Angin berdesir melewati dedaunan padi yang mulai tampak menguning. Suara-suara cangkul membentur tanah. Tawa dan canda para petani mengiringi keseharian masyarakat di sebuah desa yang terbentuk dari keberagaman.
Jalan setapak beraspal harus dilalui untuk masuk ke dalam desa tersebut. Sungguh harus berhati-hati karena walaupun beraspal, lubang disana-sini cukup dalam; bila kurang waspada, pengendara motor bisa tergelincir.
Jalan yang berlubang cukup parah tersebut berbanding terbalik dengan kondisi hubungan sosial di desa yang nyaris mulus tanpa cela. Dalam beberapa tahun terakhir bahkan tak sekalipun muncul masalah yang berpotensi membuat benturan antar personal ataupun antar komunitas dalam kehidupan masyarakat desa. Harmoni dalam keberagaman. Itulah wajah Desa Balun yang biasa disebut Desa Pancasila. Balun dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia yang bisa menjadi bukti bahwa kehidupan bermasyarakat dalam naungan ideologi luhur Pancasila bukan sekedar utopia.
Balun adalah sebuah desa di tepian kota Lamongan. Kondisi tanah yang subur untuk bercocok-tanam menjadikan masyarakat Balun tumbuh dengan budaya komunal yang lekat dengan semangat gotong-royong dan guyub-rukun dalam kesehariannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya tiga komunitas pemeluk agama di desa tersebut, yakni masyarakat pemeluk Islam sebagai mayoritas, kemudian pemeluk Kristen dan Hindu.
Di Balun pula terdapat tiga rumah ibadah yang cukup besar dan saling berdampingan. Masjid Miftahul Huda berdiri megah disamping Pura Sweta Maha Suci; tepat di depan, berdirilah Gereja Kristen Jawi Wetan.
Sekalipun hidup dalam masyarakat yang berbeda keimanan, mereka dipersatukan dalam satu cawan kehidupan sosial. Sisi kemanusiaan terbangun dari kultur sosial masyarakat desa Balun yang semakin menegaskan bahwa wilayah transenden adalah ruang pribadi masing-masing. Ramah, saling menyapa, saling membantu adalah kebiasaan sehari-hari tanpa memandang perbedaan.
Bagaimana toleransi di Balun dapat terbentuk? Rupanya sejarah panjang, bahkan diantaranya kelam, telah mewarnai lika-liku perjalanan menuju terciptanya keharmonisan di desa Pancasila.
Bermula dari peristiwa berdarah di tahun 1965. Balun adalah sebuah daerah yang pada tahun tersebut terkena imbas peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober/G30S) dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit.
"Tahun 1965 tidak lama setelah Gestok, masyarakat Balun hidup dalam ketakutan. Bagaimana tidak, seluruh perangkat desa diciduk hingga akhirnya desa ini menjadi desa komplang, desa tanpa ada aparat pemerintahan," ungkap Mbah Jamal, sesepuh Balun yang juga salah satu warga pemeluk Hindu.
Pembunuhan, pembantaian terjadi di Balun. Siapa saja yang terlibat dalam PKI dapat dipastikan akan kehilangan nyawa. Semua berlangsung dengan penuh ketegangan dan rasa was-was.
"Hingga akhirnya datang seorang tentara bernama Pak Bati. Beliau ini anggota Angkatan Darat, putra asli Balun yang kebetulan pulang ke kampung halaman setelah beberapa tahun berdinas di Papua. Beliau inilah yang memberikan rasa aman dan memelopori semangat toleransi antar umat beragama di desa Balun," kata Mbah Jamal.
Kakek tua berusia hampir 90 tahun itu mengisahkan bahwa kedatangan Pak Bathi ke kampung halamannya waktu itu akhirnya membawa suasana kondusif.
"Pak Bati berbicara kepada orang-orang yang datang menggeruduk desa Balun karena kasus Gestok. Beliau menjamin bahwa Balun telah aman dan bersih dari anasir PKI. Bahkan beliau memberi peringatan kepada kelompok-kelompok itu, bila masih tidak percaya dan nekad datang kembali untuk membuat kekacauan, maka Pak Bati akan mengerahkan kawan-kawan tentaranya satu peleton untuk menghalau mereka," tambah Mbah Jamal.
Seusai Balun menjadi aman dan tenteram, Pak Bati berencana untuk kembali ke Papua, tempatnya berdinas di Angkatan Darat. Namun, seluruh warga desa memintanya untuk tetap tinggal di daerah Balun dan diminta untuk memimpin sebagai kepala desa. Akhirnya dengan semangat ingin mengabdi pada tanah kelahirannya, Pak Bati meminta ijin pada institusinya agar ia menetap di Balun dan menjadi pemimpin disana. Institusinya menyetujuinya dan untuk menghormati proses demokrasi, Pak Bati ingin diadakan pemilihan kepala desa.
"Akhirnya saat itu diadakan pemilihan kepala desa. Calonnya ada dua. Pak Bati terpilih menjadi Kepala Desa. Saat itulah desa Balun mulai menyusun kembali struktur pemerintahan desa setelah sekian lama terjadi kekosongan," ungkap Ngarijo, tokoh masyarakat sekaligus pemuka agama Hindu di Pura Sweta Maharani Suci.
Saat Pak Bati memimpin desa Balun, muncullah keputusan dari pemerintah pusat agar setiap aparatur desa di Indonesia giat menyosialisasikan kembali Pancasila sebagai dasar negara yang wajib dipatuhi dan falsafahnya diamalkan oleh seluruh rakyat. Penduduk mulai didata untuk dibuatkan KTP. Pada kolom agama, masyarakat wajib memilih satu dari lima agama yang diakui negara.
"Saat itu di Balun, selain agama Islam, aliran kepercayaan seperti Jawa Wisnu, Sapta Darma, Kawisnan, Rasa Sejati dan lain-lain cukup dominan dianut oleh masyarakat. Pada 1967 aliran-aliran tersebut tidak diakui oleh negara. Maka dari itu sesepuh-sesepuh kami dahulu mencari agama apa yang dekat dengan kepercayaan mereka. Akhirnya, didapatkan kesimpulan bahwa Hindu merupakan agama yang cocok. Berkembanglah disini agama Hindu," tutur Ngarijo yang juga merupakan penduduk asli Balun.
Pada waktu itu di Balun terdapat sebuah lapangan yang disebut alun-alun Balun. Disekitarnya terdapat lahan kosong yang cukup luas. Mengingat keberagaman masyarakat Balun yang berbeda keyakinan, serta untuk memfasilitasi ibadah para pemeluk agama, Pak Bati akhirnya berinisiatif membangunkan masjid di sebelah barat alun-alun. Berdiri berdampingan, dibangunkan sebuah Pura sebagai tempat ibadah umat Hindu.
Pak Bati sendiri adalah Nasrani yang taat dan saat itu di Balun terdapat pula pemeluk-pemeluk Kristen. Maka dari itu di sebelah timur dibangunlah sebuah gereja Kristen Jawi Wetan. Posisinya berhadapan dengan masjid dan Pura.
Di Balun pula, Pak Bati membentuk Rukun Tetangga, sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang ada di struktur paling dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Awalnya, hanya beberapa RT yang terbentuk dan hingga kini di Balun telah ada sekitar delapanbelas RT, masing-masing terdiri dari seratus KK. Pak Bati tak lelah menekankan kepada warganya agar senantiasa rukun walaupun berbeda latar belakang keimanan.
"Selain peran Pak Bati sebagai Kepala Desa, toleransi masyarakat Balun terbentuk dari kultur agraris yang membuat masyarakat hidup dalam budaya komunal dan akrab dengan alam. Kami disini hidup dengan keakraban dan semangat persaudaraan. Di satu sisi, toleransi semakin tumbuh berkembang karena adanya faktor pernikahan dan hubungan darah antar sesama warga," tutur Sutrisno, warga asli Balun yang juga seorang tokoh Nasrani setempat.
"Jadi tidak heran, di setiap KK, seringkali terdapat sebuah keluarga dengan agama berbeda-beda. Ada yang orangtuanya Islam, anaknya Kristen, anaknya yang kedua Hindu. Atau warga Kristen, punya hubungan kekerabatan dengan warga pemeluk Hindu dan Islam. Banyak sekali disini," tambah Sutrisno yang juga guru sekolah negeri di Lamongan.
Pak Bati sebagai Kepala Desa yang memelopori terciptanya keharmonisan di Balun, pada akhirnya dipanggil Tuhan pada tahun 2002. Namun, meskipun Pak Bati telah tiada, kepala desa penerusnya tetap dapat meneruskan semangat Pak Bati dalam menjaga kerukunan warganya. Seperti yang dicontohkan Bapak H.Khusairi, Kepala Desa Balun saat ini, beliau tidak segan untuk mengunjungi warganya dan selalu datang setiap ada hajatan maupun perayaan-perayaan hari besar keagamaan.
Malam Natal 2017 di Balun, seusai diadakan misa, diadakanlah ramah tamah antar warga dan pemerintah desa. Kepdes H.Khusairi bahkan memberikan sambutannya di dalam podium gereja GKJW Balun. Dalam sambutannya itu, ia menekankan bahwa toleransi di Balun sudah sangat bagus dan cukup sesuai dengan semangat Pancasila.
"Assalamualaikum, Om Swasty Astu, Shalom. Selamat Hari Natal saudara-saudaraku. Saya tidak ragu untuk mengucapkan selamat Natal, karena saya yakin ini yang terbaik bagi kita semua," tandasnya yang diikuti oleh gemuruh tepuk tangan warga dan juga umat Kristiani setempat.
Dalam perayaan Natal itu, H.Khusairi juga menekankan bahwa sebagai warga yang toleransinya terbangun dengan baik, tak usahlah sesama warga antar pemeluk agama membahas tentang agama, atau berdebat tentangnya; karena perdebatan yang demikian, bisa memicu perpecahan.
"Tak usahlah kita menafsiri yang lain; toleransi kita cukup bagus. Mari kita pertahankan," tambahnya.
"Assalamualaikum, Om Swasty Astu, Shalom. Selamat Hari Natal saudara-saudaraku. Saya tidak ragu untuk mengucapkan selamat Natal, karena saya yakin ini yang terbaik bagi kita semua," tandasnya yang diikuti oleh gemuruh tepuk tangan warga dan juga umat Kristiani setempat.
Dalam perayaan Natal itu, H.Khusairi juga menekankan bahwa sebagai warga yang toleransinya terbangun dengan baik, tak usahlah sesama warga antar pemeluk agama membahas tentang agama, atau berdebat tentangnya; karena perdebatan yang demikian, bisa memicu perpecahan.
"Tak usahlah kita menafsiri yang lain; toleransi kita cukup bagus. Mari kita pertahankan," tambahnya.
Di Lamongan, terdapat tradisi 'rewang', yakni tradisi para warga untuk membantu salah satu penduduk yang mempunyai hajatan. Seperti misalnya seorang warga mengadakan hajatan pernikahan, maka ibu-ibu tetangga akan membantu memasak di dapur, para lelaki akan membantu memasang terop, tenda dan sound system. Balun sebagai bagian dari Lamongan lekat pula dengan tradisi rewang. Yang unik, bila ada pernikahan salah satu warga, misalnya pemeluk Hindu, maka sudah biasa bila terlihat pemandangan ibu-ibu berkerudung dan ibu-ibu dari kalangan Nasrani ikut membantu memasak di dapur. Setiap hajatan pula ketiga pemuka agama dari agama masing-masing datang menghadirinya. Tidak ketinggalan Pak H.Khusairi sebagai kepala desa. Bahkan, merekapun turut pula mengantar pengantin masuk ke dalam Pura. Para pemeluk Hindu mengadakan prosesi pernikahan, sedangkan pemeluk agama lain datang dan menyaksikan.
Di kalangan muda-mudi Balun, toleransi juga terjaga dengan baik. Karang Taruna di tempat mereka banyak diisi oleh muda-mudi lintas agama. Mereka mengadakan kegiatan bersama, berkumpul bersama dan menjaga kekompakan diantara mereka. Tidak jarang, ketika ada perayaan hari besar agama tertentu, remaja dari pemeluk agama yang lain akan membantu menjaga perayaan tersebut.
"Ketika kami mengadakan shalat Ied atau shalat hari besar lainnya, muda-mudi Kristen dan Hindu membantu dalam sisi keamanan, mengatur parkir dan lalu-lintas kendaraan. Sebaliknya, jika saudara Kristen atau Hindu mengadakan perayaan, maka kami pemuda-pemudi dari lintas agama juga selalu kompak saling membantu," ujar Herman, anggota Karang Taruna dan Remaja Masjid setempat.
Bagaimana para pemuda di Balun dapat menjaga toleransi di desanya?
"Kenapa harus tidak rukun? Kita sama-sama manusia. Perbedaan keyakinan tak pernah membuat kita melupakan persaudaraan. Dalam Islam, cinta dan keramahtamahan kepada sesama begitu kuat tertanam dalam agama kami. Mewujud dalam Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Jadi tidak ada alasan untuk tidak rukun," tambah Herman.
Apakah tidak ada secuilpun persinggungan atau masalah diantara pemuda-pemudi Balun?
"Pernah. Tapi itupun hanya masalah pertandingan sepakbola. Tidak ada yang namanya main fisik. Cuma saling melempar komentar saja. Sorenya, sudah ngopi bareng di warung. Hahaha.." pungkas Herman sambil tertawa.
"Pernah. Tapi itupun hanya masalah pertandingan sepakbola. Tidak ada yang namanya main fisik. Cuma saling melempar komentar saja. Sorenya, sudah ngopi bareng di warung. Hahaha.." pungkas Herman sambil tertawa.
Badai di tahun '65 telah usai. Gelap berganti cerah. Matahari membuat kerlip pelangi mewarnai langit Balun. Setiap hari doa-doa dipanjatkan untuk sebuah ketentraman, kesejahteraan dan keharmonisan. Begitulah hari-hari di Balun, sebuah desa miniatur Indonesia yang bergerak dinamis, harmonis dalam bingkai Pancasila. Dari generasi ke generasi, masyarakat di desa ini hidup dalam suasana saling menghormati dan bertenggang-rasa. Pak Khusairi, Pak Sutrisno, Pak Ngarijo, Mbah Jamal, Herman adalah beberapa dari sekian banyak orang yang berperan dalam menopang pelangi itu.
Jika pergi ke Balun, udara Pancasila begitu segar tercecap dalam panca indera. Ketika keluar dari Balun, maka jalan setapak kembali dilewati. Kembali ditemui jalan penuh lubang. Balun nyatanya lebih Indonesia dari keadaan diluar Balun yang juga masih ada di wilayah Indonesia. Sekeluar dari Balun, udara harmoni tercium samar. Diluar Balun adalah tempat dimana Pancasila sekedar hafalan anak-anak sekolah, sekedar jargon di tengah kebencian bagi siapa saja yang berbeda keyakinan atau pilihan politik, sekedar diyakini sebagai kearifan masa lalu tanpa pernah ada yang mau berusaha melebarkan sayap Garuda demi menaungi kehidupan Nusantara. Tubuh dan sayap Garuda ada di Balun, setengah bulunya saja yang memayungi daerah diluar Balun.
Samar-samar, bayang Mbah Jamal tetua desa kembali menyeruak. Sebuah pesan persatuan dari bibir seorang sepuh yang kenyang pengalaman:
"Kalau kami-kami ini sudah tiada, anak cucu diharapkan dapat tetap mampu untuk menjaga kerukunan di Balun. Sebab jika sampaikan konflik antar umat beragama pecah, maka pemerintahan akan berantakan".
DonacoPoker Agen Poker Online Terbaik
BalasHapusDonacoPoker memberikan kesempatan kepada anda untuk menikmati segala kemudahan dan kenyamanan bermain yang tidak bisa Anda dapatkan disitus-situs lainnya. Seperti :
1. Deposit via OVO
2. Pelayanan yang sangat memuaskan
3. Mau withdraw berapa pun pasti dibayarkan
4. Menyediakan 7 permainan dalam 1 user ID
5. Banyak Promo menarik
Nah, cukup banyak kan keuntungan yang anda dapat kan. Jadi tunggu apalagi, segera bergaubung bersama kami yuk :
WHATSAPP : +6281333555662
atau langsung di Livechat kami www(titik)donacopk(titik)com
>>>DAFTAR<<<
Poker Online Indonesia