Cari Blog Ini

Kamis, 04 Juni 2020

Review Mie Sedap Rasa Mie Ayam


Pertandingan adu enak di antara para fans Indomie dan Mie Sedap memang tidak ada habisnya. Banyak dari mereka yang habis-habisan mengidolakan mie instant kesukaannya itu.

Dalam kesempatan ini saya tidak memihak siapapun, karena saya merupakan penggemar mie instant merek apapun dan pada dasarnya saya merupakan penggila mie, juga lebih tepatnya masa pandemi ini membuat saya nganggur, maka tidak ada salahnya jika saya mengisi waktu dengan menulis review tentang Mie Sedap rasa Mie Ayam.

Dari kemasan, bumbu dan sebagainya sebenarnya tidak ada keistimewaan tertentu. Mie Sedap tetap menambahkan bumbu seperti biasa dan bawang goreng yang lebih banyak dari merek indomie. Tekstur mie-nya pun tebal, yang merupakan ciri khas dari Mie Sedap. Tak heran mie instant dengan berat 92 gram ini cukup membuat kenyang; namun saya pribadi lebih suka mengonsumsi mie instant dua porsi sekaligus.

Perbedaan bumbu terletak pada kecapnya. Mie Sedap rasa Mie Ayam ini memasukkan kecap jenis kecap asin untuk menguatkan rasa mie ayam. Bumbu minyaknya pun dibuat sedemikian mirip dengan minyak yang biasa digunakan oleh para penjual mie ayam asli.

Jika berbicara rasa, karakter rasa yang coba dibuat semirip mungkin dengan Mie Ayam ini kurang begitu kuat; yang membuatnya sedikit mirip bisa jadi dari minyak dan kecap asinnya, namun secara keseluruhan, mie ini rasanya hampir sama dengan rasa original ala mie sedap.

Di tengah segala pendapat, biar bagaimanapun haruslah tetap diapresiasi karena inovasi berani dari Mie Sedap dalam bereksplorasi rasa. Tidak salah apabila para pecinta mie harus mencicipinya, untuk merasakan pengalaman menikmati aneka ragam rasa mie instant yang semakin inovatif dan kompetitif dalam hal eksplorasi rasa.

Senin, 18 Mei 2020

Bikkhu Misterius dan Wastafel Rumahku



Ketika siang, apalagi sedang libur panjang seperti ini, aku selalu meluangkan waktu utk jalan-jalan di perumahan samping kampungku yang terdapat taman cukup luas. Ketika sedang asyik jalan-jalan, di bangku kecil di bawah pohon rindang duduklah seorang plontos berpakaian kain terusan coklat. Dia bhikku. Aku yakin! Kulitnya hitam legam, matanya sayu namun auranya teduh. Ketika aku melewatinya, ia tersenyum menyapa; tentu kubalas pula sapanya; lalu aku memberanikan diri untuk duduk di dekatnya, berbasa-basi sedikit, lalu mengajaknya bercakap,

"Dalam situasi dimana segalanya dibatasi, tentu anda sebagai bikkhu nggak begitu kaget, ya.. karena anda sudah terbiasa menyepi, bermeditasi, dan menahan segala nafsu serta amarah".

Bikkhu itu tersenyum simpul. Tangan kanannya menepuk lututku.

"Berbahagialah kamu. Dalam keadaan sesulit apapun, termasuk saat ini, kamu pasti selalu menemukan jalan keluar. Banyak bantuan atau kesempatan bagus yang datang tiba-tiba"

"Holy John Lennon! Mengapa anda bisa menerka sedemikian rupa? Apakah berkaitan dengan karma baik seperti dalam ajaran Buddha?"

"Ya, tapi ada satu hal.. ada karma baik yang sering kamu lakukan, tapi tanpa kamu sadari.. dan karma itulah yang membuahkan hasil berupa pertolongan dari segala kesulitan-kesulitanmu".

Aku berpikir sejenak. Karma baik apa yang pernah kulakukan? Paling pol seminggu belakangan ini cuma mentraktir kopi pada pak tua penjual keset di warkop langganan yang tiap sore selalu mampir. Itupun nggak sering2 banget. Karena penasaran aku bertanya,

"Karma baik dalam bentuk apa yang saya tidak sadari namun sering saya lakukan?"

Bikkhu itu kembali tersenyum, lalu menjawab,

"Di dalam rumahmu ada wastafel di pinggir kamar mandi, menghadap ke arah utara. Betulkah?"

"Demi Ozzy Osbourne!, betul sekali yang bikkhu katakan!"

Tangan kanannya beralih memegang pundak kiriku.

"Bukan jarang, tapi sering sekali kamu menolong semut atau serangga bersayap yang basah. Kau angkat hewan itu dengan menggunakan kuku ibu jarimu ini lalu kau letakkan di tempat yang kering," katanya sambil memegang ibu jariku.

Demi Steven Tyler yang maha mbois! Betul!, kataku dalam hati.

"Jika tidak kau selamatkan, hewan-hewan kecil itu akan mati terhisap lubang wastafel".

Segala puji ke hadirat Janis Joplin dewi rock and roll!! apa yang dikatakannya memang pernah kulakukan!

"Karma baik atas merekalah yang selama ini menolongmu. Jangan bosan untuk melakukan itu. Yang kau tanam, itulah yang kau tuai".

Aku terdiam. Sebenarnya aku tak tahu harus membahas tentang apa lagi. Sekian lama aku diam, lalu tiba-tiba muncul satu pertanyaan diluar permasalahan soal karma itu. Belum sempat aku mengungkapkannya, bikkhu itu seperti dapat menebak isi pikiranku, dan tiba-tiba ia berkata,

"Sama, dik. Begitupula pandemi ini. Saat ini sebenarnya dunia sedang masuk dalam perputaran karma. Manusia sedang menuai. Pandemi ini akan memakan waktu lama, tapi pasti akan selesai. Kemudian di lain waktu adharma kembali terjadi, saat itu pula manusia kembali menuai. Perputaran akan terus berlangsung".

Aku terheran-heran, terperangah, kaget, bercampur jadi satu, sampai kemudian lagi-lagi bikkhu itu dapat dengan tepat menebak isi pikiranku. Dengan halus ia menyuruhku pulang karena hari ini aku belum memberi makan ikan-ikan peliharaanku di aquarium. Akupun segera berpamitan.

"Sabbe satta bhavantu sukhitatta," ujar bikkhu itu sambil mengatupkan kedua tangannya. Aku mengangguk dan mengatup kedua tanganku, lalu aku bergegas pulang.

Di rumah, setelah memberi makan ikan dan mandi sore, aku bergegas kembali untuk menemui bikkhu itu. Bahkan namanya, asalnya, tempat tinggalnya, belum sempat kutanyakan padanya. Tetapi ketika aku sampai ke bawah pohon tempat beliau duduk tadi, bikkhu itu sudah tidak ada disana. Aku sempat bertanya pada beberapa orang, bahkan pada petugas perumahan. Salah satunya malah ketawa sambil meledek,

"Sampeyan itu ngelindur, mas.. mana ada warga sini yang jadi biksu!"

Jadilah selama setengah hari ini aku dibuat heran. Memang banyak pelajaran yang aku dapatkan dari bikkhu itu di siang ini, tapi siapa dia? Mengapa warga tak satupun mengenalnya? Apakah tidak mencolok ada bikkhu berkepala plontos, berpakaian kain terusan coklat sedang berjalan-jalan di perumahan lalu duduk di bangku kecil di bawah pohon? Mengapa tak ada seorangpun yang tahu? 

Ah, mungkin warga sedang kena pandemi rabun.. atau bikkhu itu adalah seorang linuwih.. dan semoga kelak aku bertemu dengannya lagi. Aku jadi percaya bahwa ada orang-orang tertentu di muka bumi ini yang kedatangannya selalu membawa pesan dan nasehat positif kepada siapa saja yang ditemuinya. 

Semoga semua mahluk berbahagia.

Kamis, 27 Februari 2020

Kembang Kuning : Muara Seribu Cerita Surabaya



Siang yang tak terlalu terik dan wisata sejarah yang tak biasa telah berlangsung hari ini, di tengah hingar-bingar kota Surabaya yang di salah satu sudutnya kami dapat menggali kisah dalam ribuan nisan yang berjajar di komplek makam Kembang Kuning, Surabaya. Pemandu perjalanan kami adalah Mas Ipung Dhahana Adi, penulis 'Surabaya punya Cerita' yang dikenal sebagai Surabayais tulen dan kerap menjadi jujugan para peneliti dari dalam dan luar negeri.

Bilik bekas Sinagog

Di depan Makam Yahudi
Tidak banyak yang tahu bahwa Kembang Kuning adalah komplek pemakaman plural, mulai dari makam Kristen, Tionghoa, Islam, bahkan Yahudi. Di bagian pojok sebelah utara terdapat komplek pemakaman Yahudi, juga sebuah bilik bekas Sinagog dengan Bintang Daud (Star of David) di atapnya. Di makam tersebut terdapat nisan Charles Murssy, ayah dari Irwan Murssy, suami artis Maia Estianty. Rupa-rupanya Charles Murssy adalah konglomerat yang pernah mendanai perjuangan Republik ini dalam menghadapi agresi sekutu ketika perang mempertahankan kemerdekaan. Ia dulu merupakan pengusaha pemasok mobil import. Rumahnya di masa kini menjadi gedung Bank Mandiri di kawasan Jl.Pemuda, Surabaya. Jadi saya sendiripun baru tahu ada makam Yahudi dan ada seorang Yahudi yang ternyata pernah berjasa bagi tanah air. Nama Charles Murssy mungkin tidak pernah disebutkan dalam materi pelajaran Sejarah, mungkin karena belum banyak yang tahu atau bisa juga tidak disebut karena mungkin penulis-penulis sejarah merasa panas dingin jika mengetahui ke-yahudi-an beliau.

Halaman makam Mbah Karimah
Masuk ke arah selatan, mas Dhahana Adi menunjukkan kegiatan pengembangan ekonomi kreatif warga setempat berupa pengeringan dan pengolahan bunga-bunga kamboja kering untuk bibit parfum dan berbagai kegunaan lainnya.
Masuk lebih dalam lagi terdapat makam Islam dan makam Mbah Karimah, mertua Sunan Ampel. Konon, Kembang Kuning ini memiliki hubungan dengan Kembang Putih, Tuban, karena menurut berbagai literasi, Kembang Kuning (Kambang Kuning) dan Kembang Putih (Kambang Putih) pernah tercatat sebagai kota pelabuhan besar di tanah Jawa. Jika para sesepuh kampung menunjukkan bahwa terdapat jejak selasar-selasar yang pernah dilalui air atau sungai pada masa lalu, maka saya meyakini bahwa Kembang Kuning merupakan salah satu jalur toll laut yang pernah dibangun di era Majapahit, seperti yang tercantum dalam literatur-literatur peninggalan kerajaan terbesar itu; dan dapat diperkirakan pula bahwa dari sinilah proses Islamisasi di tanah Jawa bermula.

Ereveld
Kami juga berkunjung ke makam Ayub Abdul Djalal, seniman populer yang dikenal dengan tubuh tambunnya dan pernah membintangi beberapa film layar lebar, termasuk 'Inem Pelayan Seksi'. Selain Ayub, adapula makam maestro musik Toni Kerdijk, penggagas sekolah musik pertama di Surabaya yang juga guru dari Mus Mulyadi dan Dara Puspita. Di Kembang Kuning pula kami menjumpai makam Everdina Bruring yang dalam nisannya tertulis Everdina Soetomo, istri dari Dr.Soetomo, tokoh pergerakan nasional Indonesia.

Sebelum menuju makam Belanda, kami mengamati patung Alfred Emile Rambaldo, penerbang Belanda yang membuka jalur penerbangan pertama kali di Jawa, yang kemudian tewas karena kecelakaan balon udara. Kami juga menjumpai monumen walikota kedua Surabaya pada jaman kolonial, yakni G.J Dijkerman. Tugu monumen itu terletak di tengah komplek makam Kembang Kuning, dengan patung malaikat diatasnya. Monumen itu digunakan sebagai peringatan bahwa beliaulah yang membuka lahan pemakaman Kembang Kuning pada era kolonial Belanda.

Perjalanan kami berlanjut ke Ereveld, komplek makam kehormatan Belanda. Disana kami disambut oleh Bu Audrey, seorang wanita indo-jerman, pengelola Ereveld yang banyak menceritakan kisah dibalik keberadaan jasad yang terkubur dalam ribuan nisan yang berjumlah hampir limaribuan. Diantara banyaknya nisan, saya sempat heran karena terdapat jajaran nisan dengan nama yang sama. Ketika saya tanyakan pada Bu Audrey, ternyata kesamaan nama itu adalah nama marga dari beberapa orang dalam satu keluarga yang terbunuh dalam kamp konsentrasi Jepang. Di sudut Ereveld juga terdapat tugu peringatan limabelas marinir Belanda yang tenggelam saat agresi Jepang, dan ditengah-tengahnya terdapat tugu peringatan Karel Doorman, pemimpin angkatan laut Belanda yang gugur dalam pertempuran Laut Jawa.
Selain bercerita tentang sejarah, Bu Audrey juga menunjukkan proses pembuatan nisan-nisan makam, juga berbagi ilmu lettering untuk menuliskan huruf secara manual pada nisan maupun bendera-bendera penghias karangan bunga yang digunakan para peziarah.

Monumen Karel Doorman

Tepat dihadapan komplek makam Ereveld, terdapat satu-satunya makam Islam di tengah makam Nasrani dengan nama Roro Hadiningsih, yang di dalam batu nisannya tertulis sebagai korban kekejaman pasukan Dai Nippon. Mas Dhahana Adi menceritakan bahwa Roro Ningsih ini meninggal saat hendak diperkosa tentara Jepang. Entah meninggal karena dibunuh atau bunuh diri, tidak ada yang tahu.

Makam Roro Ningsih
Sore ini saya, juga para pengajar IC School serta para anak didik, memiliki kebanggan tersendiri karena sekolah kami tercatat sebagai sekolah pertama yang menjajal rute B Ereveld Surabaya atas kreasi dari Mas Dhahana Adi dan teman-teman Gekraf Jatim. Kami semua mendapat banyak pelajaran dari studi wisata Kembang Kuning. Mas Dhahana Adi dan Bu Audrey telah menjelaskan banyak pada kami. Tak hanya faktor kesejarahan saja, melainkan dari Kembang Kuning kita juga bisa mengetahui betapa Surabaya sebagai kota besar dapat menerima segala perbedaan yang ada. Tanah Surabaya adalah tanah kemajemukan. Kultur masyarakatnya yang keras, ceplas-ceplos namun ramah menyimpan segala keunikan yang bisa dirasakan oleh siapa saja yang berkunjung. Walhasil, walaupun sedikit lelah karena perjalanan yang cukup panjang, namun kami puas. Tak terkecuali Pak Ubaid yang bersemangat, Pak Huda yang tetap sumringah walaupun sambil menahan sakitnya lima buah bisul yang tumbuh di ketiak kirinya, juga cerianya gadis-gadis guru muda: Yuni dan Bella.

Di tengah mendung yang mulai membuka diri pada matahari, tampak Kak Dita guru ekonomi, berseri-seri dengan kerudung coklat kayu manisnya. Seorang guru ekonomi yang cerah ceria sedang berjalan mengiringi perjalanan anak-anak didik, rasanya di setiap langkahnya segala teori ekonomi runtuh. Aku membayangkan bila Dita memegang kuasa dan mengakhiri dominasi ekonom pria di seluruh dunia...
Karena terlalu lama memperhatikan Dita, aku baru sadar jika aku kurang ngopi. Maklum, pagi tadi aku hanya sempat menikmati setengah gelas saja. Seusai acara kudatangi sebuah warkop yang penjualnya kepo dan bertanya,

"Mas, onok acara opo kok ngajak siswa nang kembang kuning? Golek togel ta?"

Aku hanya tertawa kecil, lalu menerangkan sedikit padanya tentang kesejarahan Kembang Kuning, seperti yang diceritakan oleh Mas Dhahana Adi dan Bu Audrey. Pemilik warung itu terperangah. Seperti halnya diriku, rupanya ia juga baru tahu bahwa Kembang Kuning adalah muara seribu cerita tentang Surabaya.

(Guruh Dimas Nugraha - 26/02/20)