Mengapa
setiap manusia
Menghina
kehidupannya
Mencari
nafkah hidupnya
Sebagai
seorang pramuria
(Kisah Seorang Pramuria, The Mercy’s)
Penggalan lirik
tersebut mungkin cukup untuk menyadarkan kita semua, sekaligus menunjukkan
betapa ironisnya menjadi seorang pramuria. Menjadi pramuria, apakah itu
pekerjaan yang diharapkan oleh pelakunya? Tentu saja siapapun takkan mau
menjual kehormatan juga harga dirinya demi meraup keuntungan dengan melakoni
pekerjaan tersebut. Sayang, di negara yang katanya gemah ripah loh jinawi ini
ternyata jauh panggang dari api. Tuntutan ekonomi telah nyata-nyata memaksa
masyarakatnya untuk melakukan apa saja, melakoni pekerjaan apa saja demi sesuap
nasi.
Dolly, siapapun pasti
tak asing dengan nama itu. Lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara yang konon
telah berdiri sejak jaman kolonial dan mulai dikenal oleh masyarakat sejak
tahun 1966 tersebut hingga kini menjadi lahan untuk mencari nafkah bagi ribuan
orang, mulai dari PSK,Mucikari,PKL,Tukang becak,pemilik warkop,pemilik
parkir,dan lain sebagainya. APBD Surabaya tentu mendapat pemasukan yang besar
pula. Lokalisasi yang terletak di Jalan Putat, Surabaya itu telah dikenal
namanya di berbagai tempat.
Bertahun-tahun sudah
usia lokalisasi Dolly di Surabaya dan menjelma menjadi lokalisasi yang
melegenda bahkan di seluruh Indonesia. Setelah bertahun-tahun pemerintah
membiarkan lokalisasi itu berdiri tegak, maka pada pemerintahan Walikota Tri
Rismaharini, digulirkanlah wacana untuk menutup lokalisasi Dolly. Sebagai
kompensasi, para PSK dan Mucikari akan diberi dana sebesar lima juta rupiah
plus pelatihan ketrampilan selama tiga hari. Tentu keputusan pemerintah itu
mengundang reaksi pro-kontra dari masyarakat. Kontan, protes paling keras dilakukan
oleh seluruh elemen di lokalisasi Dolly, mengingat, lokalisasi itu telah
menghidupi mereka, sekaligus menghidupi denyut nadi perekonomian Surabaya
selama berpuluh-puluh tahun.
Dua orang PSK dari
Dolly, mereka memperkenalkan nama samaran mereka, yakni Ida dan Titin,
menyatakan bahwa mereka menolak keras usulan ditutupnya lokalisasi Dolly.
Alasannya, kompensasi yang diberikan pemerintah masih belum cukup untuk dapat
menunjang kehidupannya kelak jika Dolly sudah ditutup. “Pemerintah menjanjikan
para PSK dan Mucikari disini akan mendapatkan dana kompensasi sebesar lima juta
rupiah. Mereka pikir, apa duit segitu
cukup untuk biaya hidup kami setelah lokalisasi ini ditutup? Saya punya
keluarga yang butuh makan, butuh kiriman uang setiap bulannya. Anak saya juga
masih sekolah. Hutang saya juga banyak. Saya bisa menghidupi keluarga dari
pekerjaan ini. Jika ditanya, apakah saya mau menjadi PSK? Sebenarnya saya tidak
mau, tapi keadaanlah yang memaksa saya,” ujar Ida.
Senada, Titin juga
mengatakan bahwa selama ini, lokalisasi Dolly selalu mengikuti ketentuan
pemerintah. “Dulu pemerintah meminta dilakukan pemeriksaan kesehatan rutin
selama dua minggu sekali, kami selalu aktif. Pemerintah memberi penyuluhan,
kami selalu hadir. Jika sekarang pemerintah mengusulkan akan menutup lokalisasi
tempat saya mencari nafkah selama ini, dengan sangat menyesal saya akan
menolak,” ujar perempuan yang mengaku berasal dari Kediri dan telah memiliki
enam orang anak yang masih bersekolah itu.
Bagaimana dengan
pelatihan ketrampilan yang diberikan pemerintah? Ida dan Titin berkata bahwa
mereka mengikuti pelatihan ketrampilan yang diberikan oleh pemerintah.
Ketrampilan merajut, tata rias, tata boga, membuat handycraft dan lain-lain itu selalu tak pernah absen mereka ikuti.
“Tapi pelatihannya cuma berlangsung selama tiga hari. Apa yang didapatkan
peserta hanyalah tekhnik dasar. Mana ada pelatihan yang hanya dilakukan selama
tiga hari dapat membuat kita bisa terampil dan mandiri? Nol besar,” ujar Ida
yang juga diamini oleh Titin.
Pernahkah Ibu Walikota
turun langsung untuk mensosialisasikan penutupan lokalisasi Dolly di hadapan
seluruh stakeholder lokalisasi? Kedua
perempuan itu mengaku bahwa Tri Rismaharini pernah melakukan beberapa kali
penyuluhan, namun hanya kepada PSK dan mucikari saja. Saat itu, Ida mengaku
bahwa ia sempat mendebat Ibu Walikota dan membuat pejabat nomor satu di
Surabaya itu diam seribu bahasa. “Saya bilang kepada Ibu Walikota bahwa beliau
hanya melihat pada permukaan saja. Beliau tidak pernah mengerti kondisi di
dalam lokalisasi itu seperti apa. Lalu saya bilang kepada Bu Walikota,
bahwasanya kami setuju lokalisasi ditutup, asalkan tiap-tiap kami diberi
kompensasi sebesar lima puluh juta rupiah untuk modal usaha. Jika hanya diberi
lima juta rupiah dan pelatihan selama tiga hari, itu sama saja omong kosong,”
ujarnya. Menurut penuturan Ida, Bu Risma saat itu terlihat bingung dan tidak
bisa berkata-kata.
Alasan Tri Rismaharini
untuk menutup Dolly adalah ketakutan adanya trafficking
dan potensi timbulnya berbagai permasalahan kesehatan, juga karena adanya
penindasan yang dilakukan mucikari terhadap PSK. Setelah dikonfirmasi kepada
Ida dan Titin, mereka menolak alasan-alasan walikota itu. “Pemerintah sudah
melarang adanya PSK baru di lokalisasi ini. Itu kami patuhi. Sekarang juga bisa
dicek langsung. Pemerintah takut akan masalah kesehatan, padahal, kami selalu
rutin mengikuti tes kesehatan dan cek darah yang dianjurkan pemerintah selama
dua minggu sekali. Tentang penindasan? Penindasan macam apa? Memang kami
mempunyai hutang kepada mucikari dan kami membayarnya melalui pekerjaan kami
ini. Mucikari tidak pernah memeras kami untuk segera membayar hutang dan
sebagainya. Bila kami bekerja dan hutang berhasil dilunasi, kami boleh
bertindak sesuka kami kok. Mau tetap
bekerja sebagai PSK ya tidak apa-apa, mau keluar dari pekerjaan dan pulang ke
kampung halaman juga tidak mengapa. Kami tidak merasakan penindasan,” ujarnya.
“Satu-satunya perasaan
tertekan yang setiap kali kami alami hanyalah sebuah keterpaksaan untuk
melakoni pekerjaan PSK seperti ini. Tapi Tuhan tahu, ini tuntutan ekonomi, bila
tidak seperti ini, anak kami mau dikasih makan apa? Saya yakin Tuhanpun tahu,
bilamana kami sudah cukup memiliki tabungan, ekonomi kami membaik, kamipun akan
berhenti dari pekerjaan seperti ini,” tambah Ida.
Jeritan yang Tak Pernah Didengar
“Ibu saya adalah
seseorang yang umurnya lebih dari enam puluh tahun dan sampai sekarang beliau
menghidupi anak-anaknya dari pekerjaan sebagai buruh cuci dan ngemong bayi di lokalisasi ini,” ujar
Yoyok, salah seorang pegawai sebuah wisma di Dolly. Menurutnya, jika lokalisasi
ditutup, maka bukan hanya PSK dan Mucikari semata yang dirugikan, melainkan ada
ribuan orang yang akan kehilangan penghidupan, termasuk Ibunya.
Yoyok menuturkan bahwa
setiap hari, ibunya menjadi buruh cuci dan merawat bayi atau anak-anak dari
para PSK yang dititipkan kepadanya. “Setiap hari, menjelang PSK bekerja, para
PSK itu banyak yang menitipkan anak-anaknya pada Ibu saya. Dari pekerjaan itu,
ibu saya bisa mendapat penghasilan sebesar satu setengah juta sebulan,”
tambahnya. Bertahun-tahun sudah Ibunya melakoni pekerjaan semacam itu. Yoyok
sendiri selepas lulus sekolah juga bekerja sebagai pegawai di sebuah wisma di
Dolly dan iapun bisa menghidupi keluarganya dari pekerjaannya itu.
Selain Yoyok, ketua RW
di lokalisasi yang juga sempat diwawancarai menyebutkan bahwa selain
buruh-buruh kecil, pedagang kaki lima juga akan terkena dampak penutupan dolly.
“Di setiap wisma terdapat rombong-rombong
kecil pedagang rokok. Mereka mengandalkan pemasukan sehari-hari dari berjualan
rokok di tiap wisma itu. Jika ditutup, mereka mau makan apa? Itu masih PKL;
belum buruh cuci, buruh masak, buruh ngemong
bayi, buruh kebersihan, tukang becak, pemilik warung sampai tukang parkir.
Pemerintah hanya berpikir satu sisi saja, padahal selain PSK dan pemilik wisma,
bahkan pasar yang ada di belakang kawasan ini juga akan terkena dampaknya.
Dengan kata lain, akan banyak sekali yang dirugikan dengan usulan penutupan
itu,” ungkapnya.
Seorang mucikari yang
juga sempat diwawancarai juga mengungkapkan kekecewaannya. “Kurang apa kami
menuruti pemerintah? Kami juga menjamin bahwa tidak ada PSK baru di lokalisasi
ini sesuai anjuran pemerintah. Kontrol kesehatan juga selalu diikuti oleh para
PSK. Pemakaian kondom juga merupakan sesuatu yang wajib. Bila pemerintah mau
menutup tempat ini, tolong dipastikan bahwa pemerintah juga punya solusi yang
jitu. Bukan hanya sekedar menutup, tapi perhatikan pula nasib orang-orang yang
menggantungkan hidupnya dari lokalisasi ini. Bila disebut penindasan, dari cara
seperti apa kami para mucikari ini menindas PSK? Bila PSK kami beri hutang dan
kemudian ia tidak mau membayarnya dengan cara, misalnya kabur, kami bisa apa?
Banyak kejadian seperti itu. Bila kami mencari para PSK yang kabur karena belum
membayar hutang dan memaksanya untuk melunasinya, mereka bisa melapor ke polisi
dengan tuduhan pemerasan, penindasan, pelanggaran HAM dan ujung-ujungnya kami
juga yang kena. Dari sisi manapun
kami ini sudah tidak bisa berbuat banyak. Bila sampai ditutup, kami mau
dikemanakan?” ujarnya.
Itulah jeritan-jeritan
yang telah berhasil dikumpulkan. Apakah akan didengar? Entah kapan kita akan
mengetahui jawaban dari pertanyaan itu.
Secuil
Harapan Untuk Penguasa
Dapat dipastikan,
seluruh elemen lokalisasi Dolly dan sekitarnya menolak usulan penutupan yang
digagas oleh pemerintah Surabaya yang menurut rencana akan disahkan pada
tanggal 19 Juli 2014. Entah apa yang akan terjadi dalam waktu dekat ini, kita
semua tidak mengetahuinya; yang jelas, komunikasi antara pemerintah dan seluruh
stakeholder lokalisasi sangat
diperlukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Bukan sekedar marah
ataupun pasrah, tentu seluruh elemen lokalisasi memiliki secuil harapan pada
pemerintah. Bila para PSK mengharapkan solusi yang pasti seperti pembiayaan
kebutuhan hidup, pelunasan hutang serta pekerjaan tetap yang dapat menjaga
dapur rumahnya tetap ngebul. Para
PSK-pun memastikan bahwa bila lokalisasi benar-benar ditutup dan solusi yang
diberikan tidak sepadan, maka mereka akan mencari tempat lain untuk menjajakan
diri demi kebutuhan ekonomi, sekalipun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Maka sama halnya pula
dengan harapan para elemen masyarakat sekitar, mulai dari mucikari, PKL, buruh
cuci, buruh ngemong bayi, buruh
memasak, tukang parkir, pemilik warung dan sebagainya. Mereka kompak menyatakan
bahwa pemerintah haruslah memiliki solusi yang benar-benar jitu yang bisa
menjamin kehidupan mereka setelah penutupan dilakukan.
“Jika Bu Risma menutup
lokalisasi dengan tidak memberikan solusi yang pasti, maka ia hanya akan
menjadi germo intelektual yang akan membiarkan prostitusi tumbuh subur di
berbagai tempat di Surabaya. Hal itu akan lebih mengotori wajah kota ini,” ujar
Yoyok.
Lilik Sulistyowati,
yang juga akrab dipanggil Vera, sebagai ketua yayasan Abdi Asih yang menampung
dan membina para PSK serta pengidap HIV/AIDS turut angkat bicara. Ia mengatakan
bahwa yayasan Abdi Asih butuh waktu selama berbulan-bulan untuk memberi bekal bagi
para mantan PSK yang ingin hidup mandiri tanpa berkecimpung di dunia prostitusi
dengan pelatihan ketrampilan seperti menjahit, tata rias, tata busana dan
sebagainya. “Jadi tidak mungkin hanya dengan pelatihan selama tiga hari oleh
pemerintah dapat membuat para PSK ataupun mucikarinya bisa membuat usaha sendiri
setelah penutupan dilakukan. Keterampilan itu butuh waktu yang tidak cukup
hanya tiga hari. PSK yang berhasil dibina oleh yayasan Abdi Asih saja butuh
waktu berbulan-bulan untuk memiliki bekal pengetahuan yang cukup dan bisa
mandiri,” ungkap perempuan yang memasuki usia enampuluh tahun itu, yang juga
sangat menyesalkan bahwa pemerintah kurang melibatkan LSM-LSM terkait serta
seluruh elemen dalam upaya penutupan lokalisasi.
Lebih lanjut, para
narasumber juga mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah giat melakukan komunikasi
yang betul-betul ideal, bukan hanya sekedar pengarahan dan penyeruan penutupan
semata. “Pernah kami diundang oleh salah satu instansi pemerintah, namun
sesampainya disana, kami seperti mendengarkan radio, setelah siarannya selesai,
kami pulang ke rumah masing-masing. Undangan saat itu katanya sosialisasi,
diskusi, nyatanya, cuma koar-koar soal penutupan tanpa ada sesi tanya jawab dan
semacamnya. Kamipun kecewa,” ujar ketua RW.
Untuk itu, para
narasumber mengatakan bahwa mereka memiliki harapan kepada pemerintah untuk
memperpanjang waktu penutupan. Mereka menyatakan bahwa mereka setuju lokalisasi
ditutup dengan syarat pemerintah memberikan solusi yang tepat, seperti memberi
kompensasi yang layak kepada semua pihak, juga memberikan pelatihan kepada
semua elemen lokalisasi yang tidak hanya berlangsung tiga hari, melainkan dalam
hitungan tahun. “Kami butuh pelatihan untuk kemandirian itu dalam hitungan
tahun, entah satu tahun atau dua tahun atau berapa; setelah kami bisa mandiri
dan pemerintah bisa memastikan bahwa kami bisa hidup layak tanpa terjun dalam
dunia prostitusi, maka kami akan menyetujui usulan penutupan ini,” ungkap
seseorang dari para narasumber tersebut.
Bagaimana bila
pemerintah tetap bersikeras untuk menutup lokalisasi dalam tenggat waktu yang
telah ditentukan? Para narasumber yang juga mewakili berbagai elemen lokalisasi
itu serentak menjawab,
“Kami akan melawan
dengan cara apapun,”
Menyusul
jawaban-jawaban lain yang terlontar dari para narasumber:
“Karena usulan tersebut
dapat membuat keluarga kami kehilangan sandang-pangan, maka apalagi yang akan
kami perbuat selain melawan?”
“Jangan bertanya soal
kesatuan pendapat kami sebagai masyarakat yang hidup dalam kawasan lokalisasi ini. Pemerintahlah yang berupaya menindas kami. Lebih baik
melawan sekalipun kami sadar bahwa kami harus melawan penjajah yang berasal
dari bangsa kami sendiri”
Sekali
lagi, dengarkan
inilah
ironi
dari
sebuah negri yang katanya gemah ripah loh jinawi* Tulisan ini adalah hasil penelitian lapangan dari tugas mata kuliah Gender & Seksualitas, Program Pascasarjana Kajian Budaya, Universitas Airlangga.
* Kontributor: Yuni Kuswidarti, Muhammad Zamroni, Nuke Ladyna
* Foto diambil dari berbagai sumber di google.
Semoga tempat spt ini tidak ada lagi untuk selamanya haha
BalasHapusNonton film comedy
Download film comedy