Cari Blog Ini

Sabtu, 05 Januari 2013

Kisah Ahmad Suroto, Ex Pulau Buru 1970



Ahmad Suroto ketika di Pulau Buru



BIODATA



Nama                              : Ahmad Suroto

Tempat tanggal lahir      : Surabaya, 03 Maret 1942

Alamat                            : Sidoarjo, Jawa Timur

Nama Istri                      : Christinah

Nama Anak                    :

  1. Eka Kristianto
  2. Yusak Dwi Cahyono
  3. Maria Tri Wahyuningsih



Hati yang Senantiasa Bersukacita Dapat Menjadikan Tubuh Sehat


Ayah, Ibu, Kekasih dan kotaku
sekian lama langkahku membisu di surgamu
mengerak
menjadi jejak sejarah

Esok aku pulang, Ibu
Masihkah kerak itu dapat terbaca untukku?


Sepenggal sajak itu mungkin cukup mampu menggambarkan suasana hati seorang Ahmad Suroto serta ratusan tahanan politik lainnya yang pada akhirnya diperbolehkan pulang ke Pulau Jawa setelah menjalani masa penahanan selama 9 tahun 3 bulan di Pulau Buru.

"Di sana saya berkawan dengan banyak tahanan politik (tapol) dari berbagai latar belakang. Termasuk Pak Oei Hiem Hwie yang sebulan lalu dimuat di Surabaya Post. Saya ingat, dulu beliau adalah wartawan harian Trompet Masjarakat yang juga ditahan disana bersama saya," ujar Ahmad Suroto. Ia memaparkan pula perjalanan hidupnya yang penuh kenangan selama masa pengasingannya. "Saat disana selama beberapa tahun, saya cuma bisa pasrah dan tak pernah berpikir untuk bisa pulang," kenangnya.

Ketika ia diperbolehkan pulang pada 1979, bagaimana perasaannya? "Tentu saja senang. Saya bisa kembali ke Jawa untuk bertemu keluarga, melepas rindu serta dapat mengenang sekaligus menjalani kembali masa-masa indah yang pernah saya alami di Jawa," ungkapnya. Pada perjalanan pulangnya, sebelum ke tempat asalnya di Surabaya, ia singgah di salah satu tempat tinggalnya di Banyuwangi. Disana ia menemui kekasihnya, Christinah dan tidak lama ia memutuskan menikahinya. Dari pernikahannya itu, hingga kini ia dikarunai 3 orang anak.

Sebagai eks tapol Pulau Buru, setelah pulang dari pengasingannya tentu saja ia kesulitan mencari pekerjaan karena predikat 'Eks Tapol' yang tertera pada KTP-nya. Alhasil, ia harus membanting tulang untuk menghidupi keluarganya. Setelah mencari pekerjaan cukup lama, pada akhirnya ia diterima menjadi pengawas gudang sebuah pabrik di Rungkut, Surabaya. Dari pekerjaan itulah ia perlahan-lahan mampu membangkitkan ekonomi keluarganya. "Cukup susah memang, tapi saya harus bekerja keras untuk bisa menghidupi istri dan anak-anak," ujarnya.

Sebagai eks tapol Pulau Buru yang bekerja membuka lahan disana, tentu masih terlihat jelas, meski di usianya yang menginjak 70 tahun, gurat-gurat semangat dan tubuhnya yang masih kekar menunjukkan bahwa keseharian di Pulau Buru yang cukup keras membuatnya masih tetap sehat dan mampu beraktivitas seperti layaknya kaum muda. "Saya 70 tahun tapi masih mampu melakukan aktivitas berat. Semua ini saya dapat dari pengalaman dan kerja keras saya ketika di Pulau Buru," ungkap pria asli Surabaya itu.

Ketika diwawancarai, Ahmad Suroto secara panjang lebar membeberkan resep sehatnya. Ia menjelaskan bahwa perasaan bahagia dan hati yang selalu diliputi sukacita dapat membantu menjaga kesehatan tubuh. Selain itu dalam menjalani hidup harus dilandasi dengan semangat, serta selalu mengucap syukur kepada Tuhan. "Kalau untuk pola makan, cukup makan teratur sebanyak 3 kali sehari dan perbanyak minum air putih. Jangan lupa menyempatkan waktu olahraga setiap hari. Seperti berjalan kaki atau bersepeda seperti yang selalu saya lakukan setiap pagi," ujarnya.


Musisi yang Ditangkap tanpa Pengadilan

Bagaimana awal mula Ahmad Suroto dapat menjalani masa pengasingan di Pulau Buru? "Sebelum gestok meletus, saya dulu adalah seorang pemuda penggiat seni. Saya pemain band yang kerap dipanggil untuk manggung di banyak kegiatan," paparnya. Ketika itu band yang diusungnya kerap diundang tampil dalam festival kerakyatan, salah satunya diadakan oleh Organisasi Pemuda Rakyat, yang saat itu merupakan underbow Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Bila saya ditanya soal komunisme dan semacamnya, saya berkali-kali menjawab bahwa saya tidak tahu apa-apa soal itu! Waktu itu saya cuma pemain musik, sering diundang untuk tampil maupun menonton acara-acara kesenian. Salah satunya ya diadakan oleh Pemuda Rakyat, Lekra dan semacamnya. Ketika meletus Gestok, tiba-tiba saya dituduh terlibat dan tiba-tiba pula saya ditangkap dan dipenjarakan tanpa ada pengadilan," kenangnya.

Suatu siang beberapa orang mendatangi rumahnya dan menangkapnya. Ahmad Suroto yang masih kebingungan akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan kantor polisi Hobiru, Surabaya, kemudian dipindah ke Koblen, Kalisosok, Nusakambangan hingga akhirnya sampai pada pengasingannya di Pulau Buru. "Saya diperiksa petugas dan ditanyai tentang keterlibatan saya pada kegiatan Komunis, Soekarnois dan semacamnya. Saya menjawab tidak, namun tak ada satupun yang percaya. Begitulah pada akhirnya saya dijebloskan dari penjara ke penjara," ujarnya.

Setelah berpetualang dari penjara ke penjara, ia dan ratusan tapol dibawa ke penjara Gligen di Nusakambangan. Rupanya perjalanan dari Jawa ke Nusakambangan adalah transit sebelum para tapol itu dibawa ke Pulau Buru. Sesampainya di Pulau Buru, ia ditempatkan di salah satu barak tapol. Disana terdapat 18 unit berisi 10 barak. Satu unitnya ditempati 500 orang tapol. "Waktu itu Buru masih berupa hutan belantara. Kami membuka lahan disana dan melakukan pekerjaan bercocok tanam. Disana babat hutan selama 3 bulan," ujarnya. Dijelaskannya selama 3 bulan itu para tapol disuplai bahan makanan oleh pemerintah pusat. Setelah bercocok tanam dan membuahkan hasil, supplai itu dihentikan dan para tapol menghidupi diri mereka sendiri dengan hasil panen.

"Jangan salah, tanah disana luar biasa subur. Hasil panen melimpah ruah hingga dapat menghidupi ribuan tapol dan para petugas disana. Mereka semua makan dari hasil panen," kenang pria 70 tahun itu. Ia juga menerangkan bahwa selama di Pulau Buru, para tapol juga sempat mengalami gesekan dengan beberapa penduduk lokal yang merasa terganggu karena kehadiran mereka dianggap akan mengancam hak-hak mereka sebagai penduduk lokal. "Beberapa penduduk yang marah sempat terlibat konflik dengan kami. Teman dekat saya sebanyak 4 orang mati dibunuh dengan tombak. Tapi tidak semua penduduk disana seperti itu. Banyak juga diantara mereka yang baik terhadap kami dan tidak mempermasalahkan kehadiran kami," ujarnya. Menyikapi peristiwa terbunuhnya 4 orang tapol oleh beberapa penduduk asli, petugas dari Peleton Pengawal Pattimura melakukan operasi militer namun tidak menemukan warga yang menjadi pelaku pembunuhan karena mereka bersembunyi dengan cara melarikan diri ke arah hutan belantara.

Ditanya mengenai kesulitan selama di Pulau Buru, ia mengatakan bahwa pengalamannya paling berat adalah ketika ia ditugaskan mengambil atau mengantar beras menuju desa Airmadidi, sebuah desa yang dihuni oleh komunitas suku Bugis. "Wah, kalau ditugaskan kesana itu susah. Medannya terjal, berpasir, berbatu dan cuaca sangat panas. Apalagi jaraknya sangat jauh," ungkapnya.

Sebagai musisi, masa pengasingannya di Pulau Buru tidak menghalanginya untuk tetap berkreasi. Disana ia dan kawan-kawannya membuat peralatan musik dari bahan kayu. Seperti membuat drum, bass dan gitar. Senar gitarnyapun diambil dari potongan kabel listrik yang diolah. Setelah pembuatan alat musik selesai, ia dan kawan-kawannya membentuk sebuah grup musik yang dinamakan 'Giripura Band'. Bersama grupnya itu ia kerap tampil menghibur seluruh petugas dan penghuni Pulau Buru. "Komandan petugas memberi tanggapan baik pada Giripura Band. Kamipun kerap diundang tampil dalam setiap acara yang mereka adakan, seperti hari kemerdekaan," kenangnya. Dalam Giripura band, Ahmad Suroto menjadi vokalis utama. Selain itu ia juga memegang bass dan kadangkala bergantian dengan kawannya bernama Kasdi untuk bermain drum. "Bila saya ingin bermain drum, maka Kasdi bermain bass. Begitupun sebaliknya. Tapi entah saya tidak tahu kabar Kasdi saat ini. Sudah lama saya tidak bertemu dengannya," ujarnya.

Rupanya keahlian bernyanyi, bermain bass dan drum yang dimilikinya menurun pula ke anak-anaknya. Bakat drum diturunkan kepada anak pertamanya, Eka Kristanto yang terkenal sebagai drummer Sekaring Jagad, band kawakan Surabaya dan pernah pula menjadi drummer Krisyanto, ex vokalis Jamrud ketika tampil di Surabaya. Sedangkan bakat bermain bass diturunkan pada anak keduanya, Yusak yang dikenal sebagai pemain bass. Tidak ketinggalan, bakat bernyanyinya diturunkan pula kepada anak bungsunya, Maria, dimana ketika anak bungsunya itu berusia 8 tahun, ia telah mampu menguasai teknik vokal klasik yang cukup rumit. "Rupanya bakat Bapaknya menurun kepada anaknya," ujarnya sambil tertawa.

Rupanya pengalaman selama di Pulau Buru menjadi pengalaman tak terlupakan sepanjang hidupnya. Apakah ia merasa dendam? “Sama sekali tidak. Ajaran agama saya mengajarkan saya tentang cinta kasih. Apa yang saya alami di masa lalu dan masa kini adalah sebuah rencana Tuhan yang diberikan kepada saya. Saya ikhlas menerimanya,” pungkasnya.

*Tulisan saya ini pernah dimuat di Surabaya Post, 30 Desember 2012 

2 komentar:

  1. apakah pak ahmad suroto masih sugeng? mungkin kenal dengan Jliteng (tarwotjo) dari Solo, pemain seruling

    BalasHapus
  2. Masih sugeng. Nanti akan saya sampaikan mas.

    BalasHapus