaman dulu
dengan kriteria yang telah dijelaskan oleh Boediharjo memang sarat dengan
prestasi membanggakan. Pada Olimpiade sepakbola 1956, Indonesia dibawah asuhan
Toni Pogacknik secara mengejutkan berhasil menahan imbang timnas Rusia. Saat
itu Indonesia diperkuat oleh nama-nama seperti Tjiang Thio Him, Chairuddin
Siregar dan lain-lain. “Saat itu usia saya masih 19 tahun. Saya tahu benar
ketika itu Indonesia menahan imbang Rusia. Padahal, atlet sepakbola saat itu
sebenarnya bukanlah orang yang benar-benar berlatarbelakang atlet, melainkan orang
dari berbagai latar belakang yang mencintai sepakbola dan mencintai Indonesia,”
ujarnya. Seperti diketahui, para pemain timnas pada tahun 1956 terdiri dari
berbagai latar belakang, seperti pegawai negri, karyawan swasta dan lain-lain.
Berbagai momen indah
ditorehkan Indonesia selama masa jayanya dulu. Selain menahan imbang Rusia di
perempat final Olimpiade, Indonesia juga pernah meraih medali emas SEA Games
maupun Perunggu Asian Games. Menurut Boediharjo pula, dukungan rakyat Indonesia
kepada timnas saat itu begitu besar. “Pokoknya saat itu rasa nasionalisme
sedang gencar-gencarnya. Dukungan penuh didapat timnas dari seluruh rakyat
Indonesia yang begitu ingin nama bangsanya harum di mata dunia,” ujar mantan
ketua lansia RW Manukan Tama, Surabaya, itu.
Pada jaman ketika
timnas Indonesia sedang mentereng, tentu Boediharjo juga punya atlet sepakbola
idola. Disinggung mengenai idolanya, Boediharjo dengan mantap menjawab Rusli
Ramang, striker timnas Indonesia asal Sulawesi, salah satu pemain yang terpilih
sebagai starting line up pada saat
timnas menahan imbang Rusia. “Dia striker hebat yang memiliki naluri untuk
mencetak gol,” ujarnya. Bagaimana dengan pemain belakang idola? “Mahyadi
Panggabean dari Sriwijaya F.C. Dia pemain belakang yang disiplin dalam menjaga
pergerakan lawan,” tambahnya.
Mengapa sekarang timnas
Indonesia minim prestasi? Disodori pertanyaan seperti itu, Boediharjo tampak
menghela nafas panjang. “Yah, waktu itu PSSI belum ada dualisme. Semua pihak
dapat bekerjasama demi kemajuan bangsa, tanpa kepentingan apapun,” ujarnya.
Minimnya prestasi dan
carut marut kepengurusan PSSI membuat Boediharjo merasa prihatin. Dirinya rindu
dengan kejayaan timnas Indonesia di masa lalu, dimana semua pihak turun untuk
mendukung penuh timnas Indonesia. “Yah, semoga semua persoalan cepat
terselesaikan. Pesan saya kepada seluruh pemain, pelatih maupun pengurus:
jangan memperdagangkan sepakbola,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar