Cari Blog Ini

Jumat, 07 Desember 2012

Professor Josef Glinka, Pastur 40 cucu: Penolong Pasutri yang Sulit Memiliki Keturunan




BIODATA

Nama                           : Josef Glinka SVD., Msc., PhD., DSc.
Tempat / Tgl / Lahir      : Chrorzow, 07 Juni 1932
Alamat                         : Soverdi St Arnoldus, Jl. Polisi Istimewa 9, Surabaya
Nama Ayah                  : Konrad
Nama Ibu                     : Elisabeth
Nama Adik                  : Joachim, Michael

Riwayat Pendidikan  
-          Seminari Tinggi di Serikat Saverdi (SVD), Pieniezno, Polandia
-          Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia
-          Universitas Boleslaw Bierut, Wroclaw, Polandia
-          Universitas Jegiello, Krakow, Polandia
-          Universitas Johannes Guttenberg, Mainz, Jerman

Pengalaman                 :
-          1957-sekarang              : Rohaniawan Katolik
-          1962-1964                   : Chludowo, Polandia, Pengajar biologi dan ilmu tanah
-          1964-1964                   : Seminari Tinggi SVD, Polandia, dosen filsafat alam hidup
-          1966-1985                   : Dosen Seminari Tinggi Ledalero, Flores
-          1972-1975                   : Dosen tamu di Universitas Nusa Cendana, Flores
-          1972-1979                   : Guru besar Antropologi Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta
-          1983-1983                   : Dosen tamu di universitas Johannes Guttenberg, Mainz, Jerman
-          1985-sekarang             : Guru besar Antropologi Universitas Airlangga, Surabaya




Jauhi Makanan Berlemak dan Tetap Produktif Berkarya Tulis

Usianya sudah 80 tahun namun tetap bersemangat dan enerjik. Kerap kali pakar antropologi itu mengutarakan pikiran-pikiran tajam, dan ketika ditanya tentang masa mudanya, ia menceritakan kisah perjalanan hidupnya secara detail, nyaris tak ada satupun yang terlewatkan.

Ialah Josef Glinka, pastor yang juga guru besar Antropologi Universitas Airlangga itu mengutarakan resep sehatnya. “Selama ini saya hanya mengurangi makanan berlemak dan memperbanyak makan sayur dan buah-buahan. Selain itu tidak ada yang saya lakukan kecuali membaca dan menulis. Saya juga heran, mengapa saya bisa panjang umur,” ujarnya sambil tertawa. Dengan nada bercanda, romo Glinka mengutarakan bahwa ia sering bergaul dengan lingkungan anak-anak muda, makanya ia tetap awet muda dan panjang umur.

Membaca dan menulis adalah kegiatannya di waktu senggang. Setelah menarik diri dari aktifitas mengajarnya sejak 2010, kini setiap bulan ia aktif menulis di majalah Katolik. Ia juga akan menerbitkan buku yang ditulis bersama para pakar antropologi yang memuat dua penelitiannya. Penelitiannya yang pertama berjudul ‘Antropologi Nusa Tenggara Timur’, yang kedua berjudul ‘Variasi Manusia di Indonesia Dilihat dari Segi Lingkungan dan Genetika’. Selain itu, ia akan menerbitkan buku yang berjudul ‘100 tahun serikat SVD di Indonesia’ dalam bahasa Polandia, yang akan diterbitkan di Polandia. “Saya melakukan penelitian terhadap dokumentasi yang terkumpul sejak berdirinya Serikat Saverdi di Indonesia tahun 1913. Selain itu karena saya telah tinggal di Indonesia selama 47 tahun, maka pengamatan yang saya lakukan selama itu akan saya tulis pula,” ujar pria yang pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1965 itu.

Aktifitas menulis itu tak lepas dari latar belakang pendidikannya yang tinggi dan kecintaannya terhadap Indonesia. Ia menjelaskan bahwa ia sendiri yang memilih tempat penugasannya di Indonesia. Alasannya, karena ia memiliki paman yang juga seorang Pastur, bertugas di Indonesia pada 1938. “Umur saya masih 6 tahun ketika melepas keberangkatan Paman menuju Indonesia. Saat disana paman sering menulis surat, bercerita tentang Indonesia. Saya menjadi tertarik, sampai akhirnya pada tahun 1964 ada seorang Romo bernama Josef Diaz Viera datang ke Polandia untuk meminta 20 sukarelawan datang ke Indonesia, saya ikut dalam rombongan 20 orang itu,” tandasnya. 

Selama di Indonesia, sebelum penugasannya dari Flores, ia berkenalan dengan pakar antropologi anatomi bernama Adi Sukadana dan setelah penugasannya di Flores usai, ia kembali ke Surabaya dan bersama Adi Sukadana, ia mengajar di jurusan Antropologi Universitas Airlangga yang baru dibuka. Ia juga membangun dan memimpin studi keilmuan Antropologi Ragawi. Hingga sekarang Pastor Glinka aktif menulis artikel antropologis tentang Indonesia.

Selain dikenal sebagai pastor dan pakar Antropologi, ia juga merupakan polyglot, yakni seseorang yang menguasai banyak bahasa, diantaranya Polandia, Jerman, Perancis, Inggris, Latin, Yunani, Ibrani, Belanda, dan Indonesia. Bahasa-bahasa yang dikuasainya dipelajari ketika ia kuliah. Bahasa Indonesia dikuasainya setelah beberapa tahun bertugas di Indonesia. Sedangkan bahasa Polandia dan Jerman, dikuasainya sejak masa kanak-kanak. “Kebetulan rumah saya di Polandia adalah wilayah perbatasan Polandia-Jerman, dimana disana masyarakatnya menguasai 2 bahasa. Ibu saya berbahasa Jerman, sedangkan ayah saya berbahasa Polandia. Otomatis saya mengetahui 2 bahasa itu sejak kecil,” ujar sulung dari 3 bersaudara itu. 

Ia menerangkan bahwa bahasa Indonesia mudah dipelajari, namun kesulitannya hanya pada saat ia mengajar. “Ada istilah antropologi yang belum ada terjemahannya di Indonesia. Maka saya bersama Adi Sukadana menciptakan sendiri istilahnya dalam bahasa Indonesia yang menurut kami tepat,” terangnya.

“Jika mencoba berhenti membaca dan menulis, maka otak saya bisa karatan,” ujarnya sambil tertawa.



Memiliki Sekitar 40 Cucu di Surabaya

Romo Glinka dan Kawat Radiestesi
Bukan saja dikenal sebagai Pastur sekaligus Pakar Antropologi serta Polyglot, Romo Glinka juga dikenal memiliki kemampuan mendeteksi jalur aliran air di bawah tanah. Melalui kemampuannya itu ia kerap menolong orang sakit; selain itu ia juga sering menolong pasangan suami istri yang sulit mendapatkan keturunan. “Jalur aliran air di bawah tanah memiliki radiasi yang dapat mengganggu kesehatan. Pasangan suami istri yang tidur diatas jalur air di bawah tanah akan sulit memiliki keturunan,” ujar mantan dosen tamu Universitas Johannes Guitenberg, Jerman itu.

Romo Glinka menyebut keahliannya itu sebagai Radiestesi atau kepekaan mendeteksi radiasi jalur air. Bukan mistis, namun sejenis ilmu alam. Untuk mendeteksi aliran air, Romo Glinka mengaku bekerja dengan dengan menggunakan alat semacam kawat. Bila ia berjalan di atas tanah yang di dalamnya terdapat jalur aliran air, maka secara otomatis bagian tengah kawat akan jatuh kebawah. “Ini yang bekerja adalah saya, bukan kawatnya. Itu karena saya memiliki kemampuan mendeteksi aliran air di bawah tanah. Bila anda yang memegang kawat ini, tidak akan terjadi apa-apa karena anda tidak memiliki kemampuan deteksi,” tandasnya.  

Ditanya mengenai bakat deteksi jalur air itu, Romo Glinka mengungkapkan bahwa ia mendapatkannya sejak kecil. “Saat kecil saya selalu tidak bisa tidur dan cenderung jatuh sakit saat tidur di kamar tidur saya. Ternyata, saya bisa lihat bahwa saya tidur diatas jalur aliran air. Saya memindahkan tempat tidur saya ke tempat ‘aman’ dan sayapun menjadi sehat,” ujarnya.

Ketika menjadi konsultan pasien dengan problem keturunan, ia selalu menanyai pasiennya itu, apakah ada problem medis atau tidak. “Jika memang ada problem medis, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Jika tidak, saya akan periksa di bawah kamar tidur mereka ada radiasi jalur air atau tidak,” tambahnya.

Ketika ditanya pengalaman menarik dalam menangani pasangan dengan problem keturunan, ia berkisah tentang salah satu pasangan suami istri yang seusai ditanganinya, sekitar beberapa bulan kemudian datang kembali padanya. Saat itu si wanita memamerkan perut buncitnya. “Ada seorang wanita bersama suaminya, datang pada saya, kemudian menunjukkan perutnya dan berkata: Romo, lihat perut saya, sudah tampak kan? Ini sudah bulan keempat! hahaha,” kenangnya sambil tertawa.

Dalam menolong seseorang, Romo Glinka tidak memandang agama, status sosial dan semacamnya. Pernah ada mantan pasiennya yang mengungkapkan keinginan menolong kawannya yang juga kesulitan memiliki anak, namun, temannya itu non-katolik. Romo Glinka bersedia membantu. “Saya menolong orang tanpa pernah bertanya soal agama. Siapapun akan saya bantu jika memang membutuhkan bantuan. Seperti dokter, setiap kali ada orang yang datang pada saya, yang saya tanyakan adalah keluhannya, bukan agamanya,” tandasnya.

Ditanya mengenai banyaknya pasutri yang sudah pernah ia bantu, ia mengaku sulit menghitung jumlahnya karena cukup banyak. “Jika ditanya berapa jumlah pasien, saya tidak bisa menghitungnya. Namun jika ditanya soal ‘cucu’, di Surabaya ini saya memiliki sekitar empat puluh ‘cucu’ yang dilahirkan oleh pasangan suami istri yang pernah saya bantu melalui radiestesi. Itu masih di Surabaya; belum ‘cucu-cucu’ saya yang ada di Jogja, Solo, Flores dan banyak dari daerah lain,” pungkasnya sambil tersenyum.  

*tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post edisi 25 November 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar